Rabu, November 23, 2011




Parni

Oleh : Amerul Rizki dan Eros Rosita

 

Semula, mereka adalah makhluk mengerikan bermata sipit yang ujungnya naik ke atas. Berdahi lebar dan terjal oleh kerutan. Terkadang bersuara petir, bahkan saat tengah malam buta. Kenapa? Paling-paling karena gadis itu tiba-tiba terbangun, lalu membuka pintu ajaib kemana saja yang akan membawanya pergi dari kandang pengap bacin itu.
Tapi kali ini, mereka berubah wujud menjadi makhluk sejuk. Meski redup, tapi tak tampak adanya makhluk mengerikan yang pernah tinggal dalam mata mereka. Sebabnya apa? Gadis itu tidak tahu. Yang ia tahu, mereka berubah setelah melihat perutnya.

Sabtu, Agustus 20, 2011


Meski diam, mata itu masih sering bercerita padaku. Mata yang telah menyimpan bermacam kenangan. Tentang semua tapak yang pernah dilalui, tentang semua waktu yang pernah singgah, dan tentang cinta yang masih membekas di hati sampai saat ini.
Mata yang semakin lama terlihat begitu ringkih. Mata yang mulai tampak menua termakan sepi yang kian menggigilkan. Mata yang menyimpan kerinduan pada sosok yang telah lama menghilang.

Jumat, Agustus 12, 2011


Mama memberikan nama Senja padaku mungkin karena mama ingin aku menjadi setegar matahari. Ceria, tersenyum, dan tidak pernah mengeluh. Mungkin mama juga ingin aku menjadi penerang dan penghangat, seperti apa yang selalu senja lakukan kepada langit. Atau mungkin mama ingin aku menjadi seelok dan seindah senja dengan warnanya yang jingga keemasan? Mungkin juga mama ingin aku disukai banyak orang, seperti banyaknya orang  menyukai senja. Namun di balik itu semua, aku yakin mama tak pernah ingin jika aku berumur pendek seperti umur senja yang hanya sebentar. Ah... senja, di balik alasan kenapa mama memberikan nama Senja padaku, entah kenapa aku mulai menyukai nama itu. Terlebih saat aku mulai sering melihat wujudnya yang nyata beberapa tahun yang lalu, mengendap diam-diam di matamu.

Selasa, Juli 19, 2011


Pagi berkabut dengan sisa ampo yang belum mengering bercampur aroma bunga kopi yang menguar memenuhi setiap sudut kamar kecil saya, saya mulai membuka laptop untuk menulis seperti biasa dan melihat lagu itu masih ada di dalam folder laptop saya. Lagu yang entah sejak kapan tidak pernah lagi terdengar mengalun di sudut kamar saya. Bukan karena saya mulai bosan dengan lagu yang pernah kamu nyanyikan untuk saya di penghujung telepon, melainkan saya enggan memutarnya kembali. Saya enggan membuka lembaran kenangan yang diam-diam saya simpan di dalam sudut terdalam hati saya, dan menguncinya rapat-rapat agar saya tidak bisa membukanya lagi. 

Rabu, Juli 13, 2011

Itu adalah hujan pertama yang jatuh sejak terakhir kali aku melihat tatapan matanya menelanjangi rel basah yang meninggalkan sisa hujan. Beberapa bulan yang lalu saat aku dan dia terjebak di sebuah peron dengan butir butir yang menggantung di penghujung rambut hitam bergelombang miliknya, lantas melumer memenuhi wajah juga syal biru yang melilit di lehernya. Aku masih ingat, dia tak banyak bicara waktu itu. Wajahnya lurus terpaku pada sebuah ponsel berawarna putih, hanya sesekali bibirnya tampak melengkung juga semburat merah samar di kedua pipinya yang langsat. Matanya berkilat, sehitam rambutnya, teduh seperti hujan yang mengguyur atap peron siang itu. Terasa begitu dingin namun menghangatkan.

Senin, Juli 04, 2011

“Saya ingin brownies,” katamu.

“Saya ingin es krim rasa keju,” saya menimpali, membuatmu menoleh ke arah saya. Diam sesaat kamu tatap mata saya lalu dengan rona yang sama kamu buang tatapan itu, berusaha menyembunyikan warna merah yang tersembul ke permukaan wajahmu dan akan selalu seperti itu jika kebetulan tatapan kita bertemu.  “Memangnya ada es krim rasa keju? Aneh-aneh saja kamu ini.”

Saya tertawa, saya tatap mata kamu yang berkilat-kilat malu. Entah, saya selalu merasa gemas setiap kali menatap wajahmu yang semakin terlihat lucu saat sedang berusaha menyembunyikan ekspresi salah tingkah itu. Ekspresi yang membuat saya merasa hangat secara tiba-tiba. 

“Masak malam-malam dingin begini kamu mau makan es krim? Kamu kan nggak tahan dingin.”

Minggu, Juli 03, 2011


Entah hari apa. Kalender bulan Juli belum genap sepekan saat diam-diam saya memperhatikan arakan-arakan awan putih itu berputar-putar di langit merah saga yang cerah, tanpa hujan.
Jika sebelumnya saya selalu merasakan dingin yang luar biasa merayap di tubuh saya, hari ini hati saya menghangat. Saya tersenyum. Tidak ada perasaan lain yang dapat menggambarkan isi hati saya selain melengkungkan ujung-ujung bibir saya selepas membuka pesan singkat yang baru saja kau kirimkan kepada saya. Dan akan selalu seperti itu ketika saya selesai membaca kata-kata yang kau tulis untuk saya. Sekedar menyapa, bertanya, bercerita atau bercanda. Tapi malam itu berbeda. Dan entah apa yang membuatnya terasa berbeda. Sebening embun perlahan menitik dari pelupuk mata saya, membuat dada saya terasa sesak untuk beberapa menit saja. Setelahnya sebuah desiran halus perlahan merayap ke dalam hati saya, pembuluh darah saya, bahkan ke dalam seluruh tubuh saya kemudian menghangatkan semuanya.

Jumat, Juli 01, 2011

Saya ingin menuliskannya lagi, sekali lagi, seperti dulu ketika saya mulai sering menuliskan namamu dalam catatan-catatan kecil buku harian yang selalu saya sembunyikan diam-diam di bawah tempat tidur saya. 

Pagi ini tidak ada embun seperti biasa, pagi ini tidak ada hangat matahari yang selalu menyapa saya lewat celah kecil dalam jendela kamar saya, pun kicauan burung serta sirine kereta yang selalu mengingatkan saya jika fajar mulai menyingsing, lalu perlahan membangunkan saya dengan lembut seolah enggan membuat saya terkejut. Ya, benar. Kau selalu menyapa saya lewat dering sirine kereta yang setiap fajar selalu berbunyi, teratur. Seperti kau paham bahwa saya selalu berkeringat dingin setiap kali merasa ada sesuatu yang mengejutkan hati saya.

Kamis, Juni 30, 2011


Sewaktu Sekolah Dasar, sekitar 9 tahun yang lalu, saya dan teman saya biasa menyebutnya boi-boian. Boi-boian adalah permainan beregu yang biasanya dimainkan oleh anak laki-laki. Mungkin karena itulah dinamakan boi-boian, mengingat arti boy dalam Bahasa Inggris adalah anak laki-laki dan kata beregu bermakna lebih dari satu atau jamak sehingga terdapat pengulangan kata pada kata boy, menjadi boi-boian yang berarti banyak anak laki-laki. Hehehe, sebuah pengamatan dan kesimpulan yang aneh dan asal, bukan?
Boi-boian, tanpa melihat darimana asal-usul permainan itu, saya menikmatinya sebagai salah satu permainan mengasyikkan saat usia saya masih anak-anak.

Selasa, Juni 28, 2011

Kemarin saya pulang terlambat, dan tiba-tiba melihat sebuah buku berwarna merah di rak meja belajar saya. Buku dari seorang sahabat yang saya kenal di dunia maya. Sebelum dia mengirim buku itu kepada saya, dia memberitahu saya jika dia sangat terkesan dengan cerpen-cerpen Franz Kafka. Dia merekomendasikan salah satu cerpen Kafka kepada saya. Karena saya penasaran, akhirnya saya browsing dan menemukan beberapa cerpen Kafka di internet. Yang semakin membuat saya penasaran adalah novel Kafka yang berjudul Metamorfosis dan dicetak pertama kali pada tahun 1915. Saya kemudian bercerita dengan teman saya, membahas tentang Kafka melalui sms hingga dia menemukan buku Kafka di perpustakaan kampusnya. Dia lalu memberitahu saya, menanyakan kemauan saya terhadap buku itu dan berniat mengopinya sama persis untuk saya sebab saya kesulitan menemukan buku Kafka di toko-toko buku.

Senin, Juni 27, 2011





Engkau yang pertama kali membuatku menyukainya. Senja itu, kereta itu, stasiun itu, aroma teh tawar itu, kenangan itu…
Sirine itu tetap berbunyi sama, seperti itu dari detik-detik masa lalu hingga sekarang. Senja emas tanpa gerimis. Di sebuah stasiun kecil di kota tua itu, kita pernah singgah di sana. Merasakan bayangan kereta yang menyapa malu-malu seperti senyum yang senantiasa kukulum, sendu. Bulatan berwarna orange tua berpendar sempurna pada ufuk berwarna jingga, beberapa kali bersembunyi di balik jubah abu-abu yang bergerak pelan mengikuti arah angin. Aku merekamnya dalam mataku, tanpa engkau tahu. Ada angin yang tiba-tiba menyentuh ujung-ujung jemariku pun rambutku yang lemas tak tergerai. Seperti hendak mengucapkan kata berpisah dan aku belum sempat mengucap aku akan kembali lagi dengan keadaan yang berbeda, namun masih dalam kerinduan yang sama. Haruskah aku menitikkan apa yang tidak semestinya harus menitik? Seperti hendak mengenyam apa yang kusebut sebagai kenangan lalu mengabadikannya dalam cacatan buku tulisku di pelajaran mengarang seusai liburan panjang dengan alunan melodi saxophone yang menggema samar-samar dari dalam radio usang milikmu. Bahwa aku telah menulisnya, senja emas itu yang membawa kereta kita menuju satu tempat. Tempat yang senantiasa menyambut kedatangan kita dengan pelukan hangat ibu yang waktu itu sibuk menata bunga di halaman-halaman penuh cinta tempat kita bernaung mengeja cerita.
Hari ini saya kembali lagi di kamar gelap saya, seorang diri. Merenung dan berbicara dengan hati saya, kemudian berusaha mengeluarkannya dalam bentuk dialog-dialog kecil yang saya eja dalam layar netbook saya. Susah, sesak dan tidak biasa sebab saya termasuk orang yang tidak begitu paham dengan perasaan saya sendiri. Saya termasuk orang yang tidak bisa mengungkapkan perasaan saya secara konkret kepada orang lain, pun kepada diri saya sendiri. 

Belakangan ini saya merasa dada saya sakit lagi, belakangan ini saya merasa tubuh saya sering gemetar, belakangan ini saya merasa tangan saya lebih cepat berkeringat dan belakangan ini saya sering merasa kedinginan di tengah hari yang panas. Serta saya mulai merasakan gejala rutin sakit pinggang.

Mungkin karena akhir-akhir ini saya lebih banyak menghabiskan waktu di depan komputer daripada berolahraga, mungkin karena akhir-akhir ini saya kurang minum air putih dan jutru memperbanyak konsumsi teh tawar atau mungkin sampai tidak minum sama sekali. Pola hidup saya yang semrawut. Makan tidak teratur, jam kerja yang berantakan dan jam tidur yang tidak teratur. 

Saya merasa sesak, merasa tidak fokus, mulai merasa jenuh dan ingin sekali mengambil libur untuk sekedar tidur ataupun membaca buku yang belum sempat saya selesaikan.

Minggu, Juni 26, 2011


Saat mendengar lagu Sheila On 7, saya seperti menyusun kembali kenangan-kenangan masa lalu saya, kenangan yang belum sempat saya tulis bahkan nyaris hilang karena ingatan saya yang terbatas. Kenangan yang berkesan, memalukan bahkan sempat membuat saya terharu jika mengingat-ingat.

Sabtu, Juni 25, 2011

Ini bulan April. Kau tidak sedang menunggu kereta seperti yang selalu kau katakan padaku, kan?

Aku selalu menantikanmu di bulan November, saat langit berwarna separuh emas dengan hiasan gerimis tipis berwarna putih, seperti salju. Minggu ketiga di bulan November yang lembab, kau akan selalu duduk di bangku kayu itu. Mengamati setiap daun yang gugur mengenai rambutmu yang coklat. Sedangkan aku hanya bisa menatapmu lewat kotak kacamata minusku yang terbatas, merasakan dimensimu terbingkai sempurna di dalamnya, hanya ada kau dan semua tentangmu tanpa seorang pun yang lain. Kau dengan duniamu yang sepi. Kau dengan segala sesuatu yang tidak mungkin bisa aku rasuki. Kau dengan dimensimu yang sulit aku tembus. Kau dengan segala kesempurnaan yang tergurat indah di atas pencitraanku. Kau yang telah membuatku mengamati ceruk matamu dan mulai membayangkan bahwa akulah satu-satunya bayangan yang tercipta di antara iris mata itu. Ah, lamunan yang semakin kubiarkan berkelana. Lamunan yang semakin jauh aku lepas untuk menangkap sosokmu.

Rabu, Juni 22, 2011



Apa yang sedang kamu tunggu? Maka aku ingin menunggunya juga.

Senin, Juni 20, 2011


Satu-satunya hal yang saya ingat adalah penghabisan senja dimana dedaunan kuning itu sudah meranggas, meninggalkan dahan-dahan pohon mapple yang kurus dan berangsur-angsur telanjang. Masih sama seperti detik-detik sebelumnya, udara beberapa hari ini mulai mendingin dan senja beranjak karam di balik kokoh bangunan menjulang seperti menembus langit. Saya mematung di bawah salah sau pohon yang tampak gelisah karena satu-satunya daun yang menemaninya sepanjang malam barusaja jatuh di rambut saya. Saya memungut daun itu dan meletakkannya sebagai sekat di antara halaman-halaman buku yang telah menjadi teman saya. Inilah kebiasaan saya, saya suka membawa buku bersampul biru itu kemanapun saya pergi dan saya selalu meletakkan benda yang saya temukan di halaman-halaman pembatas buku itu setelah saya barusaja menuliskan cerita.
Dan daun itu saya letakkan di antara halaman yang berisi kisah saya saat menemukan sekeping puzzle di tengah rel kereta api, sepulang sekolah, kemarin.

Minggu, Juni 12, 2011


Saya yakin Anda pasti pernah mendengar lantunan Moonlight Sonata karya Beethoven atau Requiem karya Mozart, secara tidak sengaja maupun sengaja. Bagaimana keindahan sonata-sonata itu menghipnotis telinga kita semua. Ya, Wina. Dua komponis itu tak pernah lepas dari kota Wina, kota yang terkenal sebagai kota musik klasik, kota yang mampu melahirkan maestro-maestro musik klasik di seluruh dunia.
Lalu bagaimana jika pasangan Anda menawarkan liburan ke Wina? Buku Till We Meet Again yang ditulis oleh Yoana Dianika ini akan menjawab seluruh rasa penasaran Anda.
Berbicara tentang Wina, musik klasik, dan percintaan yang sederhana. Saya kira belum banyak penulis yang memasukkan satu paket komplit itu ke dalam bukunya. Dan saya menemukan sepaket komplit menu hangat itu dalam buku terbaru Yoana Dianika: Till We Meet Again.
Terlepas dari banyaknya kesalahan ketik di novel ini, melalui tokoh Elena yang ceroboh, Christian yang supel, Häns yang kalem, Kimiko yang cerewet, Dupont yang modis, dan Jessica yang arogan, Yoana mampu melukiskan keindahan kota Wina itu secara detail. Menggambarkan karakter-karakter yang kental, bahkan saya sempat jatuh cinta dengan Christian yang berkacamata. Dia bisa melukiskan bagaimana suasana musim gugur di sana, bagaimana arsitektur bangunan-bangunan klasik di sana, bagaimana konser musik di sana. Saya tidak meragukan lagi setting yang benar-benar real itu. Keromantisan yang tidak dibuat-buat dan seolah benar-benar terjadi dan dialami oleh penulisnya. Dia bisa membawa saya bertamasya ke Wina dengan novelnya. Tapi karena novel ini murni fresh, ringan dan tidak menggurui. Dan romantis tentu saja.
Novel Till We Meet Again ini simple sebenarnya, bercerita tentang cinta masa kecil yang kembali menyatu di Wina. Bahkan kebanyakan novel roman metropop hampir mayoritas memiliki cerita yang nyaris sama, yang membedakan adalah cara penulis menuturkan kronologi-kronologi di dalamnya hingga membentuk sebuah jalinan cerita yang utuh dan tidak melompat-lompat. Bagaimana si penulis dengan cerdasnya membungkus konflik menjadi sebuah plot yang tidak membosankan dan senantiasa membuat saya enggan menutup lembaran demi lembaran halaman sebelum usai membacanya. Kisah ini dimulai saat Elena yang berdarah Austria-Indonesia itu menjatuhkan liontin peninggalan mendiang ibunya di Wina. Elena mencari-mencari liontin itu dengan wajah panik kemudian bertemu dengan anak laki-laki bermata abu-abu yang ternyata membekas dalam ingatannya sampai ia beranjak dewasa. Elena belum mengetahui nama anak laki-laki itu hingga ayahnya mengajaknya pindah ke Bandung dengan harapan bisa mengubur semua kenangan dari mendiang mamanya. Namun cita-cita Elena yang ingin menjadi seorang maestro musik klasik seperti mamanya itulah yang pada akhirnya membawa Elena kembali ke Wina. Tanpa sengaja, di Wina dia bertemu dengan Christian yang bermata biru dan Häns yang bermata abu-abu. Lalu muncul tokoh Jesicca yang ternyata ada hubungannya dengan kedua laki-laki itu. Inilah awal dimulainya kisah percintaan itu. Lantas, siapa anak laki-laki yang sebenarnya dicari oleh Elena? Dan apa hubungan Jesicca dengan Christian dan Häns? Lalu berhasilkah Elena menggapai mimpinya menjadi seniman seperti ibunya?
Yoana Dianika merangkum semua pertanyaan-pertanyaan itu dalam novelnya, novel ringan khas bahasa metropop yang mudah dipahami. Yoana Dianika telah berhasil menjadikan kisah sederhana ini menjadi novel yang tidak biasa. Di novel inilah kita akan menemukan makna dari cinta sejati, makna dari penantian, makna dari sakit hati, makna dari menerima, makna dari merelakan, makna dari kesedihan bahkan kebahagiaan. Semuanya terangkum dalam setting kota Wina yang klasik dan menjadikan novel ini benar-benar romantis. Seperti
“Semuanya akan terasa berat, tetapi begitulah seharusnya hidup. Hidup seperti dua partikel atom yang saling tarik-menarik dan tolak-menolak. Tidak selamanya bahagia, tetapi juga tidak selamanya penuh kesedihan," tulis Yoana dalam novelnya.
Bahkan membaca sinopsisnya pun membuat saya tersenyum.

Saat pertama kali aku melihatmu hari itu, aku sudah berbohong beberapa kali.
Aku bilang, senyumannya waktu itu tak akan berarti apa-apa. Aku bilang, gempa kecil di dalam perutku hanya lapar biasa. Padahal aku sendiri tahu, sebenarnya aku mengenang dirinya sepanjang waktu. Karena dia, aku jadi ingin mengulang waktu.
Dan suatu hari, aku dan dia bertemu lagi. Di saat berbeda, tapi tetap dengan perasaan yang sama. Perasaanku melayang ke langit ketujuh karena bertemu lagi dengan dirinya. Deg, deg, deg. Seperti mau meledak jantungku karena berada di dekatnya. Aku menggigit bibir bawahku, diam-diam membatin, “Ah, ini bakal jadi masalah. Sepertinya aku benar-benar jatuh cinta padamu.”
Apakah yang seperti ini ada obatnya? Apakah aku bisa sedetik saja berhenti memikirkan dirinya? Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku jatuh cinta, tapi masih saja terlalu malu untuk menyatakannya.


And it hurts me to know that now 'til then
I'll only have these memories
And now there's no time left to pretend
And it feels like it's the end
But you're always in my heart
Until we meet again
~Diana Ross, Untill We Meet Again ~


Judul                                    : Till We Meet Again
Penerbit                               : Gagasmedia
Tahun Terbit                       : Mei - 2011
ISBN                                    : 979-780-500-X
Penulis                                 : Yoana Dianika
Jumlah Halamanan             : 298 hlm
Ukuran                                 : 13 x 19 cm
Harga                                   : Rp40.000 





Saya menyebutnya cahaya. Sebuah cahaya yang tiba-tiba datang entah dari arah mana. Cahaya yang begitu hangat, jauh lebih hangat dari senja-senja yang biasa saya intip diam-diam dari balik jendela. Cahaya yang akhirnya menyeret saya dari kegelapan yang selama ini membuat saya gelisah. Kegelapan yang dingin, kegelapan yang pekat.
Saya belum pernah merasa seringan  ini, setenang ini, sebebas ini. Seperti merasakan lagi kerinduan yang hilang. Seperti menemukan kembali kepingan-kepingan kerinduan yang sempat tercecer dari dalam hati saya. Dan akhirnya saya bisa memungutnya satu-satu untuk menjadikannya sebuah puzzle yang utuh berisi kerinduan.
Saya tidak tahu bagaimana awalnya cahaya itu datang menyapa saya. Lalu menyeret saya. Membimbing saya berjalan di antara kegelapan-kegelapan yang terkadang membuat saya tersandung, jatuh tersungkur dan berdarah.

Jumat, Juni 03, 2011

Untuk kesempatan ini saya tidak ingin menulis apa yang biasa saya tulis (baca : tulisan gak jelas di catatan-catatan sebelumnya). Sebagai gantinya, saya ingin mencoba mengungkapkan sedikit uneg-uneg dan pendapat saya yang berkaitan tentang pernikahan. Hmmm. (Warning!! Tulisan ini gak jelas juga)

Akhir-akhir ini saya dapat banyak undangan pernikahan dari teman-teman saya (curcol).  Akhir-akhir ini saya tidak sengaja melihat berita seputar hubungan rumah tangga, mulai dari yang langgeng maupun tidak jarang ada yang gagal di tengah jalan. Kemarin-kemarin kebetulan saya melihat acara Mario Teguh di Metro TV. Beberapa minggu yang lalu saya tidak sengaja membeli dan membaca buku Leo Tolstoy. Saya sering sekali mendengar cerita teman-teman saya yang sudah menikah dan saya mengamati keadaan rumah tangga sepupu saya sendiri.  Semuanya membahas masalah yang sama : pernikahan. Jangan ambil kesimpulan ataupun bertanya kapan saya akan menikah ya? Karena tulisan saya ini sama tidak ada hubungannya dengan pertanyaan tersebut

Melihat teman-teman saya yang sudah berani memutuskan akan mengarungi bahtera rumah tangga, halah, mau gak mau saya jadi kepikiran juga masalah pernikahan. Spontanitas, tiba-tiba saja. Dan pikiran ini muncul bukan karena saya telah melihat prosesi pernikahan Pangeran William dan Kate Middleton beberapa waktu yang lalu loh ya. Sama sekali gak ada hubungannya dengan itu. Pikiran saya ini muncul entah dari mana. Kalau kata saya, pikiran ini adalah semacam racun yang mulai menjangkiti saya beberapa hari terakhir ini. Saya mulai sering melamun saat menghadiri pernikahan teman saya. Lamunan yang simpel dan gak masuk akal. Bagaimana nanti kalau saya menikah? Siapa yang akan menjadi suami saya kelak? Bagaimana saya nanti akan mengurus anak dan rumah tangga, bagaimana saya jika nanti berada di rumah orang tua suami saya, bagaimana nanti kalau saya memasak makanan untuk suami saya dan ternyata masakan saya gak enak, bagaimana nanti kalau di kehidupan rumah tangga saya ada masalah, dan sebagainya. Pikiran-pikiran semacam itu sempat meracuni saya berhari-hari, bahkan ketika saya mulai memasuki usia kepala dua. Dari situ saya sadar, ternyata saya bukan anak kecil lagi. Eh, meskipun saya bukan anak kecil lagi, saya masih suka lihat doraemon kok, serius. (mohon diabaikan saja kalimat terakhir itu).

Kamis, Mei 26, 2011

Aku mencintainya seperti ketika aku menengadahkan tanganku untuk menangkap butir air hujan yang jatuh satu-satu menerpa wajahku. Memeluknya lekat sebelum matahari merampas kebersamaanku dan membawanya pergi menjadi sejumput asa yang berwarna pelangi. Mencintainya seperti kembali menemukan mata air yang membasahi ranting-ranting daun membentuk sebuah embun yang ranum. Seperti kembali menemukan kesejukan di antara gurun pasir yang retak, yang kering, yang sepi, yang kosong. Sebuah kerinduan yang lama terpendam lebih jauh melampaui panjangnya malam ketika aku terpaku pada detik jam tanpa berani bernafas, kemudian perlahan-lahan kutemukan semburat berwarna jingga yang membawa secercah kehangatan, harapan baru. Aku bersyukur bahwa aku kembali menemukannya, berangsur-angsur mencintainya dalam wujud yang sama meski dalam kerinduan yang berbeda. Yang lebih, yang sejuk, yang entah.



Terinspirasi dari Cinta itu Kamu, Moammar Emka.



Madiun, Mei 2011
Tidak usah mempedulikan badai dan angin yang suatu saat akan membalikkan kapal kecil yang telah menopang tubuh kita. Tugas kita hanya mendayung, berlayar. Beginilah seharusnya. Kita hanya perlu membiarkan dayung itu menggerakkan perahu dengan sendirinya. Mengikuti kemana arus mengalir hingga membawanya pada sebuah dermaga. Kau percaya? Kelak kita akan berhenti di sana. Sekedar mencicipi segarnya air kelapa muda, juga membelai butiran-butiran pasir dengan telanjang kaki kita. Teruslah mendayung, tanpa berhenti. Aku pun akan melakukan hal yang sama.


Madiun, Mei 2011