Meski diam, mata itu masih sering bercerita padaku. Mata yang telah menyimpan bermacam kenangan. Tentang semua tapak yang pernah dilalui, tentang semua waktu yang pernah singgah, dan tentang cinta yang masih membekas di hati sampai saat ini.
Mata yang semakin lama terlihat begitu ringkih. Mata yang mulai tampak menua termakan sepi yang kian menggigilkan. Mata yang menyimpan kerinduan pada sosok yang telah lama menghilang.
Dan aku diam-diam merindukan tutur kata yang selalu menceritakan rekaman perjalanan waktu pemilik mata itu. Seperti ikut menelanjangi masa yang telah berlalu melalui mesin waktu yang aku curi diam-diam. Seolah aku ingin mencatat rekaman perjalanan itu untuk aku baca setiap malam menjelang tidur.
Embun pagi mulai menguap sebab cahaya matahari berangsur menerangi langit biru yang tampak dari kaca jendela lebar di sudut dapur. Kaca jendela itu sudah lama tak terawat, tampak bercak-bercak menutupi bayangan yang terpantul di luar sana. Aroma teh menguar memenuhi penciuman meski bau melati tak begitu kentara. Aku masih diam. Menatap lekat pada mata yang memantulkan arak awan di luar sana, seperti entah menerawang ke masa beberapa tahun yang telah berlalu.
Dan mata itu terlihat berbinar setiap kali menceritakan tentang kenangan. Tentang seseorang yang dicintainya sepanjang masa, dan mungkin akan terus dia simpan di dalam ruangan kecil di hatinya.
“Dulu aku dan dia bertemu saat aku ikut pindah tugas saudaraku di dekat rumahnya.” Terkulum senyum meski diam-diam. Mata itu terlihat berkaca, wajahnya memerah seperti menahan sesuatu untuk tidak merembes keluar.
Aku masih diam. Mataku belum sekalipun beralih dari matanya. Uap teh di cangkirku berangsur menguap, tapi aku tidak terlalu peduli. Bagiku, tutur katanya bisa membuat hatiku hangat secara tiba-tiba meski cuaca di luar masih terlampau dingin. Sudah lama sekali aku tidak merasakan kebersamaan dan kehangatan seperti ini. Aku terlalu sibuk mengurus diriku sendiri hingga aku melupakan bahwa mata itu terkadang merindukan kehadiranku untuk sekedar menceritakan kenangan.
“Dia itu tidak pernah mengeluh.” Lagi, senyum itu menghangatkanku. “Dia sabar, lebih memilih diam dan mengalah, seperti kamu.”
Degup jantungku memberontak. Aku tercekat oleh sesuatu yang tidak kutahu. Pura-pura aku menyesap teh yang berangsur dingin. Meneguknya dengan susah payah, berharap bisa membasahi tenggorokanku yang mendadak kering.
“Kadang kalau ingat dia, aku merenung sendiri.”
Iya, aku tahu. Pemilik mata itu pernah bercerita sebelumnya padaku. Di sudut kamar pengap, dia sering menghabiskan malamnya seorang diri. Berusaha menghadirkan bayangan yang telah pergi untuk menemaninya merapal waktu. Bercerita tentang apa saja yang telah terlewati hari itu. Atau sekedar berdiskusi membahas masalah-masalah di tv, di radio, ataupun berdiskusi membahas diriku.
Sekarang semua tak lagi sama. Sunyi kian mencekik, bayangan itu sudah menghilang sejak beberapa tahun lalu. Tidak ada lagi tawa-tawa ringan sebagai pelepas senja menjelang malam, tidak ada lagi suara-suara yang membangunkannya tidur atau menyuruhnya sarapan dengan aroma sambal yang menguar bersama ikan asin kesukaannya. Tidak ada aroma kopi atau teh yang selalu tersaji setiap pagi ataupun sore menjelang senja karam. Tidak ada lagi kebersamaan di ruang makan selepas maghrib. Tidak ada lagi kebersamaan menapak jejak selepas maghrib meski hanya untuk melihat keadaanku atau sekedar mengetahui apa yang aku lakukan di tempat yang berbeda. Tidak ada lagi sebab semua telah menjelma menjadi sebingkai kenangan.
“Kamu sudah besar, masih minta gendong.” Sepenggal kenangan yang tiba-tiba berkelebat. Selepas maghrib, umurku sudah 9 tahun saat aku masih sering meminta gendong pemilik mata itu, menembus hujan yang belum separuh reda.
“Masa nasi goreng lagi? Jangan kebanyakan makan nasi goreng.” Kenangan itu tidak pernah terhapus. Aku yang berumur 9 tahun masih sering merajuk hanya karena tidak dibuatkan nasi goreng terenak racikan seorang wanita yang dicintai oleh pemilik mata itu. Dalam kenyataannya, dia tidak pernah menolak permintaanku, meski dengan omelan yang sekarang tidak pernah terdengar lagi, diam-diam dia memasak nasi goreng untukku. Nasi goreng dengan bawang merah yang belum separuh hancur juga cabe hijau yang tidak terlalu pedas dengan tambahan kecap manis tanpa telur. Entah kenapa, aku selalu suka mencium aroma nasi goreng buatannya.
Atau, saat umurku 12 tahun, mereka tanpa mengeluh merawatku. Membopongku menuju kamar mandi atau melumeri kakiku dengan bubuk obat yang hangat saat aku tidak bisa berjalan karena terkilir sehabis bermain badminton dengan temanku. Mereka yang merawat rambutku hingga tumbuh panjang menjuntai sebatas pinggang dan melarang aku untuk memotongnya. “Perempuan itu akan terlihat cantik kalau rambutnya panjang, hitam dan lebat,” katanya.
“Aku pengen hujan-hujan,” kataku suatu ketika saat hujan turun deras membasahi tanah dan menciptakan aroma ampo yang masih membekas.
“Mau nyari penyakit?” itulah kenapa wanita itu akan segera menghangatkanku dengan mie instan hangat dan segelas teh manis, juga buru-buru mengeringkan rambutku jika aku kehujanan.
Wanita itu yang selalu hadir mengambil raport-raportku semasa aku sekolah, dan dia adalah satu-satunya orang yang memeberikan standing applousse atas penampilan burukku saat menyanyi di hadapan guru-guru.
Semua kenangan seolah berkelebat, cepat, menusuk hingga membuat mataku terasa panas. Ah, entah kenapa kenangan terkadang terasa sangat menyakitkan meski di dalamnya ada sebuah kebersamaan yang membahagiakan.
Oh, I don’t wanna grow up
Wish I’d never grown up
I could still be little
Mata itu enggan menatapku. Mataku dan matanya larut dalam kepingan kenangan kami masing-masing.
Kini pemilik mata itu melakukannya seorang diri, apapun yang dulu biasa dia lakukan bersama orang yang dicintainya. Sesekali terkulum senyum meski bayangan matanya mengisyaratkan kerinduan tak terbatas atau pelan-pelan mengumpulkan kepingan kenangan yang mulai tercecer. Aku sering menangkap dirinya diam mematung mengeja waktu, hingga dia terlonjak sebab aku diam-diam memeluknya dari belakang. Tapi aku diam, tidak berani bertanya apa yang sedang dia tatap lekat-lekat dengan matanya yang kian senja.
“Lihatlah bunga-bunga di halaman itu, padahal dulu dia rajin sekali merawatnya, menyiramnya setiap sore. Dia suka sekali dengan bunga,” katanya. “Tapi ternyata apa yang dipunya dan dirawat di dunia itu tidak akan pernah dibawa jika seseorang sudah tiada.”
Bunga yang setiap sore selalu disiram dan tampak segar itu kini kering, layu, dan mati.
Aku diam. Namun pelan-pelan mengeja kenangan.
Aku melihatnya. Pemilik mata itu tak pernah beralih dari sisi orang yang dicintainya, sekalipun dia tahu bahwa kebersamaan mereka tak akan lagi lama. Dalam detik-detik yang mereka lalui di dalam ruangan serba putih, diam-diam pemilik mata itu selalu merapalkan doa untuk orang yang dicintainya. Menawar kepada Tuhan agar mereka diberikan waktu bersama sebentar saja. Tidak ada air mata meski bening itu menggenang, saat Tuhan akhirnya dengan tenang mengambil orang yang dicintainya.
“Kenapa tidak mencoba hidup baru, dengan orang baru?” aku bertanya. Berusaha menghindari kecamuk hebat yang nyaris membuat pelupuk mataku basah.
Pemilik mata itu menatapku sekilas. “Orang baru belum tentu sama dengannya, nggak akan sama.” Suaranya lirih. Matanya nanar, ada bening yang hampir lumer namun dia buru-buru membangkitkan tubuhnya. “Sudah jam sebelas, aku mau siap-siap sholat jumat.”
Ya, lelaki itu lebih memilih menyimpan kenangan dalam matanya.
Ah, hatiku gerimis. Kuedarkan tatapan ke seluruh susut-sudut rumah yang sunyi. Meski raga sudah terpisah jauh, meski kenangan tak lagi berakhir manis, namun cinta dan kebahagiaan sejati masih akan selalu ada. Menjadi kekuatan untuk seseorang dalam menghabiskan sisa hidup, meski dalam masa-masa sulit sekalipun.
Pelan-pelan, kusesap teh yang tersisa hingga habis. Dan aku beranjak dari dalam ruangan itu. Membiarkan sesuatu melumer membasahi hati, membiarkan kenangan menguasai separuh kesadaran hingga tereja doa yang pelan-pelan kurapalkan menembus gugusan awan.
Tuhan, Engkau punya cara tersendiri untuk mencintainya dan mencintaiku.
Madiun, Agustus 2011
Serius. Aku mulai merinding ketika baca dialog: "Kamu sudah besar, masih minta gendong."
BalasHapusDan, paragraf menuju akhirnya bener2 bikin merinding bangettt (apalagi aku sambil denger lagu Never Grow Up)
Kalimat favoritku: Meski raga sudah terpisah jauh,meski kenangan tak lagi berakhir manis, cinta dan kebahagiaan sejati masih akan selalu ada.
Betul banget! :)
Dan, aku mengangguk setuju membaca kalimat terakhirnya.
Keren!
hahahaha, aku pas nulis ini juga pas banget dengerin Never Grow UP :D
BalasHapusTerimakasih alvi :D
gila..nyasar di blog ini,gue ga nyesel
BalasHapussemua yang dicoretkan penulis ini membuat gue terkagum..penasaran dengan penulisnya (cowok atau cewek ya..hehe)
2thumbs for you..
Mbak, Aku udah baca, dan mengerti sekarang kenapa ini menjadi kebahagiaan sejatimu :)
BalasHapushmmm...suka banget dengan tulisannya...
BalasHapusmenjadi tambah ilmu bagi aku yang belajar ini...
salam kenal