“Saya ingin brownies,” katamu.

“Saya ingin es krim rasa keju,” saya menimpali, membuatmu menoleh ke arah saya. Diam sesaat kamu tatap mata saya lalu dengan rona yang sama kamu buang tatapan itu, berusaha menyembunyikan warna merah yang tersembul ke permukaan wajahmu dan akan selalu seperti itu jika kebetulan tatapan kita bertemu.  “Memangnya ada es krim rasa keju? Aneh-aneh saja kamu ini.”

Saya tertawa, saya tatap mata kamu yang berkilat-kilat malu. Entah, saya selalu merasa gemas setiap kali menatap wajahmu yang semakin terlihat lucu saat sedang berusaha menyembunyikan ekspresi salah tingkah itu. Ekspresi yang membuat saya merasa hangat secara tiba-tiba. 

“Masak malam-malam dingin begini kamu mau makan es krim? Kamu kan nggak tahan dingin.”


Iya, kamu benar. Saya memang tidak tahan udara dingin. Daya tahan tubuh saya yang lemah membuat saya sering bersin-bersin saat udara mulai menurun. Saya tak pernah melepas jaket atau sweater saya, pun dalam tengah hari yang panas. Itu karena saya selalu merasakan kedinginan, hingga tangan dan kaki saya nyaris menyerupai balok es di dalam freezer. 

Kamu turun dari pagar yang merupakan tempat favorit kamu saat menemani saya melihat bintang pada malam-malam musim gugur yang terang. Kamu menyejajarkan posisimu di dekat saya. Tanganmu yang besar dan panjang, kamu masukkan ke dalam saku jaket berwarna biru yang selalu melekat di dalam tubuhmu yang kurus. Entah kenapa, kamu pantas memakainya. Kamu pantas mengenakan biru, warna kesukaan saya. 

“Iya, saya pengen makan es krim.”

“Coba lihat tanganmu,” kamu menelentangkan pergelangan tanganmu untuk meraih tangan saya.

Saya letakkan tangan saya yang dingin di atas tanganmu yang menghangat. Kamu genggam sejenak tangan saya sebelum melepaskannya dan meninggalkan aliran yang menghangat di sana. Saya tatap tangan saya, bergetar namun tidak terasa.

“Tanganmu masih sama seperti biasa.”

“Memang seperti ini kan?” satu kali kedipan mata saya bergerak, meninggalkan jejak berupa bulu mata yang jatuh satu di sebelah kanan pipi saya, tepat di bawah kelopak mata saya yang menghitam akibat sering begadang menunggu bintang. Saya mendesah pelan seperti hendak mengalirkan kehangatan yang mulai tercipta dari telapak tangan saya. 

Hening, hanya terdengar gesekan dedaunan kering musim gugur yang tertiup angin lantas jatuh satu-satu mengenai rambut saya pun rambutmu yang hitam pendek sedikit bergelombang. 

Saya mencuri wajahmu, mengulum senyum secara diam-diam agar kamu tidak menangkap ekspresi saya. Wajahmu masih berwarna merah, bulu mata penaung matamu yang berhujan itu tampak terkesiap tertiup angin. Saya suka melihatnya. Dan tanpa sengaja, saya lihat sebuah bulu mata jatuh di pipi kananmu, tempat di bawah kelopak mata tempat saya melihat hujan.

Saya ambil bulu mata itu secara tiba-tiba, membuatmu sedikit terkesiap lantas membiarkan saya mengambil bulu mata itu. “Ada bulu mata yang jatuh,” kata saya.

Kamu diam, kamu tatap mata saya dengan tatapan yang membuat saya merasakan getaran yang menjalar secara tiba-tiba. “Di situ juga ada, sebentar...,” katamu, lalu kamu ambil bulu mata itu di wajah saya. Meletakkan bulu mata itu ke dalam ujung jari telunjukmu yang panjang. Lantas, kita tertawa bersama-sama. 

“Kebetulan,” kata saya. “Pasti kebetulan.”

“Kebetulan yang disengaja,” katamu, membuat saya tidak berhenti tertawa sejak saat itu dan kamu masih tetap menatap wajah saya dengan ekspresi yang sulit saya tebak. Saya tahu kamu mencurinya, diam-diam. Dan akan selalu seperti itu, entah sampai kapan.

“Tahu nggak apa artinya?”

“Apa?”

“Kalau bulu mata jatuh di sebelah kanan, itu artinya ada yang suka sama kita. Tapi kalau di sebelah kiri, itu artinya ada yang membenci kita,” wajah saya serius.

“Mitos dari mana itu?”

“Saya membacanya di buku,” kata saya.

“Sama saja saat kita melihat bintang jatuh, maka semua permohonan akan dikabulkan.” Kamu memberikan perumpamaan. 

Saya tertawa, lagi dan lagi. Lalu saya lihat bibir kamu mulai melengkung, kamu tersenyum. Hangat, tiba-tiba terasa hangat. Musim gugur yang terasa dingin, berangsur hangat karena saya melihat senyum itu. Senyum yang tidak biasa, senyum yang bisa melelehkan gumpalan es di pergelangan tangan saya dan hati saya.

“Mau sampai jam berapa kamu menunggu bintang?”

“Sampai ada bintang jatuh untuk mengabulkan permohonan saya,” saya menjawab, tanpa mengalihkan tatapan saya pada mata yang diam-diam memerangkap diri saya. Saya tidak mampu menatap matamu, atau mungkin saya terlalu takut menatap matamu? Takut jika ada sesuatu yang menyapa hati saya, sesuatu yang sulit saya deskripsikan. Sesuatu yang membuat saya tidak berhenti tersenyum hingga tidak sengaja menghadirkan dirimu dalam mimpi-mimpi singkat saya. Sesuatu yang terasa hangat, sesuatu yang tidak saya sadari telah pelan-pelan memerangkap saya, sesuatu yang entah.

Tiba-tiba kamu raih tangan saya. Menggenggamnya. Untuk pertama kalinya, kamu beranikan diri menatap mata saya, meski dengan rona yang sama. “Saya lapar, saya ingin beli brownies. Kita pulang saja yuk, saya takut kamu masuk angin.”

“Tapi bintang jatuhnya belum muncul.”

Kamu menarik tangan saya, memaksa saya untuk berjalan mengikuti langkah kamu yang cepat. Saya kelewatan. “Tidak akan ada bintang jatuh malam ini.”

“Ta.. tapi.. permohonan saya??”

“Sudah terkabul.”

“Bagaimana kamu tahu?”

“Saya lapar.” Rona itu terlihat lagi, semakin memerah, semakin menggemaskan.

“Kalau begitu belikan saya es krim rasa keju.” Saya menahan tawa saya dalam diam, pura-pura merajuk.

Kamu menyurungkan tangan kamu untuk melindungi saya dari hawa dingin. Merangkul pundak saya untuk menyejajarkan langkahmu dengan langkah saya. Saya mendongak. Kamu tinggi sekali, jauh lebih tinggi di banding saya yang hanya sebatas telinga kamu. “Mana ada es krim rasa keju? Kamu aneh-aneh saja.”

“Pokoknya kamu harus carikan sampai dapat.”

“Kamu aneh.”

“Aneh itu unik. Beruntunglah kamu bertemu dengan manusia langka seperti saya,” saya membela diri.

Selanjutnya, kita terus berdebat masalah itu. Masalah bulu mata yang jatuh di bawah kelopak mata kita, masalah bintang jatuh, masalah brownies dan masalah es krim rasa keju, hingga kamu yang pura-pura merajuk lantas mendahului langkah saya dan saya yang akhirnya mengejarmu dengan langkah putus-putus.

“Jalannya jangan cepat-cepat!”

Kamu berhenti, membalikkan badanmu lantas mengulurkan tanganmu untuk menggapai tangan saya. Lalu kamu benar-benar menggenggam tangan saya, memasukkannya ke dalam saku jaket kamu untuk kamu lindungi. Di situlah saya menemukan kehangatan itu. Begini saja cukup, begini saja. 

Ah, saya jadi takut kehilangan kamu. Saya memohon dalam hati.



Madiun, Juli 2011