Rabu, November 14, 2012

Hujan masih meninggalkan gerimis kecil-kecil ketika taksi yang kutumpangi berhenti tepat di pelataran parkir stasiun itu. Aku merapatkan sweater yang sejak tadi kukenakan, merapikan syal agar menutup leherku, kemudian berlalu ke peron dengan kecipak-kecipak air yang tertinggal di sepatuku. Jadwal keberangkatan kereta masih lima belas menit lagi. Namun aku memilih untuk datang lebih awal agar tidak terjebak dalam kemacetan Jakarta. Kabut pelan menyusup seperti kepulan asap kopi, mengirimkan hawa dingin yang seketika mampu membuatku meremang.
Aku duduk di sebuah kursi tunggu, memeriksa kembali tiket keretaku dan seketika mataku tertumbuk pada nama stasiun yang tertera di kertas biru laut itu.
Ah...

*

Lelaki itu berkacamata dan menyilangkan tangan di depan dada. Matanya layu dan memiliki lingkar kehitaman yang jelas terlihat. Tempat duduknya yang hanya berjarak dua depa di depanku membuatnya leluasa menatapku sedari tadi, sejak kami sama-sama menaiki kereta yang sama.

Sepeninggal Ayah, aku memutuskan untuk melepas semua kontrak kerja di Oslo dan memilih berkarir di Jakarta karena alasan-alasan tertentu. Seorang mantan rekan kerja Ayah yang mengenal baik keluarga kami merekomendasikanku untuk bergabung di perusahaan yang ia kelola. Singkat kata, aku menerima tawaran itu meski dengan terpaksa. Dan setahuku, lelaki itu adalah anggota baru yang resmi bergabung beberapa minggu yang lalu di perusahaan tempatku bekerja. Itu artinya kami bekerja di tempat yang sama.

Aku sendiri tidak mengingat namanya meski sebelumnya seorang rekan pernah memperkenalkan dia padaku saat jam makan siang. Di tempat kerja, dia terlihat aneh dan terkucilkan. Kerap kali melamun dan senang mengasingkan diri. Dia juga tidak banyak bicara.

Aku menutup bacaanku dan memilih mendengarkan musik lewat sepasang headset yang tersambung dari ponsel. Sungguh, membaca di dalam kereta jurusan Jakarta-Bogor di jam-jam pulang kerja itu bukanlah pilihan yang tepat.

Ia masih menatapku dengan sepasang matanya yang itu. Aku melempar pandang dan beruntung karena kereta berhenti tepat di stasiun tujuanku. Aku mempercepat langkahku, sementara hujan lebat membuat dinding-dinding stasiun bergemuruh.

Tanpa memedulikan apapun, aku menerobos hujan dengan sepatu hak tinggi yang membuatku nyaris terpeleset.

"Tunggu!"

"Anyelir, tunggu!"

Aku menoleh.. dan mendapati lelaki itu berlari mengejarku. Ia menutup kepalanya dengan lengan yang telah basah. Napasnya terengah saat sampai di dekatku dan kacamatanya penuh embun akibat hujan.

"Namamu Anyelir kan? Maaf, jika aku salah menyebut namamu. Aku tidak pandai mengingat nama orang," katanya dengan suara serak dan berat.

Dia mengingat namaku.

"Aku buru-buru," kataku, berusaha menghindarinya. Berusaha agar dia tidak terlampau jauh memantau. Ya, aku merasa dia memantauku. Agak berlebihan memang. Tapi apa namanya kalau bukan memantau?

"Kau meninggalkan ini di kereta." Dia lantas menyerahkan buku yang tadinya ingin kubaca di kereta. Astaga! Rupanya aku lupa memasukkan buku itu ke dalam tas.

"Jaga dirimu. Sampai ketemu besok."

Aku tidak mengucapkan apa-apa. Lelaki itu menyesap rokok yang tergamit di jarinya, kemudian berlalu bersama hujan yang menderas.

November, 2012

Published with Blogger-droid v2.0.6

Minggu, November 04, 2012

"Apa kau mengenal ayah?" Kata-kata itu terlontar begitu saja dari bibir Arne yang biru dan gemetar. Ia menatapku dengan selidik, mencoba mencari tahu jawaban dari pertanyaan yang ia karang sendiri. Dahinya yang sepucat pualam berkerut-kerut, membuatnya terlihat lebih tua dari usia aslinya.

Aku diam beberapa saat dan ia nampak frustasi. Disesapnya sedikit kopi yang tersedia di meja. Barangkali hanya itu yang membuatnya nampak hangat di tengah gigil dan kebekuan suasana yang tercipta. Ini sama sekali di luar dugaan. Melihat mata Arne yang hitam dan kuyu seperti membuka lagi masa lalu. Tentang gadis kecil yang kerapkali kudapati menyendiri di halaman belakang rumah dengan kuas-kuas bekas dan cat minyak juga serbuk-serbuk kayu.

Aku gila. Atau barangkali masa lalu yang memang membutakan? Benar-benar tak terpikir sebelumnya jika ia adalah salah satu penghuni masa laluku. Tidak, sebelum semua tumpah ruah secara bersama dalam satu waktu yang sama. Seperti hujan yang kemudian tumpah lantas membasahi kami. Masa lalu pun pada akhirnya membuat kami menggigil dengan pikiran masing-masing, mencipta kebekuan yang -bahkan, aku maupun Arne tidak mengerti bagaimana mengembalikan suasana senetral biasanya. Sebelum insiden pertemuan di makam ini terjadi.

"Aku tidak begitu mengenalnya," aku berbohong. Lebih tepatnya, aku begitu mengenal lelaki itu. Sangat mengenalnya bahkan.

Mata Arne semakin menyipit. "Bagaimana bisa kau ada di sini? Apa hubunganmu dengan Ayah?"

Aku tidak berani menatap matanya. Pun menyangkal kenyataan yang memang benar adanya. Aku mengenal lelaki yang disebut Ayah itu, dan menyangkal kenyataan itu semua adalah dusta yang menyakitkan. Aku diam. Sialnya, aku terlalu banyak meneguk kopiku hingga tak sadar jika cairan di dalam mug itu sudah tidak bersisa.

"Hanya kebetulan, Arn. Aku...," kata-kata ini seperti sebongkah batu beku. "Dia pelukis yang hebat. Aku mengagumi karyanya. Sebatas itu."
Sungguh, mata kuyu itu tak ubahnya sebilah belati yang kemudian menghunus dadaku. Sakit. Kebohongan ini menyakitkan.

Arne diam. Ia menopang dagunya, seperti mengabaikan kegugupanku meski aku tahu ia sangat mencurigai gelagatku. Ia membuang pandang ke luar jendela, mengamati butiran hujan yang membentuk uap-uap tipis yang memantulkan wajahnya. Matanya nanar, seperti ada lorong pekat yang membuatnya menggigil. Kesepian dan terasing. Sekejap, aku melihat pupilnya berkaca tanpa air mata. Ia tersenyum hambar dalam kebekuan.

"Arn..." kugenggam tangannya yang serupa bongkahan salju. Tangan yang pucat dan ringkih. Membuatnya terkesiap. "Aku turut berduka. Tapi percayalah... aku masih sahabatmu yang dulu. Kau tidak perlu merasa kesepian." Barangkali hanya itu yang bisa kukatakan untuk membuatnya sedikit merasa lebih baik.

Ia tersenyum lantas membalas genggaman tanganku. "Thanks Len. Aku hanya merasa bingung dengan ini semua," katanya.

Aku tahu.

Aku membiarkan kepalanya mendarat di dadaku. Ia terisak. Dan.bulir hangat itu pelan membasahi peegelangan tanganku. Rambut Arne yang basah dan lembab samar-samar beraroma cytrus. Aku mengelusnya. Dan dadaku merasa hangat meski ada sedikit sesak yang susah dijabarkan.

Selanjutnya, aku harus bertemu Pujia untuk membicarakan semuanya.

Jakarta, November 2012

Published with Blogger-droid v2.0.6