Ini bulan April. Kau tidak sedang menunggu kereta seperti yang selalu kau katakan padaku, kan?


Kau tak perlu khawatir sebab kereta itu akan datang tepat saat jarum jam menunjuk angka empat, di penghujung fajar yang masih dingin. Dan aku akan berada di salah satu gerbongnya. Wajahku yang tirus dengan separuh kelopak mata berwarna hitam akibat menatap malam terlalu lama sebab aku tak ingin melewatkanmu begitu saja, seperti waktu itu, bulan April setahun yang lalu. Kau yang sedang menungguku, tapi kau hanya mendapat kabut yang sangat pekat dan gerimis yang menggigilkanmu. Gerimis yang menyembunyikanmu hingga aku tak dapat melihatmu dalam waktu-waktu itu. Namun April ini, aku telah ada di sana, di sebuah tempat duduk tepat di sebelah kaca retak dan sedikit buram, karena dari situlah aku bisa melihat wajahmu juga tubuhmu yang berwarna jingga akibat semburat fajar yang terbias sempurna. Kau adalah kenangan yang tercipta hangat di mataku. Sebuah kenangan sempurna seperti lukisan abstrak yang sulit aku artikan namun aku senang menatapnya lama-lama, itulah kau. 

Apakah kau mengingat pertemuan itu, seperti aku selalu mengingatnya dan membingkainya pada mimpi-mimpiku? Atau apakah kau masih sering menulis tentangku sebagaimana aku selalu menulis tentangmu, dan berharap kita akan dipertemukan dalam sebuah kesempatan yang sama? Lantas di fajar itu, apakah kau akan memakai baju berwarna jingga seperti yang selalu kau katakan padaku dalam surat-suratmu yang telah lalu? Aku selalu tersenyum membayangkan itu. Aku ingin melihat fajar itu memeluk tubuhmu, kau tahu? Aku ingin melihat fajar yang serupa di dalam matamu sebab diam-diam aku selalu merindukan fajar itu, fajar dimana aku bertemu denganmu di sebuah pagi yang lembab bulan Januari, di tengah aroma melati yang menguar bercampur embun sisa gerimis semalam. Kau seperti apa sekarang? Apakah masih sama seperti waktu itu, ataukah sudah tak lagi sama sebab musim telah menyembunyikan fajar itu darimu, dari wajahmu juga dari matamu? 

Bayanganku masih dipenuhi oleh pertemuan-pertemuan itu. Bahwa kita akan menyesap secangkir teh hangat beraroma melati dan menikmati kue muffin berwarna coklat kesukaanmu, di pagi yang hangat, di sebuah kafe dekat stasiun sambil melihat kereta –kereta berlalu dan kita akan menikmati irama stasiun yang khas itu. Lalu setelahnya, kau akan mengajakku mengunjungi tempat yang sudah lama ingin kau perlihatkan padaku. Tempat yang kau bilang penuh dengan kunang-kunang berwarna kuning yang menyala. Serta kita akan berada di sana seharian, menikmati cahaya kunang-kunang itu, berdua saja. Aku senang membayangkannya hingga aku tak menyadari jarum jam di tanganku sudah menunjuk angka empat, angka yang membuat jantungku tak berhenti berdegup.

Sebentar lagi kita akan bertemu, dan aku tidak sabar untuk itu. Tapi, hanya ada orang yang berpakaian abu-abu di sepanjang rel yang aku lewati, tanpa ada yang mengenakan kain jingga di antaranya. Apakah kau masih senang mengenakan baju jingga seperti kebiasaanmu dulu ketika menjemput keretaku? Atau kini kau mulai menyukai warna yang lain selain jingga? Tapi warna apa? Kau tak pernah mengatakan jika kau mulai menyukai warna selain jingga padaku? Dan jika jawaban itu benar, aku tahu apa yang harus aku lakukan.
Bulir bening itu semakin bertambah, lalu, perlahan, kaca keretaku semakin berwarna abu-abu dengan hiasan bulir tipis yang berwarna bening, jernih. Aku tidak tahu sampai sejauh mana aku duduk dan menatap jendela tanpa ada bayanganmu di dalamnya, hingga stasiun terakhir menjemput semua kerinduan itu dan jarum jam tak lagi berada di angka empat seperti kataku pada suratku yang lalu.