Mama memberikan nama Senja padaku mungkin karena mama ingin aku menjadi setegar matahari. Ceria, tersenyum, dan tidak pernah mengeluh. Mungkin mama juga ingin aku menjadi penerang dan penghangat, seperti apa yang selalu senja lakukan kepada langit. Atau mungkin mama ingin aku menjadi seelok dan seindah senja dengan warnanya yang jingga keemasan? Mungkin juga mama ingin aku disukai banyak orang, seperti banyaknya orang  menyukai senja. Namun di balik itu semua, aku yakin mama tak pernah ingin jika aku berumur pendek seperti umur senja yang hanya sebentar. Ah... senja, di balik alasan kenapa mama memberikan nama Senja padaku, entah kenapa aku mulai menyukai nama itu. Terlebih saat aku mulai sering melihat wujudnya yang nyata beberapa tahun yang lalu, mengendap diam-diam di matamu.
Bulan Desember, beberapa tahun yang lalu. Saat langit berwarna abu-abu dengan gumpalan-gumpalan awan yang hendak menjatuhkan butir-butir hujan. Aku melihat setitik cahaya jingga menyesap lewat celah-celah awan untuk sampai ke matamu. Mata hujan yang memantulkan bias hangat hingga membekas jelas ke dalam hatiku. Menghangatkan entah sejak kapan dan akan berakhir sampai kapan.
Ah, Rain. Terlalu mulukkah perkataanku? Ya benar, aku memang tidak pandai merangkai kata-kata seperti apa yang selalu kamu tulis dalam postingan-postingan di blogmu, yang selalu aku baca diam-diam saat malam mulai merangkak naik dan menghadiahkan kesunyiannya untukku. Karena sesungguhnya, hanya itulah yang bisa kulakukan jika aku terlampau sering memikirkan penyakitku.
Rain, izinkan aku untuk mencoba sekali saja menuliskan perasaanku. Perasaan yang tidak seharusnya kukatakan padamu. Perasaan yang salah dan tak seharusnya ada. Namun izinkan aku menyimpannya dan terus menyimpannya dalam masa-masa selama aku masih mampu melakukannya.
Tidak perlu cemas dan khawatir, Rain. Bukankah kamu selalu bilang padaku bahwa aku adalah gadis tangguh yang tidak takut dengan apapun, termasuk penyakit? Sampai sekarang aku masih mencobanya, terus berusaha bangkit dengan menghadirkan kamu sebagai kekuatan terbesar yang membangun benteng-benteng keberanian sehingga aku masih bisa bertahan hingga saat ini. Bukankah dulu kamu pernah bilang ingin pergi ke stasiun bersama denganku lagi, seperti beberapa tahun yang lalu? Kita akan melihat titik hujan membasahi peron stasiun, kita akan diam sejenak mendengar irama rintik-rintik hujan yang merdu. Aku masih ingat bagaimana ekspresimu jika melihat hujan mulai masuk ke dalam matamu. Kamu akan diam seolah tidak ada seorang pun ada di dekatmu. Kamu akan diam-diam mengulumkan sebuah senyum tipis yang nyaris tak terlihat, seolah kamu sedang bercakap-cakap dengan hujan. Yang paling aku suka adalah pipimu yang tiba-tiba merona saat aku tiba-tiba membangunkan lamunanmu. Sungguh, aku tak dapat melupakan itu, Rain. Ekspresimu yang masih terbingkai jelas hingga membuat aku diam-diam tertawa jika aku mengingatnya.
Aku pernah merasa cemburu pada hujan, kau tahu? Tapi itu dulu, sejak aku belum memerangkap sorot lain yang tersembunyi dalam matamu. Sorot yang membuatmu terlihat lebih bahagia dari biasanya. Sungguh, aku senang melihat kebahagiaan yang perlahan-lahan hadir di matamu, mengendap-endap kemudian mulai menghangatkan semuanya.
Tidak apa-apa, Rain. Jangan pernah merasa bersalah karena kamu belum bisa membalasnya sekarang. Tidak apa-apa. Aku tidak memaksamu untuk membalas apa yang sudah aku rasakan kepadamu sebab cukuplah kamu di sini, Rain. Menghabiskan waktu-waktu bersamaku seperti biasa. Aku sudah merasa bahagia sekarang, Rain. Bahagia karena perlahan-lahan kembali melihat binar matamu yang sempat menghilang sejak Desember itu. Binar yang berbeda, kali ini lebih terlihat jernih dan hangat seperti warna jingga keemasan menjelang senja. Binar yang tidak pernah terlihat sejak kamu bersama denganku.
Aku tidak pernah menyesal karena pernah mencintai kamu, Rain. Aku tidak menyesal karena sudah menjadi orang yang paling dekat denganmu. Bagiku, cukuplah melihatmu bahagia, Rain, maka hatiku pun akan merasakan hal yang sama.
Ah... Rain, tahukah kamu kapan aku keluar dari sini? Aku ingin cepat-cepat keluar dari sini, Rain. Rumah sakit membuat aku tidak bisa melihat alam dengan bebas, seperti apa yang selalu aku lihat saat kita pulang sekolah bersama. Bahkan aku sudah lupa bagaimana rasanya hembusan angin yang dulu biasa menggerakkan rambutku, sebab sekarang pun aku sudah tidak memiliki rambut. Aku tidak ingat lagi aroma ampo yang aku sukai selepas hujan. Aku mulai kesulitan mengingat bunyi daun-daun gugur yang terlindas roda sepeda motormu. Hujan memang kerap menyapaku lewat jendela kaca itu, namun aku mulai tidak bisa mengingat suaranya yang selalu kita nantikan di emperan toko atau di peron stasiun. Aku juga mulai lupa bagaimana hangat matahari menyentuh lembut kulitku.
Sehari saja, jika aku sudah keluar dari rumah sakit, maukah kamu menemaniku membeli es krim vanilla atau mengunjungi toko buku yang biasa kita singgahi bersama? Aku ingin sekali membaca Hunchback From Notre Dame. Cerita-ceritamu membuat aku iri untuk membacanya sendiri. Aku juga ingin berhujan-hujan denganmu, tidak peduli kamu akan demam atau bersin-bersin setelahnya. Aku ingin mengunjungi stasiun tempat kita biasa melihat hujan turun dan mendengarkan lagunya mengalun merdu. Apa rumput-rumput di sana sudah meninggi? Ah, aku hanya ingin melewatkan waktu sehari saja untuk bisa bersamamu, Rain. Sehari saja.
Permintaanku terlalu muluk kan ya? Aku terlalu berharap meski aku sadar itu semua tidak akan bisa terulang kembali. Oh iya, belakangan ini Awan selalu datang sepulang sekolah. Dia mulai suka memutar lagu-lagu instrument alam atas permintaanku. Dia juga suka membawakanku kertas-kertas origami agar aku tidak bosan di rumah sakit. Aku mulai suka membuat bentuk burung bangau dan menyuruh Awan mengumpulkannya untuk disatu-satukan kemudian digantung di dekat jendela. Itu membuatku sedikit terhibur dan merasa lebih baik saat kamu belum atau tidak datang.
Rain, seperti apa senja di luar sana? Apakah masih tetap hangat dan indah seperti yang sudah-sudah? Apakah kamu sudah berhasil melihatnya dan mengabadikannya? Jika kamu datang lagi, aku ingin sekali mendengar ceritamu. Cerita tentang senja, tentang hujan, juga tentang dunia di luar sana. Tidakkah kamu berfikir jika senja yang datang saat hari berhujan itu terlihat sangat indah? Suatu saat aku ingin melihatnya, Rain, bersamamu.  
Senja
***
“Rain, aku ingin tidur sebentar saja. Kamu akan pergi lagi, Rain?” Perlahan, aku berusaha menggerakkan tanganku untuk menggenggam tangannya. Namun terasa berat dan dia harus menahan tanganku untuk tetap tinggal, sementara dia beralih menggenggam tanganku, lembut dan hangat.
“Saya masih akan di sini,” katanya dengan suara serak, sedikit terbata. Entah, perasaan apa yang tersembuyi dalam bening matanya yang perlahan berkabut.
Aku tersenyum. “Tolong tinggal sejenak, Rain. Aku ingin melihatmu duduk di sampingku. Karena dengan begitu aku tidak merasakan takut.”
“Saya di sini.”
Aku alihkan tatapanku pada kaca jendela yang mulai basah karena hujan mulai turun. Entah, aku lupa kapan terakhir kalinya aku menyentuh hujan dengan tanganku, membiarkan bulir-bulirnya jatuh menerpa wajahku dan rambutku. “Hujan turun saat siang, dan berakhir sebelum senja. Kapan terakhir kalinya kamu melihat senja, Rain, jika saat seperti itu kamu selalu ada di sini?”
Dia tampak terkejut, dahinya berkerut. “Apa yang kamu bicarakan?”
Aku menghela napas, mataku mulai terasa berat. Mungkin pengaruh obat yang mulai bekerja. “Maafkan aku, Rain...”
Selanjutnya, aku tidak mendengar apa-apa selain gemericik hujan yang mulai membasahi hatiku. Gemericik yang berangsur-angsur menjadi gumaman yang berdegung. Terkadang menjadi suara kicau burung-burung, terkadang menjadi suara angin, terkadang menjadi suara riak-riak daun gugur, namun tak jarang menjadi suara isak tangis dalam diam, tertahan.
“Rain, jika kamu berani balap lari denganku sampai halte itu, aku akan memberimu hadiah.” Bayangan itu kembali berkelebat, seperti slideshow berisi kenangan yang sengaja diputar berulang-ulang.
“Masa cowok takut sama hujan sih? Cemen kamu.” Aku mencibir saat itu. Entah kenapa, aku selalu senang jika melihat ekspresinya yang tampak ketakutan saat aku memercikkan air hujan pada tubuh dan wajahnya. Lalu dengan gaya ‘tidak takut hujan’ yang dia buat-buat, dia memberanikan diri menerobos hujan meski keesokan harinya dia tidak masuk sekolah karena demam.
“Rain, kenapa bisa sampai demam? Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu nggak cocok sama hujan?” Dan akulah yang paling merasa bersalah dengan kondisinya. Wajahnya pucat dengan bibir membiru, tubuhnya panas namun dia bilang, dia merasa kedinginan.  Sejak saat itulah aku tahu jika dia tidak terlalu suka dengan hujan.
Itu kenangan beberapa tahun yang lalu, saat semua kebersamaanku dan dia masih sebatas persahabatan. Saat semua masih terasa manis tanpa rasa canggung. Dan kebersamaan itu tetap berjalan stagnan hingga tibalah suatu masa yang merubah semua tak lagi sama. Menyebabkan persahabatan yang aku bangun dengannya menjadi sebuah benteng beku yang perlahan mendingin.
“Aku suka banget sama kamu, Rain.” Ya, aku jatuh cinta padanya. Cinta yang kemudian membuatnya mulai menghindari tatapan mataku, pelan-pelan. Bahkan aku mulai jarang melihat senyumnya yang dulu sering terkulum, atau binar matanya yang terang tanpa mendung berkabut. Rain mulai teratur mundur dari lingkaran persahabatan itu. Dia mulai terlihat sering melamun sejak hari itu. Meski aku masih tetap bersikap biasa padanya, aku melihat kejanggalan dari senyumnya. Matanya mulai terlihat mendung dan berkabut, seolah hendak menyembunyikan hujan yang tak kunjung turun.
Akulah yang telah membuatnya seperti itu. Akulah yang telah merusak kebersamaan dan persahabatan itu. Aku yang menjauhkan Rain dari diriku sendiri. Aku yang merusak kepercayaan yang telah dia titipkan padaku. Kepercayaan bahwa aku tidak akan pernah jatuh cinta padanya. Meski aku sudah bersikap sebiasa mungkin di hadapannya, aku tetap tidak mampu mengembalikan kebersamaan dan kenangan-kenangan yang telah kami lalui bersama. Aku selalu mengutuk diriku, mengutuk perasaan yang tiba-tiba menghangatkan hatiku jika aku tengah bersamanya. Aku mulai sering menangis diam-diam tanpa dia tahu. Bukan menyesali, tapi lebih kepada kenyataan bahwa sesungguhnya aku belum siap kehilangan dia, kehilangan sesuatu yang sangat berharga : persahabatan dan kenanganku bersamannya.
Satu bulir air mata menitik dalam sunyi yang menyesak. Semua kembali berputar-putar, seolah-olah Rainlah tokoh utama dalam mimpi-mimpiku saat ini.
Can he tell that i can’t breathe?
And there he goes, so perfectly,
The kind of flawless i wish i could be
She better hold him tight, give him all her love
Look in thoose beautiful eyes and know she’s lucky ‘cause
Aku bisa mendengarnya. Simfoni-simfoni yang mulai menyapa telinga setiap pagi, siang, malam dalam mimpi-mimpi indah tak berujung. Kehangatan-kehangatan yang mulai merayapi relung-relung perasaan entah dari mana. Namun aku tahu, Rain masih ada di sana. Masih di dekatku. Masih setia menggumamkan cerita tentang senja, tentang hujan, seperti permintaanku yang telah lalu, meski sesaat saja, sebab suatu saat dia pun akan menemukan senja yang selama ini selalu dia tunggu. Senja sebenarnya, senja yang lain, senja yang lebih hangat, senja yang terpancar dari sorot selain sorot mataku.
Dan aku akan melihat mata mereka bertemu, membentuk siluet gerimis yang menyatu dalam bias senja hangat di dalam hati mereka.
Perlahan, aku merasa genggaman tangan Rain memudar. Hangat yang sejak tadi menyelimutiku berangsur-angsur hilang menjadi segumpal gigil yang membat tubuhku beku. Simfoni-simfoni merdu itu mulai tergantikan dengan kesunyian panjang yang terus menerus mengalun. Tenang dan damai sebab mulai terasa sedikit sekali hangat yang memancar dari hatiku, yang sebentar lagi akan menghangatkan seluruh tubuhku. Ah, Rain, terimakasih sudah mengizinkanku membawa serta perasaan ini. Aku masih akan tetap menyimpannya, sampai di masa yang tidak kuketahui.
Well you showed me
How it feels to feel the sky within my reach
And I always
Will remember all

Madiun, Agustus 2011