Rabu, Agustus 29, 2012

Dari bandara Gardermoen, Oslo,  penerbangan ke Indonesia mengalami dua kali transit di London dan Hongkong. Setelah melewati perjalanan selama kurang lebih dua puluh jam akhirnya aku bisa menginjakkan kaki di Soekarno-Hatta. Lagi.

Hujan menyambut kedatanganku kali ini, menawarkan suasana sendu yang sudah membekas sejak aku di Norwegia. Taxi yang kutumpangi melaju lambat karena macet di seputaran Slipi. Tidak banyak yang kukatakan. Hanya terdengar sayup-sayup suara klakson yang beradu dengan gemericik hujan di luar sana. Jakarta masih semacet biasanya. Kali ini taxi membisu, menuju tempat yang jauh ke selatan Jakarta. Kemang. Ke rumah yang mulai terasa asing dan dingin.

*

Aku memutuskan pulang lebih lambat dari kepulangan Pujia ke Indonesia  Setelah pertemuan di kedai sushi beberapa minggu yang lalu, kami kembali bercakap lewat telepon. Ia hanya mengabarkan jika Ayah mengalami sakit yang cukup serius, sementara aku tidak membicarakan perihal surat Bibi Marie yang membuatku mengetahui kabar itu sebelum Pujia menelfon. Bibi Marie adalah saudara Ibuku yang menetap di Cirebon. Semenjak ibu meninggal dan semenjak aku menghilang ke luar negeri, aku seperti menghilang dari jejak keluarga besarku di Jakarta. Aku merasa keputusan untuk mengubur kenangan di Norwegia adalah keputusan yang tepat. Tidak ada yang perlu diingat, keluarga yang seolah nampak baik-baik saja meski pada akhirnya terlihat berantakan. Masa lalu yang tidak lagi sama serta banyak lagi kenangan yang membuat aku terluka.

Bibi Marie menyayangiku. Ia wanita yang malang. Di usia lima tahun pernikahannya bersama Anton, bibi Marie belum juga diberkahi anak. Itulah yang membuatnya menyayangiku lebih dari anaknya sendiri. Dan ia kerap memaksaku untuk tinggal di rumahnya setelah Ibu meninggal. Saat itu, aku menolak dengan halus. Aku merasa tidak ada yang perlu dipertahankan kembali sepeninggal Ibu. Ayahku, sudah bahagia dengan Pujia dan juga anak Pujia yang lahir jauh sebelum aku ada di dunia ini. Entah bagaimana caranya, mereka bisa menyembunyikan rahasia itu rapat-rapat. Membuat luka yang sebenarnya menganga lebar menjadi sebuah luka ringan yang kemudian tidak membekas. Aku kecewa dan marah. Untuk itulah aku memutuskan pergi.

Tahun-tahun pertama aku memutuskan kuliah di Norwegia, Ayah masih rajin mengirimiku surat. Mengirimiku gambar-gambar lukisannya yang berhasil ia selesaikan. Meski aku sangat membenci Ayah, sesungguhnya surat yang datang dari Ayah mampu mengusir sedikit kesepianku. Lambat laun, aku mulai merindukan suratnya ketika Ayah -entah sudah berapa lama, tidak pernah lagi mengirimiku surat.

Hujan membuat segalanya terlihat jelas. Kenangan-kenangan di suatu sore di teras rumah saat Ayah menikmati biskuit gandum kesukaannya. Kenangan tentang masa kecil yang baik-baik saja. Kenangan di suatu siang, ketika hujan deras mengguyur Norwegia, entah perasaan apa yang saat itu membuat nama Ayah menghiasi ponselku.

"Hallo?"

"Hallo An," hening yang bisu membuat tenggorokanku tercekat. "Bagaimana kabarmu, Nak? Kau sehat?"

Lalu, sebelum aku sempat menjawab pertanyaan Ayah, kulihat layar ponselku telah menghitam. Baterai lemah. Dan aku kembali dalam perasaan sunyi yang dalam bersama dengungan-dengungan suara Ayah yang masih membekas seiring bulir bening hangat yang tiba-tiba saja melumer di pipiku.

*

Melalui telepon siang itu, Pujia bilang, ia akan kembali lagi ke Indonesia dalam waktu beberapa hari ke depan. Sesungguhnya, aku tidak mengharapkan kedatangan wanita itu di Norwegia. Dan aku tentu tidak akan menginjakkan kaki bersama wanita itu di Jakarta. Aku bertekad, selepas urusanku selesai di Indonesia, aku akan cepat kembali ke Norwegia.

Namun sesuatu membuyarkan lamunanku. Ponselku berdering. Mendadak hujan di dalam taxi menjadi pemandangan yang tidak menarik lagi setelah sayup suara Bibi Marie terisak dari seberang telingaku.

"An.. kau dimana? Ayahmu... ayahmu meninggal."

Ada sesuatu yang menghujam dadaku. Semua seolah mendadak kebas. Aku tidak bereaksi apa-apa hingga akhirnya aku tak mampu menerima telepon dari Bibi Marie.

Entah apa yang menggelayuti pikiranku, aku tenggelam dalam kesunyianku sendiri. Meratapi sesuatu yang seperti terlambat untuk dikatakan. Dan air mata itu kembali mencair tanpa kuminta.

Jakarta, Agustus 2012

Published with Blogger-droid v2.0.6

Kugy (Maudy Ayundia) bercita-cita ingin menjadi juru dongeng, sementara Keenan (Adipati Dolken) bercita-cita ingin menjadi pelukis. Mereka berdua bertemu di stasiun kereta saat kebetulan Eko (Fauzan Smith) dan Noni (Sylvia Fully) mengajak Kugy menjemput Keenan yang barusaja pulang dari Amsterdam.
Chemistry dan ketertarikan Kugy dan Keenan bermula saat Kugy menyerahkan buku dongengnya kepada Keenan sementara Keenan membuatkan ilustrasi dari cerita-cerita yang dibuat Kugy.

Bercerita tentang percintaan diam-diam antara Kugy dan Keenan (yang sama-sama hadir di saat yang tidak tepat) ini terbalut kisah persahabatan dan konflik yang apik.

Setelah beberapa hari ini saya keracunan Perahu Kertas dan sempat melihat treasernya di youtube, akhirnya hari ini saya diberi kesempatan untuk menontonnya. Entah, saya tidak tahu apa yang ada di pikiran Hanung ketika memvisualisasikan novel setebal 444 halaman itu menjadi sebuah film. Rasanya memang mustahil mengadaptasi utuh adegan demi adegan di dalam novel ke sebuah film berdurasi sekian jam saja. Sehingga pihak produksi harus rela memangkas beberapa adegan dan membuat film ini menjadi dua chapter.

Sebenarnya tidak masalah bagi saya jikalaupun film ini memang harus dibagi menjadi dua chapter, asal eksekusinya yang mengagumkan
Namun sepertinya, eksekusi dari film ini tidak menimbulkan 'greget' sama sekali. Hal itu terbukti sejak adegan pembuka hingga film mulai memasuki fase-fase ending. Banyak adegan di dalam novel yang sebenarnya sangat ingin saya lihat di dalam film justru tidak ditampilkan. Seperti adegan saat Kugy memanggil nama Keenan melalui sebuah mikrofon di stasiun. Adegan saat Kugy dan Keenan sama-sama terjebak di Stasiun Citatah saat kereta mengalami anjlok. Insiden pisang susu. Rencana pencomblangan Keenan dan Wanda (Kimberly Rider) yang disambut ekspresi 'penolakan' oleh Kugy. Percakapan Keenan dan Kugy saat tahun baru, sosok Mas Itok yang tidak dimunculkan, Pelukan Eko dan Kugy di sidang skripsi Kugy yang menyebabkan konflik antara Noni dan Kugy semakin meruncing, dan masih banyak lagi.

Banyaknya adegan yang terpotong, entah kenapa justru membuat sosok Kugy dan Keenan kehilangan chemistrynya. Padahal di novelnya, tokoh Kugy dan Keenan mempunyai chemistry yang terjalin cukup baik sekali. Plot di dalam novel yang teratur membuat jalan cerita dan konflik-konflik yang runtut. Chemistry kedua tokoh terjalin melalui impian mereka dan keanehan-keanehan mereka yang membuat dunia mereka berdua begitu mengagumkan. Namun, di dalam film, saya hanya melihat dari sudut pandang Kugy saja. Sebagaimana hanya Kugy yang mendapat perhatian ekstra. Narasi-narasi yang Kugy ceritakan cukup bisa membuat saya bernafas lega. Setidaknya, sosok Kugy benar-benar hidup melalui narasi-narasi yang apik, meski kenyataannya saya kurang bisa menemukan karakter Kugy di dalam peran Maudy yang terbilang baik. Sebaliknya, peran Adipati -entah kenapa- belum bisa menggambarkan sosok Keenan yang selama ini meledak di dalam kepala saya. Jika Kugy selalu mendapat sorotan di sepanjang film ini, Keenan seolah hanya menjadi pemeran pendukung. Padahal di dalam novel, kita semua tahu bahwa Keenan dan Kugy memiliki porsi yang sama. Mereka adalah tokoh utama yang sentral. Sumber konflik yang menyebabkan cerita bergerak dari satu bab ke bab yang lain.

Banyaknya adegan yang terpotong dan banyaknya adegan yang digabungkan secara paksa di bagian yang bukan tempatnya, membuat saya mengerutkan dahi. Tim produksi seperti berusaha keras menyambungkan plot demi plot dengan alur yang melompat-lompat, namun seringkali membuat penjiwaan karakter itu terasa kurang sekali dan membuat cerita yang dibangun seolah 'maksa' dan buru-buru agar secepatnya bisa sampai ke konflik lalu ending, selebihnya tidak memberikan kesan apa-apa. Seperti saat Kugy dan Noni tiba-tiba berseteru, dan Keenan yang mulai kehilangan impiannya lalu memutuskan ke Bali. Saya berharap di chapter itu, penjiwaan kedua tokoh lebih ditonjolkan lagi. Jujur, saat membaca novelnya, bagian itulah yang membuat saya 'susah bernafas'. Dimana Kugy yang merasa serba salah atas perasaannya pada Keenan, sementara Kugy yang ternyata memiliki kekasih bernama Ojos (Diyon Wiyoko). Hal yang sama terjadi pada Keenan saat mulai dekat dengan Luhde. Konflik akibat kesalahpahaman yang pada akhirnya membuat hubungan empat sekawan itu berubah. Tak lagi sama. Konflik batin antara Kugy dan Noni yang membuat dia menjauhi Noni.

Dan terlebih, kehadiran Hanung sebagai cameo, terlihat sangat aneh dan lucu :|
Saya ingat, dia juga pernah menjadi cameo di filmnya sendiri : Lentera Merah. Saya kurang tahu, kebiasaannya menjadi cameo di film-film buatannya itu semacam obsesi terpendam atau memang kekurangan peran sebagai cameo, sama sekali bukan masalah saya. :p

Film ini seperti sengaja mengejar durasi namun caranya kurang tepat.

Alhasil, separuh perjalanan menonton film ini, saya kebosanan. Apa yang saya bayangkan sangat jauh berbeda dengan apa yang saya baca.

Mendekati ending, jalan cerita mulai menemukan muaranya. Keenan tidak sengaja bertemu lagi dengan Kugy di acara nikah Noni dan Eko.

Jika di awal seperti buru-buru, menjelang ending justru terkesan lebih stabil. Jalan cerita sudah lebih runtut namun ada satu hal yang membuat saya mengerutkan dahi. Di dalam film, Eko dan Noni memutuskan menikah, padahal di novel, mereka hanya berencana tunangan saja, bukan? :|
Entahlah, bagian ini berpengaruh atau tidak. Tapi sebagai penonton film yang diadaptasi dari novel yang kebetulan saya baca juga, saya mengharap film ini tidak jauh beda dengan apa yang ada di dalam novel. Mungkin sang sutradara memang hobi sekali membuat adegan-adegan yang melenceng dari isi dari novel itu sendiri. Namun adegan ini seolah membawa angin segar. Adegan Eko yang salah mengucap ijab kabul membuat saya terpingkal. Dan sejauh ini, saya menganggap peran Fauzan Smith sebagai Eko adalah peran yang paling konsisten. Humor-humor cuek khas Eko seolah menjadi pengobat rasa kantuk saat menonton film ini, Fauzan memerankan Eko dengan sangat baik. Di samping peran Eko, saya memuji penampilan Reza Rahardian yang memerankan Remigius yang berkarisma dan berwibawa. Lalu, peran Luhde oleh Elyzia Mulachea yang menunjukkan gadis Bali yang pemalu.

Dan sepertinya saya harus melupakan novel aslinya saat melihat film ini. Karena bagaimanapun juga, film ini berbeda dengan novelnya dan ekspektasi saya justru sangat jauh berbeda dibandingkan menebak-nebak ending novelnya yang ternyata juga membuat saya kurang puas. Meski film ini pada akhirnya membuat saya kecewa, saya tetap mengapresiasi film ini sebagai sebuah karya seni. Jauh dari kekurangan-kekurangan yang saya rasakan, film ini memiliki tata cahaya yang menurut saya bagus. Suara yang jernih, pemilihan setting yang bagus dan tentusaja soundtrack yang ditata sedemikian apik. Satu-satunya hal yang menolong saya dari kebosanan menontonnya. Bagian favorit saya adalah, saat permulaan yang menunjukkan kapal Kugy yang mengambang di tengah laut. Menurut saya itu eksotis :D Dan saya baru sadar, ternyata format film episode pertama ini dibuat flashback dengan menyisipkan peristiwa-peristiwa sebagai kenangan Kugy di ending cerita. Dan mungkin karena alasan itulah kenapa film hanya menyorot satu sosok Kugy saja, bukan Kugy dan Keenan.

Terlepas dari itu semua, saya tetap menunggu chapter selanjutnya. Semoga bisa lebih baik dari chapter pertama. Yang jelas saya penasaran dengan lanjutannya. :)

Jakarta, Agustus 2012

Published with Blogger-droid v2.0.6

Minggu, Agustus 26, 2012

Masih ada beberapa waktu untuk bertemu Arne sebelum aku bertolak ke Indonesia. Pertemuan itu berlangsung di apartemennya. Spagetti dan sup kacang merah buatan Arne sama sekali belum tersentuh. Wanita itu diam membeku di depanku, membiarkan irama Yesterday mengalun sayup lewat dvd yang dibiarkan menyala di pojok ruangan. Gambar-gambar di televisi berubah-ubah. Arne tidak memedulikannya.

Di tengah cuaca yang mulai dingin itu, Arne hanya mengenakan kaus tipis berleher lebar yang memperlihatkan sedikit belahan dadanya, juga sebuah hotpant berwarna hitam. Wajahnya muram, seperti memikirkan sesuatu yang tidak kuketahui. Rambutnya tergerai, sedikit lebih panjang dari yang terakhir kalinya kulihat. Sudah lebih dari seminggu ia tidak menghubungiku, juga menceritakan apapun yang biasa ia lakukan sepanjang malam. Arne berubah menjadi pendiam.

"Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, Arn? Kau tampak berantakan. Apa kau sakit?" Aku memecah keheningan. Namun Arne tidak bergeming. Ia menyesap air putih dan menyuapkan beberapa sendok sup kacang merah ke mulutnya dengan ekspresi datar.

"Aku baik saja, Len. Maaf aku jarang menghubungimu sekarang... Aku..." suara Arne menggantung. Ia seperti orang depresi. Matanya cekung dan wajahnya pucat.

"Saat aku berkunjung ke kantormu, mereka bilang kau sudah dua hari tidak hadir di kantor. Lantas bagaimana dengan proyekmu?"

Arne diam. Aku meralat ucapanku, tidak seharusnya aku membahas pekerjaan di suasana seperti ini. "Maaf Arne, maksudku..."

"Ya, aku memutuskan cuti selama beberapa hari. Mendadak ada beberapa urusan yang harus kuselesaikan." Korden yang bersibak karena angin musim dingin menjadi satu-satunya irama yang menyelimuti kami. Salju masih turun seperti biasa. Aku berharap penerbanganku ke Indonesia tidak terganggu karena salju.

Aku membangkitkan tubuh, mengambil mantel yang terselampir di gantungan kemudian menyelimutkannya di tubuh Arne.
"Kurasa penghangat ruanganmu tidak berfungsi baik malam ini. Kau pasti kedinginan. Dan kurasa kau memerlukannya."

Arne masih tak bergeming. Tahu-tahu, air putihnya sudah habis dan ia menuangnya kembali. "Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa." Ia berkata. Suaranya serak.

"Ada apa?" Mendadak aku tidak bisa meninggalkan wanita itu sendirian. Ia tidak punya siapa-siapa di Norwegia, dan satu-satunya temannya bercerita adalah aku. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Arne jika aku meninggalkannya sendiri di negeri asing ini. Oke, aku berlebihan dan terlalu menganggap Arne selalu butuh kedatanganku.

"Kemarin Bibi Marie mengirim surat. Ayah sakit keras."

Aku tercekat. Sejauh aku mengenal Arne, baru sekali ini aku mendengar ia berbicara masalah keluarga. Selama ini, aku merasa Arne seorang gadis yang tertutup, ia tidak pernah suka jika aku membicarakan perihal keluarga.

"Banyak hal terjadi selama seminggu ini, Len. Tiba-tiba saja aku mendapat proyek yang sangat kuinginkan. Dan dalam waktu bersamaan, aku bertemu dengan seseorang yang tidak ingin aku temui, lalu surat Bibi Marie yang mengabarkan bahwa Ayah sakit keras." suaranya mulai bergetar. Bahunya berguncang, kemudian ia menangis.

***

Ia gadis yang menyukai krisan. Yang kerap memunguti serpih kelopak krisan secara diam-diam di halaman rumahku. Dulu, aku kerap melihatnya menyapukan kuas yang diam-diam dicurinya di sebuah alas buku gambar yang masih bersih. "Aku meminjam kuas ayah," katanya. Dan setiap menyapukan kuas itu, wajahnya selalu berbinar. "Aku ingin menjadi pelukis."

Aku tak pernah tahu siapa namanya. Ia gadis yang manis. Yang diam-diam selalu menunggu pria berkumis tipis itu melukis di halaman belakang rumah mereka. Dan waktu berputar, semakin sering gadis itu melukis sendiri. Menghabiskan hari dengan kesenangan yang ia ciptakan lalu suatu ketika aku melihat air matanya. Ia membiarkan bening itu luber memenuhi pipinya yang merah. Dan sejak saat itu, aku tak pernah lagi melihatnya melukis. Pun memunguti serpihan kelopak krisan di halaman rumahku.

Tiba-tiba aku teringat kembali dengan kenangan itu, sekian lama. Karena Arne.

Wanita itu begitu rapuh. Aku membiarkan tangisnya tumpah di kemejaku. Membiarkan tubuhnya yang mungil meringkuk di pelukanku. Membiarkan segala sesuatu tumpah ruah saat itu juga. 

"Arn..." suaraku beku. Seperti hawa dingin yang mulai berangsur membatu. Aku menepuk pundaknya, dan tangis itu semakin menjadi.

Arne mengendurkan pelukannya, menatapku dengan mata sembab yang berusaha ia sembunyikan.

"Maaf... Tidak seharusnya aku bersikap senaif ini."

"Aku ada di sini bersamamu, Arn... Kau bisa bercerita apapun."

"Terimakasih Len, bahkan aku belum sempat mengenalkan Will padamu sesuai janjiku."

Hanya itu yang ia katakan. Selebihnya ia diam. Membiarkan segalanya membisu.

Hatiku ngilu.

Yesterday masih mengalun sesamar biasanya. Entah sudah berapa kali lagu itu terputar secara berulang-ulang, seperti itu.

Aku membangkitkan tubuh menuju ke arah lemari pendingin. Dan mataku tertumbuk pada vas bunga di atas meja kerja Arne. Vas itu berisi bunga krisan yang sudah kering.

Jakarta, Agustus 2012

Published with Blogger-droid v2.0.6

Sabtu, Agustus 25, 2012

Arne


Salju pertama di bulan Desember mulai turun seperti kapas. Membawa hawa dingin yang membuatku malas beranjak dari tempat tidur. Ini masih terlalu dini. Namun migrain yang tiba-tiba menyerang kepalaku memaksaku untuk mengambil air putih di lemari pendingin dan beberapa butir aspirin.

Aku menyibak korden berwarna krem yang menyelimuti jendela lebar di pojok ruangan apartemen. Salju yang putih mulai menyelimuti kota seperti hamparan awan. Tidak terasa sudah Desember. Dan tidak terasa sudah beberapa tahun ini aku merayakan Natalku sendiri.

Aku mendesah. Meletakkan sisa air putih di meja kerja yang berada di dekat jendela. Membiarkan salju-salju itu menjadi pemandangan yang menghiasi jendela lebar itu. Salju dan Natal tiba-tiba mengingatkanku pada Ibu dan segala kenanganku di Indonesia.

Hening. Senyap. Dan ternyata suasana itulah yang menemaniku selama ini. Yang sertamerta membuatku melarikan diri. Yang memaksaku melakukan kesibukan sebagaimana tubuhku masih mampu melakukannya. Hingga baru sekarang aku menyadarinya. Suasana itu yang ternyata kuhindari selama ini. Suasana kesepian yang membuat slide-slide kenangan terputar jelas di kepalaku.
Seketika nafasku mendadak berat dan segalanya tumpah ruah menjadi butiran hangat yang melumer di wajahku. Dan aku membiarkannya.

***

Len


"Aku tidak tertarik dengan warisan!" Aku menegaskan kalimatku di ujung telepon. Suara Pujia tidak kalah serunya dengan suaraku. Setelah pertemuan di kedai sushi yang membuatku meninggalkannya secara sepihak, kini kami harus melanjutkan pertengkaran di ujung telepon.

"Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan warisan."

Kemudian kudengar Pujia yang berbicara panjang lebar hingga suaranya serak dan terletan oleh air mata. Aku tercenung cukup lama. Entah kenapa aku merasa darahku ikut membeku. Aku merasa air matanya bukanlah kebohongan, melainkan sebuah air mata kesedihan yang berusaha ia tahan selama ini. Aku diam, membiarkan kebisuan menyelimuti sekelilingku. Membiarkan air matanya mengambil alih atas percakapan kami. Sesuatu tiba-tiba saja menyentak dadaku. Ini kali pertama ia memaksaku berfikir. Dan pikiran utama yang membayangiku saat ini adalah : pulang ke Indonesia.

***

Arne


Dulu, ayahku adalah seorang pelukis. Yang setiap kali harus berkutat dengan cat dan peralatan melukis yang membuat bajunya kotor oleh warna-warna. Setiap pagi, aku selalu menemaninya menggoreskan kuas ke atas kanvas di halaman belakang rumah. Setiap pagi aku mencium aroma cat minyak yang khas hingga aku terbiasa dengannya. Itu adalah momen-momen berharga yang membuat pagiku selalu berwarna, setidaknya sebelum semuanya berubah buram. Dan ekspektasiku kepada ayah berubah sekian derajat. Ayah yang semula menjadi sosok yang sangat kukagumi, tiba-tiba menjadi sosok yang sangat kubenci.

Pertengkaran malam itu menyisakan lebam di pipi Ibu. Suatu pagi, aku tidak mendapat Ayah yang biasa melukis di halaman belakang rumah. Justru aku melihat segalanya telah bersih. Semua peralatan melukisnya sudah tidak membekas satupun di rumah. Kata Ibu, Ayah pergi ke luar kota dalam jangka waktu lama. Namun, selama bertahun-tahun aku menunggu, Ayah tak juga kembali. Hanya surat-suratnya yang kuterima diam-diam lewat tetangga samping rumah. Katanya, jangan sampai Ibu tahu.

Di suratnya Ayah bercerita panjang lebar. Ia merindukanku. Ia menanyakan kabarku. Ia meminta maaf karena meninggalkanku tanpa pamit. Ia mengabarkan bahwa lukisannya masuk galeri. Ia mengabarkan semuanya, termasuk kabar tentang nama asing yang mulai menghantui telingaku. Beberapa tahun, hingga aku dewasa, lewat surat-surat itulah aku berbicara dengan Ayah. Menyembunyikan kebohongan dari Ibu yang sejak saat itu tampak muram. Hingga pada suatu ketika, aku mengetahui semuanya, perihal kenyataan yang disembunyikan orang tuaku sendiri. Saat aku dewasa yang membuat penilaianku kepada Ayah berubah drastis. Bahwasanya Ayah tidak keluar kota, tapi Ayah kembali pada wanita masa lalunya. Yang kemudian kukenal sebagai : Pujia.

***

Len


Aku menyanggupi ajakan Pujia untuk bertemu kedua kalinya di kedai yang berbeda. Kali ini aku memilih kedai kopi yang terletak lumayan jauh dari apartemen dan tempatku bekerja. Salju turun belum terlalu deras, namun musim dingin di Norwegia selalu memaksaku mengenakan pakaian lebih tebal.

Berbeda dengan pertemuanku sebelumnya, kali ini Pujia datang lebih awal. Di sebuah sudut di dekat jendela, ia duduk sambil sesekali melamun. Ia mengenakan mantel berbulu warna hitam. Kacamata tebal dan memasang hesdset di telinga. Rambutnya membentuk gelungan seperti biasanya.

"Kau sudah datang?" Ia tampak terkejut menyadari kedatanganku. Dilepasnya kacamata dan headset itu. Tatapannya berubah fokus. Hanya kepadaku.

"Maaf aku terlambat. Alarmnku tidak bekerja dengan baik pagi ini." Aku mengambil duduk di depannya.

"Mau pesan apa?"

"Apapun yang menghangatkan."

Lalu beberapa menit kemudian, dua cangkir latte menghiasi meja kami.

"Maaf, Len. Aku tidak pernah memaksamu melakukan ini." Suara Pujia menggantung di udara.

"Anggap saja ini kewajibanku sebagai anak, Pujia."

"Apa kau belum bisa memaafkanku?" ia berkata seolah-olah ia manusia paling bersalah di muka bumi ini.

"Aku sudah memaafkanmu, Pujia. Jauh sebelum kau meminta maaf padaku." Aku menekan kalimatku dan menyesap latte itu. Asap tipis mengepul di udara. Kulihat, Pujia tak benar-benar menatap ke mataku. Ia tampak kikuk. Hal yang sama terjadi padaku.

"Kau sudah mempertimbangkannya, Len?"

Aku diam sejenak. Menyulut rokok yang terasa hambar. Ini rokok pertama sejak beberapa bulan yang lalu aku memutuskan berhenti. Dan kembali, aku harus menelan janjiku. Rokok itu sudah menghasilkan asap putih yang sertamerta hilang. Entah kemana.

Aku mengangguk. "Sudah kuputuskan..." Suaraku menggantung. "Aku akan ikut denganmu ke Indonesia."

Jawaban yang mencekat tenggorokanku itu disambut senyum simpul di bibir Pujia. Dengan sigap, ia lantas memegang tanganku dengan tangannya yang hangat. Aku membiarkan pelukannya mengambur di tubuhku. Sejenak, aku tenggelam dalam hangat yang ia ciptakan. Hangat yang entah sudah berapa tahun hilang dari hidupku. Hangat seorang Ibu.

Jakarta, Agustus 2012

Published with Blogger-droid v2.0.6

Jumat, Agustus 24, 2012

Arne


Makan siang kali ini Will mengajakku kencan di sebuah kedai sushi tak jauh dari kantor tempatku bekerja. Oh iya, Will adalah sepupu Nick. Seorang wartawan lepas di sebuah media lokal. Will seorang pribadi yang menyenangkan. Seperti kebanyakan wartawan, ia tak terlalu senang mengenakan baju formal. Dan sebagai gantinya, ia hanya mengenakan setelan jins, converse, kaus tanpa kerah dan sweater warna abu-abu. Ia berkacamata dan wajahnya memiliki bintik-bintik merah yang samar.
Aku berkenalan dengan Will sejak menjalin hubungan dengan Nick. Dan kami mulai akrab setelah kebetulan kami bertemu di peluncuran proyekku. Saat hari libur, dulu Will kerap mengajakku mengunjungi tempat-tempat menyenangkan di Norwegia. Bermain ski, melihat matahari terbenam atau mengunjungi taman-taman di Norwegia. Meski ini bukan pertemuan pertamaku, tapi makan siang kali ini adalah ajakan Will pertama kalinya setelah ia tahu aku tak lagi menjalin hubungan dengan Nick.

"Sebentar lagi Nick akan menikah," Will memulai percakapan. Ia melepas ranselnya dan meletakkan kamera di meja. "Mau pesan apa?" Ia melihat-lihat daftar menu sementara aku masih sibuk memilih dan akhirnya harus pasrah dengan keputusannya.
"Pesananmu dikalikan dua," kataku disambut senyum simpulnya.

Beberapa menit berlalu dan pelayan datang dengan pesanan kami.
"Sushi di sini enak sekali," katanya berbinar.

Aku mengangguk sebagai pertanda setuju dengan argumen itu. Sepotong sushi sudah memenuhi mulutku.

"Kau sibuk apa, An?"

"Masih sibuk dengan pekerjaan."

"Ada rencana untuk pulang ke Indonesia?"

Pertanyaan Will mengambang di udara. Aku diam, sibuk mengunyah sushiku. Entah kenapa pertanyaan itu membuatku gemetar.

"Dalam waktu dekat ini belum ada."

Itu adalah jawaban terbaik yang kumiliki. Pulang ke Indonesia? Membayangkannya saja aku tidak pernah.

Will maklum. Kembali menikmati sisa sushi di piringnya.

"Dalam waktu dekat aku akan ke Indonesia," ia bekata pada akhirnya.
Aku hampir tersedak mendengar pengakuannya.

"Ada hal yang harus diliput." Will sepertinya bisa membaca isi pikiranku.
"Dalam waktu dekat ini aku
berangkat."

***

Len


Pujia menelfon dan mengajakku bertemu di sebuah restoran pilihannya. Sudah bertahun-tahun aku tidak melihat wanita itu, mungkin sejak ayah meninggal dan ia memutuskan untuk melabuhkan hatinya pada pria lain.

Aku datang lebih awal dari jam yang telah kami sepakati dan Pujia menyusul beberapa menit setelahnya.
Wanita itu mulai tampak memasuki pintu restoran. Setelah aku menyadari kedatangannya, aku melambaikan tangan dan ia buru-buru mendekat.
Senyumnya mengembang. Dengan sigap ia menyalami tanganku kemudian memelukku. Aku mempersilahkan ia duduk dan kami mulai memesan menu.

"Kau tampak berbeda sekali, Len. Rasanya sudah berapa lama aki tidak melihatmu?" itu kalimat sapaan yang menurutku terlalu basa-basi.

"Aku baik saja. Bagaimana kabarmu?" nada bicaraku dingin. Seperti sebongkah es batu yang menghiasi meja makan kami.

Pujia justu tertawa. Apanya yang lucu? Aku membatin.

Ia melepas kacamata hitam besar yang menghiasi matanya. Wanita paruh baya itu mengenakan tunique ungu muda. Dipadankan dengan celana pendek berwarna tulang. Rambutnya disanggul sekenanya, membuat riak-riak rambut terlihat berantakan menutup tengkuk dan telinganya. Penampilannya terlihat santai hari ini.

"Omong-omong, apa yang membuatmu datang kesini?" itu pertanyaan sarkastik yang tiba-tiba saja kulontarkan.

Pujia tidak menjawab. Ia hanya tersenyum. Di wajahnya terdapat kerutan yang membuatnya tampak jelas jika ia mengulumkan senyum.
"Menjemputmu," katanya.

"Apa maksudmu?"

"Aku ingin kau pulang ke Indonesia bersamaku."

Aku menatap matanya kemudian berkata, "Kau bercanda." Lalu, sebuah tawa menggema di udara. Bagaimana bisa ia datang hanya untuk menjemputku? Itu sama sekali tidak masuk akal.

Raut Pujia tampak serius. "Kau tahu kan aku tidak pernah main-main?" itu pertanyaan retoris yang ia lontarkan.

Aku menghentikan tawaku. "Kau tidak bisa melakukannya seenakmu sendiri. Pulang ke Indonesia sama saja dengan menghancurkan semua mimpiku yang mulai mendekati kenyataan!" aku sedikit naik pitam.

"Kau masih keras kepala seperti dulu, Len!"

"Seperti dulu?" Aku tertawa skeptis. "Sejak kapan kau mengenalku?"

Wanita itu tidak menjawab. Tapi aku tahu matanya yang menyala-nyala seperti api. Aku ingat ekspresi itu. Kemarahan itu. Seperti beberapa tahun yang lalu. Lantas dengan kemarahan yang masih ia tahan, ia berlalu meninggalkanku.

***

Arne


Aku meninggalkan Will sejenak di meja makan. Nick menelfon. Mengabarkan bahwa kami harus menemui seorang klien untuk membahas masalah desain sebuah hunian baru.
Perasaanku mendadak campur aduk, maka kuputuskan ke toilet untuk menghindar sejenak.
Di meja makan itu, Will tampak setia menunggu. Beberapa kali ia memainkan smartphone yang ada di tangannya. Dan meninggalkannya sendiri seperti itu sama sekali bukan maksudku.

"Oke Nick, aku akan kembali secepatnya." percakapan diakhiri. Aku memasukkan ponsel ke dalam saku celana kemudian mencuci tangan sebelum pandanganku tertumbuk pada sesosok bayangan di cermin.

Aku terkesiap menyadari pemandangan itu. Wanita itu barusaja keluar dari kubikel. Dan ekspresinya tak jauh berbeda dengan ekspresiku.
Kami sama-sama terkejut. Berpandangan sejenak melalui cermin. Baru aku menyadari, bahwa aku seperti terjebak dalam situasi rumit yang membuat kakiku beku. Aku tidak bisa melarikan diri.

"An..?" suara wanita itu menggantung. Ia melihatku dengan wajah kaku, mematung, seperti tidak percaya dengan kehadiranku di situ.

Aku membalikkan badan. Sungguh, ini bukan pertemuan yang aku harapkan. Pelan, sekelebat kenangan mulai terputar ulang di kepalaku. Dan mendadak aku ingat bagaimana ia menyerahkan sebuah muffin yang kemudian menyita perhatianku. Aku ingat semuanya, tanpa terkecuali.

"Hai? Kapan kau datang?" aku menyadari kebekuan dari suaraku sendiri.

Tanpa memedulikan ucapanku, wanita itu langsung mengambur. Memelukku.

"Apa kabarmu, An? Kau sudah nampak dewasa sekarang."

Ada sesuatu yang menyentak dadaku. Dengan susah payah, aku nelepaskan pelukan wanita itu.

"Senang bertemu denganmu lagi, Jia. Tapi maaf, aku buru-buru. Ada sesuatu yang harus kukerjakan. Sampai jumpa."

Dengan langkah cepat, aku segera menuju ke tempat dimana Will duduk menungguku.
"Will, maaf.. aku harus segera kembali ke kantor. Nick bilang, ada proyek yang harus segera kami rapatkan. Nanti aku akan menghubungimu lagi. I'm so sorry, Will." Aku yakin Will terheran-heran melihat sikapku. Tanpa memedulikan reaksi apa yang selanjutnya akan ia keluarkan, aku cepat-cepat menghambur dari ruangan itu.
Sungguh, semua mendadak kacau. Bahkan aku belum sempat meredakan degup jantungku sendiri ketika tanpa sadar melihat Len menghiasi kaca restoran yang sama dengan tempatku makan siang dengan Will.
Sedang apa Len di situ?
Pertanyaan itu berhamburan. Namun tidak ada waktu untuk memikirkan semua yang serba tiba-tiba terjadi. Seolah kedatangan wanita itulah yang telah mengacaukan semuanya. Dan hal paling penting yang harus kulakukan sekarang adalah keluar dari tempat itu secepatnya. Melarikan diri.

Jakarta, Agustus 2012

Published with Blogger-droid v2.0.6

Selasa, Agustus 21, 2012

Bapak bilang, ia barusaja menangis.

Jakarta, Agustus 2012

Published with Blogger-droid v2.0.6

Bumi berputar sebagaimana seharusnya. Menggulung waktu hingga sampai pada dimensi ruang yang tak lagi sama.
Pohon maple yang terletak di seberang kuil Jisho tampak beranting beku. Sisa-sisa salju di penghabisan musim dingin telah leleh mencair. Membentuk segumpal embun dingin yang menetes di bangku kayu tempat wanita itu duduk menghitung hari. Sudah lebih dari dua pekan aku melihatnya duduk di sana. Namun kali ini aku tahu ia baru saja selesai berdoa. Wajah wanita itu telah senja, dengan garis-garis halus yang mulai nampak kering dan mengisut. Beberapa helai rambutnya berwarna putih. Namun, wanita itu masih terlihat ayu. Sisa-sisa pesonanya semasa muda yang belum memudar.

Musim berganti selam bertahun-tahun. Wanita itu menutup buku sakunya dan memasukkannya ke dalam saku mantel berwarna coklat tua yang membalut kimono berwarna hitam. Ia bersandar pada bangku tua dengan perasaan ringkih. Ia menghembuskan nafasnya sehingga nampak uap samar tersembul dari bibirnya yang biru. Segalanya seolah membeku. Ia benarkan letak kacamata yang melorot sampai ke hidung. Kali ini tatapannya terlihat lebih bernyawa. Ada sesuatu yang menyelinap masuk ke dalam benaknya. Sesuatu tentang masa lalu. Sesuatu tentang Kenichi yang ia cintai.
"Kami akhirnya memutuskan menikah secara diam-diam dan menyewa rumah kecil di pinggiran Kyoto. Selepas menikah, saya memutuskan mengundurkan diri dari tempat saya bekerja dulu. Sebagai gantinya, saya selalu mendampingi Ken yang sibuk menulis. Tahun kelima pernikahan kami, nama Ken mencuat sebagai pengarang di masa itu." suaranya jelas meski bergetar. Ia dengan tekun bercerita padaku. Setiap kali mengulang kenangan itu, aku melihat pergelangan tangannya bergetar. Entah sudah berapa tahun ia memendam kesedihannya seorang diri. Selama itu ia bertahan dalam kesedihan yang dalam. Aku merasa iba.
"Namun sayang, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Mimpi-mimpi yang dulu kami rencanakan harus pupus satu-satu." Kali ini suaranya benar-benar bergetar. Matanya berkaca namun wanita itu cepat-cepat menyusutnya.

*

"Kau baik-baik saja?" Kenichi menatap Sayuri lewat cermin besar yang ada di depannya.
Wanita itu menunduk. Sedari tadi ia enggan menatap mata lelaki itu sebab itu bisa membuat air matanya lumer tanpa bisa dicegah.

"Kau tahu saya tidak baik-baik saja kan?" suara Sayuri serak. Ada sesuatu yang tertahan di tenggorokannya.

Kenichi membalikkan tubuhnya sehingga tampak jelas bayangan Sayuri di matanya. Bahu Sayuri berguncang.

Wanita itu terisak dalam diam, dengan caranya sendiri. Ia menggenggam erat ujung baju Kenichi sehingga membentuk lipatan-lipatan kusut yang seolah enggan ia lepaskan.

Kenichi tahu, keputusan untuk ikut berperang bukanlah pilihannya. Tapi itu adalah kewajiban. Kewajiban demi mempertahankan negara sekalipun ia harus mengorbankan nyawa dan perasaannya sendiri.

Kenichi memeluk Sayuri tanpa suara. Dan tangis Sayuri semakin menjadi.

"Kau tak perlu merasa cemas. Aku tidak akan kenapa-kenapa."
Sayuri tahu, Kenichi hanya menenangkan hatinya. Berusaha menghiburnya. Lelaki itu membelai rambut Sayuri yang hitam dan tergerai jatuh satu-satu sebatas bahu. Ia menyentuh pipi Sayuri yang hangat dengan tangannya yang menggigil. Wajah wanita itu merah. Matanya terpejam dengan riak-riak air mata yang melumerkan bedak tipisnya.

"Maafkan saya. Tak seharusnya saya bersikap seperti anak kecil."
Kata-kata Sayuri membuat Kenichi tersenyum. Ia mendaratkan kecupan hangat di dahi Sayuri. Kecupan yang membuat hati Sayuri tenang, sekaligus bergejolak dalam waktu bersamaan.

Wanita itu menatap lekat pada mata Kenichi yang kelabu. Mata yang ia rasakan begitu teduh melampaui apa yang selama ini meneduhkan hatinya dalam gelisah-gelisah tak terperi. Entah bagaimana caranya, Kenichi selalu bisa membuatnya tenang, hanya dengan sebuah pelukan hangat pada tubuhnya yang ringkih. Seolah hanya berada di dekat lelaki itulah kebahagiaan sejati yang sesungguhnya Sayuri rasakan.

Kenichi menyesap air mata Sayuri dengan jari-jarinya yang panjang. Sayuri tersenyum meski hatinya tak berhenti bergetar.

*

"Apa kau mau menambah nasinya?" tanya Sayuri. Sup miso yang ia masak terasa hambar, namun Kenichi tetap memakannya dengan lahap. Ada bening yang ditahan Sayuri dalam sudut matanya. Ia genggam tangan Kenichi dengan rasa takut.

"Kenapa kau tidak makan? Apa kau merasa kurang sehat?"

Sayuri hanya menggeleng. Ia membangkitkan tubuhnya tanpa melihat ke arah Kenichi. "Biar saya ambilkan nasi lagi," katanya sambil berlalu. Bening itu menetes di futon yang nyaris beku.

*

Pada akhirnya hari yang selama ini mengacaukan benak Sayuri datang tanpa diduga. Ia telah mempersiapkan kedatangan hari itu. Seolah ia telah merelakan suaminya terjun ke medan perang. Di stasiun, kereta telah sesak oleh pemuda pemuda yang akan ditugaskan untuk mengikuti wajib militer, terjun ke medan perang.
Sayuri memeluk tubuh Kenichi yang bidang dengan kecamuk yang ia sembunyikan rapat-rapat. Ia sadar, menangis di depan Kenichi justru akan membuat lelaki itu merasa bersalah. Sayuri pun memutuskan untuk diam sampai gejolak di dadanya bisa mereda.

Sayuri merasakan kehangatan yang mungkin terakhir kalinya Kenichi berikan untuknya.
Lelaki itu kembali mengecup keningnya yang berponi rata. Membelai wajah istrinya dan menatap matanya dalam-dalam. Dalam tatapan itu Kenichi seolah mengikrarkan janji untuk mereka berdua.
"Kita akan bertemu lagi. Aku berjanji."
Itu adalah kata-kata perpisahan yang sesungguhnya tidak ingin didengarkan Sayuri.

Wanita itu tidak bergeming, meski akhirnya ia mengangguk sebagai pilihan jawaban.

Menjelang keberangkatan, hawa panas mulai menyelimuti stasiun. Berbagai macam gejolak tumpah ruah di sana. Membeku.
Kenichi melepas tangan Sayuri untuk terakhir kali sebelum tenggelam dalam lautan manusia yang memadati stasiun Kyoto saat itu. Lantas, setelah terdengar aba-aba bahwa kereta akan berangkat beberapa menit lagi, Kenichi mulai masuk ke dalam kereta. Berjejal dengan pemuda-pemuda lain yang tidak dikenal Sayuri. Yang mempunyai tujuan sama demi kemerdekaan negara yang mereka cintai. Dalam sekejap saja, stasiun Kyoto berubah menjadi lautan manusia. Dipadati dengan pengantar-pengantar yang menaruh harapan- harapan serta kecemasan. Isak tangis dan kata-kata penyemangat membuat dada Sayuri bergetat. Ia kemudian berlari ke arah kereta. Berjejal dengan orang-orang yang mungkin merasakan gundah yang sama dengannya. Bendera-bendera matahari terbit bertebaran dimana-mana. Tangis air mata membasahi langit stasiun Kyoto yang kelabu, bersama dengan sirine-sirine yang memekakkan telinga. Asap-asap mesiu yang mengepul di udara.

Sayuri melihat Kenichi lewat sebuah sapu tangan berwarna biru laut. Itu adalah sapu tangan kenangan mereka saat belum ada perang yang merenggut semua kebahagiaan mereka. Sayuri menggulung air matanya. Di sana, semua kecemasan dan kebanggaan bercampur menjadi satu.
Pelan, saat semua riuh berteriak "banzai!!", kereta melaju menembus kerumunan manusia. Dan di sana, sapu tangan berwarna biru laut itu perlahan tenggelam bersama ratusan kain bersimbol matahari terbit.


Jakarta, Agustus 2012

inspired by : Mawar Jepang - Rei Kimura dan sepenggal lagu Amayadori.

Published with Blogger-droid v2.0.6

Untuk kedua kalinya, saya bertemu lagi dengan orang Jepang itu. Wanita separuh baya yang berambut lurus sebahu. Raut mukanya tenang, cara bicaranya halus dan ia kelihatan sabar sekali.

Saat bertemu pertama kalinya, saya mengaguminya. Saat itu ia mengenakan rok setengah betis yang seingat saya memiliki renda-renda. Memakai baju berlengan warna putih dan sebuah topi lebar warna serupa.

Lalu malam tadi, saya kembali dipertemukan dengannya. Ia bersama suaminya yang mengenakan kacamata. Berbeda dengan pertemuan sebelumnya, kali ini ia mengenakan kaus santai warna hitam dan celana tujuh perdelapan warna coklat. Ia berbicara kepada saya dengan logat Jepang yang kental. Menyipitkan matanya saat tersenyum. Dan untuk kedua kalinya, saya mengaguminya.

Pertemuan dengan wanita Jepang itu jadi mengingatkan saya pada lagu amayadori. Dan lagu itu selalu mengingatkan saya pada Sayuri.

Sayuri adalah tokoh rekaan saya yang telah menemani saya selama kurang lebih empat bulan. Tokoh yang masih setia bersemayam di dalam otak saya. Sayuri yang sosoknya menyerupai wanita Jepang yang saya temui barusan.

Saya memang kerap menciptakan tokoh dari hasil refleksi manusia yang tidak sengaja saya lihat atau temui. Dan itu membuat saya semakin mudah membayangkan tokoh rekaan saya tersebut. Berbicara masalah Sayuri, saya ingin sekali menuliskannya lebih intens. Berharap waktu dan kesempatan untuk menuliskan tentang Sayuri berpihak pada saya :)

Jakarta, Agustus 2012

Published with Blogger-droid v2.0.6

Senin, Agustus 20, 2012

Mungkin sudah berbulan-bulan atau bahkan hampir satu tahun lebih draft itu tidak tersentuh. Semasa di warnet, saya mengerjakan draft itu dengan tekun. Menyalin kembali draft mentah yang sudah saya ketik di warnet untuk dikembangkan di rumah. Mengirimkan tiap bab yang berhasil saya tulis kepada teman saya untuk dikomentari. Saya juga ingat saat itu teman saya dengan proyek novel solonya. Setiap minggu kami selalu membuat deadline, membuat soundtrack-soundtrack untuk draft yang akan kami kerjakan. Saling mengirim draft untuk dikomentari. Begitu seterusnya hingga akhirnya saya harus ke surabaya. Draft itu terbengkalai. Semasa di Surabaya saya hampir tidak pernah menulis. Semua seolah buntu. Saya masih stuck di bab yang sama. Selama berbulan-bulan hingga akhirnya saya memutuskan pergi ke Jakarta. Selama di Jakarta, saya masih sering berkomunikasi dengan teman saya itu. Membahas draft-draft yang tertunda, membahas perihal sharing yang dulu selalu kami lakukan melalui email atau inbox bahkan sms. Sharing yang semakin jarang terjadi setelah saya 'berpindah-pindah' tempat.

Belakangan, saya dengar kabar dari teman saya. Proyeknya yang dulu stuck di tengah jalan seperti saya. Namun bedanya, teman saya mempunyai proyek baru. Dia benar-benar menulis kembali dari nol. Mulai dari membuat outline dan sebagainya, benar-benar dimulai dari nol. Berbeda dengan saya yang masih berkutat dengan draft lama yang tak kunjung menemu titik terang.

Hingga sebuah kesempatan itu tiba. Pencarian outline itu membuat saya tergerak untuk melanjutkan draft saya yang beku. Sebagaimana saya, teman saya pun akhirnya tergerak untuk mencoba mengirim outlinenya. Dan keberuntungan ternyata berpihak pada kami. Outline kami lolos seleksi. Singkat cerita, kami diundang di workshop di Jakarta. Saya dengan draft yang tertunda, dan teman saya dengan draft baru yang dia tulis mulai dari nol.

Waktu berbulan-bulan berlalu, saya masih terus berkutat dengan draft lama. Masih mengalami kebuntuan yang sama. Di tempat sama. Apalagi setelah mendengar kabar bahwa saya harus merombak outline saya, mengirimkannya saat semua sudah terangkai rapi menjadi satu kesatuan utuh naskah yang siap dibaca. Saya menyebut ini kesempatan emas, tapi saya justru mengalami kemunduran mental. Kehilangan rasa percaya diri yang entah menguap dimana. Saya justru semakin terpuruk dengan kebuntuan yang ada. Dan teman saya bernasib sebaliknya. Dia berhasil membuat outline yang tadinya berupa draft-draft menjadi sebuah buku yang kini bisa dibaca, dinikmati, bahwa mimpinya pelan-pelan telah menjadi nyata. Karena kerja keras dan ketekunan yang tentunya tidak saya aplikasikan di dalam hidup saya selama ini.
Ternyata saya salah. Menghadapi kebuntuan dengan cara yang salah, yang justru semakin membuat kebuntuan itu bertambah menganga. Seolah akan menelan saya kapanpun dia mau.

Saya gamang bukan main karena memelihara kebuntuan mendarah daging dalam diri saya. Saya gamang ketika menyadari bahwa ternyata sayalah yang menghilangkan kesempatan-kesempatan yang datang pada saya. Melihat kesuksesan teman- teman saya, melihat satu persatu mimpi yang dulu merupakan sebuah ilusi yang kini mulai menampakkan tanda nyata, saya merenung. Bukankah saya memiliki mimpi yang sama dengan mereka beberapa tahun lalu? Dan sekarang mimpi itu belum berubah satu jengkal pun. Mimpi itu masih setia menjadi dorongan-dorongan kecil yang kerap menghantui alam bawah sadar saya, mensimulasi otak saya, mensugesti kepada otak saya bahwa saya ternyata tidak bisa hidup tanpa menulis. Saya merasa tersiksa setiap perasaan buntu menghinggapi saya, seolah jiwa saya telah mati. Kata-kata yang mulai terangkai satu-satu justru luluh. Menguap entah kemana. Dan otak saya beku..

Dengan susah payah saya menghindar, melarikan diri dari kebuntuan. 'Membuang' semua draft-draft yang tak terselesaikan. Berniat berhenti mengejar mimpi itu karena merasa sangat frustasi. Tapi, justru keputusan itulah yang perlahan saya sadari sebagai keputusan fatal. Sumber kesakitan pada apa yang saya alami selama ini, yang ternyata saya ciptakan sendiri.
Mengerikan. Sungguh.

Saya tidak pernah membayangkan akan terjebak sejauh ini pada kebuntuan. Pada lubang hitam. Pada hal mengerikan yang tidak sanggup saya bayangkan. Lalu, dengan banyak berduskusi dengan salah seorang teman, pintu hati saya mulai terbuka sedikit demi sedikit. Kebuntuan saya mencair sedikit demi sedikit. Saya mulai 'egois', saya mulai skeptis. Ya, terkadang seseorang memang perlu egois. Dan saya melakukannya. Saya berusaha menjadi diri saya sendiri. Saya berusaha menulis apa yang saya bisa, yang saya mampu. Dan pelan, cahaya berpendar sedikit demi sedikit. Meski bertahap, saya mulai bisa menemukan kembalibdunia saya yang hilang, kebebasan saya, sesuatu yang saya yakini sejak dulu. Bahwa tanpa menulis, saya tidak lebih dari seonggok manusia tak berguna. Ya, saya mencintai kata. Sebagaimana saya mencintai dunia di dalamnya. Dunia yang saya anggap sebagai jalan saya kelak dan Tuhan ridho akan hal itu. Saya gembira bukan main. Sesuatu menyeruak dalam dada saya, membuat saya merasa lega. Merasa bebas.

*

Saya merindukan saat-saat dimana saya bertukar cerita dengan teman saya, mengomentari satu sama lain. Saling memberikan dukungan. Moment itu terpatri jelas di benak saya. Di otak saya. Dan hari ini kembali saya buka draft lama saya yang tertunda itu. Membacanya sekilas. Beberapa tokoh kembali menari di dalam benak saya, meminta untuk dibebaskan dari dalam labirin yang selama ini mengurung mereka semua. Saya sudah kadung jatuh hati dengan tokoh saya itu. Dan cerita di dalamnya.
Dan mungkin saya akan menyimpan draft itu sebagai bagian dari proses belajar saya. Menyimpan untuk menuliskannya ulang. Sudah saatnya mereka berhak merdeka.

Jakarta, Agustus 2012

Published with Blogger-droid v2.0.6

Minggu, Agustus 19, 2012

Judul : Perahu Kertas
Penulis : Dee
Penerbit : True Dee Pustaka Sejati dan Bentang Pustaka
Tahun Terbit : Februari 2010
Jumlah Halaman : 444 halaman

Belakangan ini saya dibuat penasaran dengan novel ini setelah mengetahui bahwa novel ini akan difilmkan dalam waktu dekat. Rasa penasaran itu terobati sudah setelah kurang lebih seminggu (akhirnya) saya bisa membabat habis novel ini.

Perahu kertas bercerita tentang dua anak manusia yang bisa diibaratkan sebagai bumi dan langit yang kemudian dipersatukan melalui laut. Keenan, seorang yang pendiam, sedikit cuek, dan mempunyai bakat luar biasa dalam hal melukis yang kemudian membuatnya bercita-cita sebagai pelukis.

Sementara Kugy adalah gadis yang cenderung berantakan, spontan, eksentrik, dan menggilai dongeng yang membuatnya bercita-cita menjadi juru dongeng.

Keenan dan Kugy dipertemukan melalui tokoh Eko dan Noni. Eko yang merupakan sepupu Keenan dan Noni yang merupakan sahabat baik Kugy. Singkat cerita mereka bersahabat. Keenan diam-diam mengagumi Kugy karena bakat menulisnya, sementara Kugy mengagumi Keenan karena bakat melukisnya. Kedekatan itu akhirnya memicu cinta tumbuh diam-diam di antara mereka. Namun, baik Keenan dan Kugy sama-sama berada dalam posisi sulit. Kugy masih berstatus sebagai pacar Ojos, sementara Keenan diam-diam dijodohkan dengan seorang kurator muda bernama Wanda.

Sejak melihat kedekatan Keenan dan Wanda, Kugy semakin menarik dari lingkaran persahabatan itu. Dia menjadi pendiam dan lebih banyak murung. Hubungannya dengan sahabatnya mulai merenggang. Kugy pun menenggelamkan diri pada kesibukan yang diciptakannya sendiri, mulai dari keputusan lulus cepat dan menerima ajakan Ami untuk menjadi pengajar relawan di Sakola Alit, sekolah yang mempertemukannya dengan Pilik, murid paling nakal sekaligus inspirasi bagi dongeng-dongengnya selama ini. Dongeng yang kemudian diserahkannya pada Keenan untuk dibuatkan ilustrasi. Sementara Keenan, mimpi menjadi pelukis yang tidak disetujui ayahnya harus membuatnya nekat mengambil keputusan berhenti kuliah demi bisa total melukis. Dan pengorbanannya seperti menemukan kebuntuan saat mengetahui bahwa Wanda telah menghancurkan semua mimpinya.

Dalam keadaan frustasi, Keenan memutuskan 'melarikan diri' ke Ubud, menetap di rumah Pak Wayan, seorang seniman yang disegani di Bali, sahabat ibunya. Di Ubud, Keenan bertemu Luhde Laksmi. Seperti sebuah gurun yang kemudian menemukan kembali oasenya, pelan-pelan Keenan mulai menemukan kembali rasa percaya dirinya. Dia kembali melukis, berkat Luhde juga berkat buku dongeng pemberian Kugy. Singkat cerita, Keenan mulai menerima Luhde sebagai seseorang yang penting di hatinya saat itu.

Seperti yang direncanakan, Kugy lulus cepat. Mendapat rekomendasi kerja dari Karel di sebuah perusahaan iklan sebagai copywriter. Di perusahaan itu, Kugy bertemu dengan Remigius, atasannya. Melihat ide-ide spontan yang selalu keluar dari otak Kugy, Remi mulai memperhitungkan Kugy di kantornya dan tanpa sadar dia pun jatuh cinta pada Kugy.

Cerita ini terus berlanjut, dengan konflik-konflik runtut seperti sebuah cerita bersambung. Berbeda dengan novel Dee yang pernah saya baca, Perahu Kertas justru menggunakan diksi yang ringan, dengan dialog-dialog khas remaja. Tidak terlalu detil tapi saya pribadi sangat menikmati setiap diksi yang Dee tulis di novel ini. Saya sendiri sebenarnya kurang terlalu menyukai novel dengan terlalu banyak tokoh. Namun, di novel ini Dee mengemas tokoh-tokohnya rapi. Hampir semua tokoh memiliki keterkaitan satu sama lain. Dengan format seperti cerita bersambung, keberadaan tokoh yang terlalu banyak tidak menjadi halangan buat saya untuk terus membaca. Hanya saja ada beberapa bagian yang saya rasa terlalu diulur-ulur. Yang membuat saya gemas membaca bab demi bab hanya untuk mengetahui kejutan apa yang akan Dee hadirkan di ending nanti, meski saya tahu, roman memang cenderung berakhir happy ending dan tokoh selalu diset untuk menjadi 'satu'. Intinya, saya sudah menebak-nebak, akan dibawa kemanakah cerita ini sebenarnya, dengan ending yang seperti apa.

Mendekati bab-bab akhir, saya mulai tidak sabar. Beberapa kali tebakan saya di awal-awal bab ternyata berakhir sesuai dengan yang saya pikirkan. Satu-persatu masalah mulai terlucuti satu-satu. Dan benang merah mulai terbuka jelas.

Tidak seperti bab awal yang membuat saya antusias, bab-bab menjelang akhir justru membuat saya kecewa berat. Meski novel ini bisa dikatagorikan novel galau maksimal dengan konflik batin yang membuat saya mengumpat sendiri, yang terkadang membuat saya menahan napas, yang kadang membuat saya gemas. Saya justru menemukan kebetulan-kebetulan yang sedikit 'maksa', mulai dari Keenan yang bertanya kepada Noni perihal perubahan sikap Kugy. Mulai dari Keenan yang tiba-tiba mengetahui hilangnya Kugy adalah ke rumah Karel. Mulai dari Kugy dan Keenan yang tidak sengaja dipertemukan di tempat-tempat tak terduga seperti pantai tempat mereka pernah mempunyai kenangan. Mulai dari kerelaan hati Remi melepas Kugy di waktu yang hampir bersamaan dengan Luhde yang akhirnya rela melepas Keenan. Saya merasa tokoh Remi dan Luhde terlalu memiliki jiwa malaikat. Saya justru menyukai tokoh Wanda dan Ojos yang real.  Dengan keegoisan yang Dee ciptakan, saya merasa Keenan adalah orang paling plin-plan sedunia. Dan Kugy adalah orang paling jahat yang pernah ada di muka bumi.

Dan saat saya selesai membaca novel ini, kekecewaan saya bertambah. Saya merasa ada sesuatu yang kurang di dalam penyelesaian novel ini. Ada beberapa bagian yang sengaja dibuat menggantung. Tentang mimpi mereka, tentang idealisme yang sejak awal menjadi 'ratu' di setiap cerita. Dan di ending, saya tidak menemukan mimpi itu berlabuh kemana. Hanya menemukan secuil petunjuk samar.

Di awal-awal, saya mengharap ada adegan dimana Keenan menyerahkan pahatan hati yang sempat dia buat untuk Kugy dan Kugy menyerahkan draft dongengnya kepada Keenan. Haha..
*yang ini abaikan*

Namun, di balik itu semua saya menikmati setiap filosofi yang berusaha Dee ungkapkan di novel ini. Filosofi tentang hidup, tentang kejujuran, tentang pengorbanan, tentang mimpi. Mimpi ternyata bisa mengajari kita banyak hal. Dan selama ada tekat dan kemauan mimpi pasti akan menjadi kenyataan. Kita semua hanya butuh kesempatan. :)

Dan sekarang, saya ganti penasaran dengan filmnya. Entah sampai kapan demam Keenan ini akan terus menghantui saya. Haha :))

cheers,
@ao_shy

Jakarta, Agustus 2012

Published with Blogger-droid v2.0.6

Jumat, Agustus 17, 2012

This is just my own sketch. :)

Tidak posting apapun. Hanya ingin mengabadikan ulang sketsa lama ini sebab sampai kapanpun, bermain dengan pensil, buku tulis, buku sketsa, pensil warna, kuas, kanvas, penghapus... tidak akan pernah membosankan.
Baik menulis atau melukis, pada dua dunia yang berbeda itulah saya benar-benar bisa menemukan kebebasan. :)

Jakarta, Agustus 2012

Published with Blogger-droid v2.0.6

Selasa, Agustus 14, 2012

Ia melukis di sebuah ruangan dengan cahaya remang yang berasal dari bohlam tua. Di depannya, selalu ada segelas air putih. Aku tahu sejak awal bahwa ia bukan pecandu kafein seperti apa yang tampak padaku. Selama melukis, ia selalu mengunci pintu seolah ruangan sempit bercat putih itu adalah sebuaj singgasana yang begitu istimewa. Singgasana khusus yang hanya bisa dimasuki oleh ia sendiri. Yang aku ingat, selama melukis ia selalu memutar lagu-lagu lama Beatles dari sebuah piringan tua. Ia menyukai segala hal yang klasik. Karena menurutnya, suasana klasik menyimpan banyak rasa. Seperti cinta, kelembutan dan misteri. Tiga sosok yang aku temukan dalam dirinya.

Semasa umurku belasan tahun. Aku pernah mengintipnya dari balik lubang kunci. Di mana saat itu ia lupa mengunci pintu. Sungguh, seumur-umur ia tidak pernah mengizinkanku memasuki ruangan itu. Hingga pada suatu ketika aku tidak sengaja menyentuh porselin di dekat ruangannya. Porselin itu pecah. Seperti dugaanku, suara berisik itu telah mengacaukan konsentrasinya. Ia dengan sigap langsung menuju pintu. Aku tidak sempat melarikan diri saat ia sudah berdiri di depanku.

Ini mimpi buruk. Tidak ada yang lebih mengerikan saat kau tertangkap basah sedang menguntit diam-diam. Tapi aku bukan penguntit. Aku hanya merasa penasaran dengan kehidupan di balik pintu kayu yang selalu terkunci itu.

Di dalam bayanganku, ia akan marah dan memukulku seperti apa yang biasa ayah lakukan ketika naik pitam. Namun, aku mendapati hal yang sebaliknya. Ia justru membantuku bangkit. Tersenyum dan sepasang matanya teduh. Selama ini aku memang jarang sekali berinteraksi dengannya, mulai saat ia pertama kali menyentuh rumah ini dan menggantikan posisi ibu.

Di dalam mataku, ia adalah seorang wanita yang dingin. Wanita yang sedikit sekali mengeluarkan kata dan lebih banyak mengurung diri di ruangan itu. Aku sama sekali tidak pernah bertemu dengannya selama kami tinggal satu atap. Ia tidak pernah memeriksa pekerjaan rumahku sepulang sekolah seperti apa yang selalu ibuku lakukan -meski nyatanya aku tidak mengharapkan wanita itu melakukannya, ia tidak pernah mengajakku sarapan bersama, kami tidak pernah menghabiskan hari libur bersama di taman bermain, ia tidak pernah mengecup keningku sebelum aku terlelap, kami juga tidak pernah mengobrol di samping perapian ketika salju pertama di bulan Desember turun.

Ia hanya sesekali mengobrol dan menonton dvd bersama ayah di ruang keluarga.

Sejak awal kedatangannya, aku sudah membencinya. Pertama, karena ia merebut posisi ibu. Kedua, karena ia merebut ayah dariku.

"Apa yang kau lakukan di sini? Masuklah," katanya. Pergelangan tangannya hangat. Ini di luar dugaan. Wanita itu sama sekali tidak memarahiku.

Aku diam. Masih enggan menuruti ajakannya. Aku berlari ke belakang pilar seperti seorang anak ketakutan lalu diam-diam mengintip ke arahnya. Ia belum pergi. Wanita itu masih berdiri di tempatku terjatuh tadi. Ia merapikan pecahan-pecahan porselin akibat ulahku.

Aku masih mengintip dari balik pilar. Merasakan sendiri kecamuk yang menjalar hebat. Aku takut jika ia akan memarahiku seperti apa yang selalu ayah lakukan jika aku bersalah. Aku takut ia akan memukulku atau melakukan apapun yang akan menyakitiku.

Wanita itu berjalan ke arahku. Menemukanku yang tengah ketakutan dari balik pilar dengan wajah pias.

"Aku punya sesuatu untukmu, ikutlah denganku." Suaranya berat dan sedikit serak. Ia berjalan di depanku. Rambutnya yang bergelombang terurai sempurna sebatas pinggang. Ia memakai tunique berwarna tosca dan tidak bisa kupungkiri, ia tampak anggun malam ini.

Akhirnya aku berjalan di belakangnya. Ia mengajakku masuk ke ruangan temaram itu. Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di tempat itu setelah belasan tahun mendiami rumah ini.

Aku tercenung. Di dalam ruangan itu banyak lukisan yang memaksaku membelalakkan mata. Ruangan itu lebih mirip galeri daripada sebuah ruangan biasa.

"Aku dan ayahmu bekerja keras membuat ini."

Ia menunjukkan sebuah sketsa bangunan yang teramat besar. Bangunan yang di dalamnya terdapat air mancur dan taman -taman bermain. Seperti istana yang biasa aku lihat di film-film dongeng.

"Seperti janjiku tadi, aku punya sesuatu untukmu." Ia menyerahkan sebuah muffin dengan taburan kismis. "Makanlah.." Ia menyesap air di depannya.

Aku mencium aroma muffin itu, kemudian memakannya.

"Apa kau suka?"

Aku mengangguk dan ia tersenyum. Sebuah senyum yang jarang sekali kulihat. Senyum yang entah kenapa membuat hatiku terasa lega.
Selanjutnya, ia menanyakan banyak hal. Perihal sekolahku, perihal liburan, perihal Natal..

Sejak saat itu ia sering memberiku beberapa potong muffin. Meski aku belum sepenuhnya bisa menerima kehadirannya. Meski aku masih belum bisa menganggapnya ada.
*
Sudah tengah malam dan aku belum bisa terlelap. Aku membiarkan televisi menyala tanpa suara sementara lampu padam. Aku menyesap secangkir kopi dan menikmati muffin yang mendarat di meja kerjaku pagi tadi. Muffin itu bertabur kismis seperti yang biasa ia berikan padaku. Muffin itu masih memiliki rasa yang sama. Dulu, aku begitu tergila-gila pada muffin sejak kali pertama ia memberiku sepotong. Namun, seiring waktu, aku mulai melupakan rasa muffin dan ekspektasiku terhadap muffin berubah sedemikian derajat.

Tatapanku kosong mengarah ke layar televisi. Ini ulang tahunku, setelah sekian lama kuhabiskan bersama teman-teman tanpa bayangan masa lalu. Kini wanita itu membuka kembali luka lama yang sengaja aku kubur. Memunculkan kembali gurat sketsa yang pelan-pelan terhapus di otakku. Membentuk kembali susunan gambar yang jelas meski buram. Mengembalikan rasa muffin setelah sekian lama hilang dari otakku.

"Len, sudah tidur?"
Pada akhirnya pelarianku jatuh pada Lentera. Suaranya sayup  dan hening. Beberapa kali uapnya terdengar di telingaku.
"Aku tidak bisa tidur. Bisakah kau menemaniku ngobrol?"

Lelaki itu tidak pernah menolak permintaanku. Semula aku bisa bercerita apa saja kepada Len seolah ia adalah malaikat pendengar yang baik. Namun, aku belum berani bercerita perihal wanita itu. Juga masa lalu.
Terkadang memang tidak semua hal bisa diceritakan pada seseorang yang dekat sekalipun. Dan aku melakukannya meski aku terkesan membohongi Len dengan cerita-cerita rekaan saat ia bertanya apa yang membuatku terjaga hingga sepagi ini.

Aku merapatkan sweater. Meletakkan muffin yang mulai terasa hambar. Mengucap kata "hallo" entah sudah berapa kali dan tidak mendapati jawaban Len dari seberang sana.
Rupanya Len tertidur. Aku mematikan percakapan. Hening. Dingin. Sendiri. Entah sudah berapa kali aku melarikan diri dari perasaan-perasaan itu. Dan aku mulai sadar. Kali ini aku tidak bisa melarikan diri lagi.

Jakarta, Agustus 2012

Published with Blogger-droid v2.0.6

Bulan November. Musim gugur di Leiden tahun ini terasa sangat dingin meski cuaca cerah dan matahari bersinar seterang biasanya. Suhu udara di musim gugur bisa mencapai dibawah 15° pada siang hari. Aku mengenakan mantel tebal berbahan katun yang hangat dan sebuah hoodie berbulu di kepalaku. Hujan turun lebat di awal pekan, membuat jalanan di sepanjang Oud Rijn berubah licin.

Aku mengetukkan jari-jariku seirama jarum jam, menunggu Anne datang. Hari ini kami ada janji bertemu, sekedar membicarakan hal-hal ringan sambil menikmati udara musim gugur dengan secangkir kopi hangat. Pagi ini adalah pagi yang tepat untuk menikmati beberapa helai maple jatuh mengikuti aliran arus Oud Rijn yang tenang, kecipak itik, angsa, serta seagull lewat kaca Annie’s café yang menyisakan butiran gerimis, tempat aku memainkan telinga cangkir latte dengan malas sementara mataku masih belum beralih dari draft di laptopku. 

Masih, artikel itulah yang membayangiku.

Tahun 1896. Susianne Van der Kraaft, balerina yang terbunuh saat pementasan Opera Swan Lake di Stadsschouwburg.

Entah keberapa kalinya aku menyesap latte hingga cairan di cangkir itu sudah terlampau jauh berkurang dari kapasitas sebelumnya. Jarum jam merangkak ke angka 4 ketika kesekian kalinya tidak terlihat bayangan Anne menghiasi pintu masuk itu. Ada hal lain yang mengusikku. Bukan latte yang mendingin, bukan keterlambatan Anne, juga bukan karena Moonlight sonata yang mengalun samar-samar di ruangan ini, melainkan karena wanita bertopi itu.

Ia duduk bersilang di pojok ruangan. Sesekali menghirup rokok melalui gouda yang terbuat dari keramik berwarna susu. Ia mengenakan gaun beludru hitam mengembang dengan lipitan brokat berwarna senada yang dipadukan dengan bordir bulu putih di lengan, lengkap dengan topi lebar dengan beberapa mahkota bunga mawar hitam di salah satu sisinya.

Diam-diam aku menelisik ke dalam matanya, kosong. Bibirnya biru, tapi kurasa ia tidak sedang kedinginan. Dari sekian banyak orang di dalam café, penampilannyalah yang paling menonjol. Dan itu cukup membuatku penasaran.

“Hai Susi, het spijt me dat ik zo laat ben.”

Pandanganku masih belum terlepas dari wanita itu. Aku tertarik mengungkap apa yang ia sembunyikan dari balik mata blue marine miliknya. Bintik-bintik merah di pipinya tersembul samar dari balik topi hitam yang menutupi sebagian wajahnya. Asap rokoknya menguar ke udara. Wanita itu menggoyang-goyangkan gelas champagne dengan malas, kemudian menyesapnya pelan-pelan hingga cairan itu menelusuri lehernya. Gerakan lehernya yang naik turun. Leher jenjang dan berwarna merah jambu khas bangsawan Belanda. Dan ia terus mengulangi ritualnya, berkali-kali.

“Susi, hari ini aku sangat bahagia. Aku mendapatkannya. Kau tahu? Aku mendapatkan peran Oddete yang selama ini sangat aku impikan. Ini seperti mimpi yang tiba-tiba menjadi kenyataan. Kita harus merayakannya.”
Aku diam.

“Susi, maafkan keterlambatanku! Tapi bukan berarti kau lantas mendiamkanku seperti itu saat aku datang!” Anne menekan kalimatnya, membuatku terkesiap. Ia mengerutkan alisnya. Aku gelagapan.

“Oh Ann, neem me niet kwalijk, sejak kapan kau datang?” Aku benar-benar tidak menyadari kehadirannya. Anne menyeret kursi di depanku lalu duduk di atasnya. Posisinya sedikit menghalagi pandanganku pada wanita bertopi itu.

“Apa yang sedang kau pikirkan?” Ia bertanya penuh selidik, seakan-akan ia tak memberi ruang kepadaku untuk sekedar menghirup nafas dan kembali menetralkan suasana. “Aku mendapatkan peran Oddete, Susi.” Anne mengulang lagi ucapannya.
Bibirnya melengkung karena sebuah senyum simpul yang manis.

“Oh ya? Aku senang mendengarnya, Ann. Kau pantas mendapatkannya.” Aku tersenyum. Tanpa menghiraukan perkataan Anne yang akan terlontar, aku segera menggeser laptopku, menghadapkan layarnya pada gadis bermata coklat itu. “Bacalah.”

Anne memutar bola matanya, menyamping kemudian kembali lagi.

“Siapa Susianne Van der Kraaft?”

Kening Anne basah oleh bulir bening yang perlahan mendingin. Padahal matahari tidak sedang pucat, justru kepucatan itulah yang terpancar pada bola matanya yang memantulkan sinar coklat keemasan. Matanya bergetar, bahkan bulu matanya ikut bergetar, seperti menggigil karena tiupan angin malam di musim dingin.

Aku melihat jelas kebingungan di wajahnya yang seranum tomat. Dan ia tampak lucu dengan ekspresi seperti itu.

“Dia sangat cantik, Ann. Dia menari-nari seperti Swan Lake,” gumamku, “Tapi sayang, dia sudah mati. Seseorang telah membunuhnya!” Aku meronta, terisak lalu mengguncang bahu Anne dengan kecamuk luar biasa.

“Susi!” Anne menjauhkan tubuhnya, melepaskan cengkraman tanganku di bahunya. Alisnya berkerut.

“Kita harus mengungkap misteri kematian itu, Ann.” Aku kembali mendaratkan tanganku ke bahunya, mengguncangnya tidak terlalu keras seperti hendak mengalirkan energi hangat yang mungkin bisa sedikit menenangkan kepanikannya.

Anne mengibaskan syal yang melilit lehernya, juga tanganku, “Ini konyol, Susi!” Alisnya kembali bertatut, “Apa yang sebenarnya kau cari?” Matanya melebar. Aku memberi isyarat agar ia mengecilkan volume suaranya dan ia mengikuti saranku, “Kau gila! Sudah kubilang, aku tidak tahu siapa itu Susianne Van der Kraaft!” Ia menghela nafas sejenak kemudian membuangnya. Mengendorkan posisi duduknya agak menjauh dariku.

“Dengarkan aku dulu, Ann.”

Anne diam, namun aku tahu, matanya menatap jauh ke dalam mataku.

“Aku hanya butuh kunci ruangan kepala sekolah untuk mengungkap semuanya.”

“Kau gila!” Seluruh orang di café mendelik ke arah kami dan Anne menunduk sebagai ucapan maaf karena mengeluarkan suara yang terlalu keras. “Kepala sekolah akan membunuh kita.” Ia berbisik, “Apa kau tak pernah mendengar perkataannya bahwa kita tidak boleh memasuki ruangannya?” Ia berkata seolah-olah perkataan kepala sekolah adalah mutlak dan kami harus selalu menuruti apa yang ia ucapkan. Sebuah teori yang bodoh dan sedikit ortoriter, dan aku tak pernah suka jenis paham seperti itu.

“Untuk itulah kita perlu menyelinap, diam-diam.” Aku melukiskan senyum yang membuat Anne menelengkan kepalanya berkali-kali. “Aku hanya butuh arsip video balet yang disimpan kepala sekolah. Juga beberapa artikel.”

“Sepenting itukah hingga kau mempertaruhkan nyawamu?”

Aku mengangguk, “Tidak ada cara lain.”

“Apa yang membuatmu begitu penasaran, Susi? Bukankah kematian Susianne Van der Kraaft sama sekali tak ada hubungannya denganmu?”

Anne masih tetap menyorot mataku dengan tatapan yang menyerupai belati.

“Kau akan tahu nanti.” Aku berusaha menghindari tatapan matanya dengan mengalihkan mataku pada kursi di sudut ruangan. Dan aku baru menyadarinya, wanita bertopi itu sudah menghilang.

*

Ruangan kamar sengaja aku biarkan tanpa penerangan saat aku memutar video Opera Swan Lake lewat dvd di samping jendela. Jus jeruk masih menghiasi sebagian pemandangan di meja dengan artikel-artikel tentang Susianne yang aku buat, juga kaset-kaset yang sengaja aku biarkan tercecer. Di layar tampak balerina-balerina dengan gerakan-gerakan yang indah itu. Posisi berdiri yang sempurna dengan point shoe, juga menari dengan bermacam-macam gerakan yang menggambarkan keluwesan, kehalusan dan emosi. Aku selalu menyukai seni balet, tak terkecuali simfoni Tchaikovsky yang sering membuat tubuhku meremang.

Swan Lake Ballet who will be performing at the De Nederlandse Opera
Saturday evening
November 23, 1996
07.30 p.m
Special performing by Anne Hazeu

Aku menatap lembaran itu lalu membuangnya dengan asal. Yang aku sukai saat menikmati opera balet adalah membiarkan kesepian menyelimutiku. Merasakan irama musik itu hanyut, merasakan perbincangan-perbincangan hangat juga keriuhan-keriuhan penonton di dalam gedung yang selalu saja mengusik telingaku. Aku seperti berada di dalam video itu, di ruangan megah yang menyenangkan. Jiwaku, bahkan seluruh tubuhku seperti berada di tengah-tengah mereka. Bahkan aku pernah merasakan berada di panggung itu, menari dengan lincah mengenakan tutu berwarna putih dengan hiasan bulu-bulu. Juga menerima karangan bunga, tersenyum gembira saat semua penonton memberikan standing applause untukku. Luar biasa, seolah akulah ratu angsa itu.

Dalam kesepian kamar yang gelap, aku merasakan sebuah keriuhan yang benar-benar menyedot seluruh pikiranku dan energiku. Suara-suara dan kecamuk luar biasa mulai menguasaiku. Berdengung seperti lebah. Aku meronta, merasakan rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuh.

Aku seperti dikuasai oleh makhluk lain, ia menjeratku dan ia terikat di sana. Setelahnya, aku akan menggigil, merasakan kepala yang terlampau sakit lalu aku limbung dengan kegugupan yang memberontak.

Keringat dingin melumer, kepalaku sakit. Dan dalam keadaan seperti itu, aku kembali melihatnya : wanita bertopi hitam itu.

*

“Kita hanya butuh artikel dan video itu untuk mengungkap semuanya.” Bulan masih sembab ketika aku dan Anne mengendap-endap masuk ke ruangan kepala sekolah, membuka pintunya dengan sebuah kawat.

“Kepala sekolah akan membunuh kita, Susi!” Anne menyorotkan cahaya ke lubang kunci lewat senter di tangannya. Sungguh, aku tidak pernah suka cuaca dingin di musim gugur yang harus memaksaku mengenakan sarung tangan bulu yang tebal. Kami masih berbisik-bisik seperti penguntit.

“Aku akan bertanggung jawab untuk itu, Ann. Kau tak perlu panik.” Aku menghembuskan nafas, “Setelah kita mendapat artikel itu, kita akan pergi dari ruangan ini. Segera!” Pintu berhasil kubuka tanpa kendala apapun. Kawat itu bekerja baik malam ini,

“Matikan sentermu, ayo kita masuk.”

Ruangan kepala sekolah gelap, dipenuhi rak-rak buku yang menjulang ke langit-langit. “Gila! Buku sebanyak ini, mana yang harus kita cari?” Aku mengikuti pendar cahaya yang berasal dari senter Anne. Ia tampak menelengkan kepalanya, “Ini misi konyol!”

“Aku selalu dihantui wanita itu, Ann. Aku harus mengungkap apa yang membuatnya mati di pementasan.”

Aku tahu Anne terkejut dengan pernyataanku, “Tidak ada waktu lagi, bantu aku mencari artikel tentang wanita itu.” Mata Anne tampak gelap.

Aku masih menelisik, mengobrak-abrik seluruh rak buku kepala sekolah.

“Sekolah seperti menyembunyikan skandal pembunuhan Susianne. Dan wanita itu akan selamanya menjadi teror jika kita tidak mengungkap kematiannya.”

Anne menghentikan sejenak aktivitasnya. Dalam keremangan itu, ia menatapku tajam.

“Ini terkait peranmu sebagai Oddete, Ann,” kataku, “Aku tidak bisa membiarkanmu mati seperti apa yang dialami Susianne Van der Kraaft tahun 1896 itu. Aku juga tidak bisa membiarkan ada perang darah dalam balet.”

“Kau berkata seolah kau menyimpan sesuatu yang tidak aku tahu, Susi.”

“Aku mencintai balet sepenuh hatiku, Ann. Bahkan aku rela melakukan apapun demi cintaku pada balet.” Aku menghindari tatapan mata Anne yang seperti itu. Selalu, aku tidak bisa membalas tatapan menyelidiknya.

Kualihakan tubuhku menjauh darinya, menuju sebuah lukisan yang tergantung rapi di sudut ruangan. Aku mengenal wanita dalam lukisan itu. Wanita yang sama dengan apa yang aku lihat dalam Annie’s café beberapa waktu lalu. Wanita yang setiap malam menerorku dengan  kehadirannya yang tiba-tiba. Wanita bertopi itu. Susianne Van der Kraaft.

Aku mengelus lukisan itu, seperti aku telah benar-benar menyentuh wajahnya dengan tanganku.

“Susi, kenapa kau meraba dinding-dinging kosong itu?” Suara Anne menyadarkanku. Ia menyorotkan cahaya pada buku yang ada di tangannya. “Susianne tidak dibunuh. Karena memang tak ada nama itu,” katanya.

Dan saat itu juga aku melihat wanita bertopi itu. Ia mendekatiku, masih membawa gouda yang mengepulkan asap putih rokoknya. Ia tertawa. Kepulan asap dari rokoknya terlihat jelas. Dan perlahan dadaku menjadi sangat sesak.

“Peran itu harusnya jadi milikmu.” Bibirnya membentuk sebuah lengkungan. Aku melihat jelas matanya yang selama ini tertutup topi lebar berwarna hitam itu. Ia menghembuskan asap rokoknya tepat mengenai wajahku. Aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri, bahkan pikiranku. Wanita itu menguasaiku lagi, benar-benar menguasaiku.

“Bunuh dia! Jangan biarkan dia mendapatkan peran itu, bunuh dia sekarang juga.” Terus seperti itu. Suara-suara itu. Bayangan masa lalu itu semakin jelas. Menjadi balerina adalah impianku sejak kecil. Aku rela melakukan apa saja demi balet, merelakan kakiku yang lecet akibat tidak biasa mengenakan point shoe, mengalami cidera tulang karena aku tidak bisa melenturkan tubuhku. Aku bersusah payah belajar fouttes en tournant, pointe work, voete. Berusaha mendapatkan peran Oddete, sang Ratu Angsa. Dan ketika aku berhasil mendapatkannya, mereka mengambilnya. Aku adalah satu-satunya orang yang tersungkur dalam kemegahan Stadsschouwburg malam itu. Aku menangis, dalam sebuah ruang gelap yang pengap, sendiri saja.

Lagi, mimpi itu kembali menerorku. Silih berganti seperti sebuah scene-scene yang gelap. Kemudian menerobos ke dalam pembuluh darahku, menuju otakku dan berputar-putar di sana. Aku meringkuk dalam sebuah ruangan tanpa cahaya, masih dengan alunan simfoni Swan Lake yang membuat sakit di kepalaku nyaris bertambah.

Aku seperti orang kesetanan. Entah siapa yang mengacaukan pikiranku hingga aku mampu mengobrak-abrik seluruh laci meja kepala sekolah, menemukan sebuah pistol yang kemudian aku arahkan tepat ke matanya. Aku membenci mata biru itu, suara-suara itu, wanita bertopi itu. Aku tidak ingin karangan bohongku soal Susianne dan skandal berkedok kepala sekolah yang aku buat terkuak begitu saja. Selamanya, peran itu akan tetap jadi milikku.

Aku menarik pelatuk, tapi kemudian muncul bayangan Anne yang menatapku dengan mata membulat. Mulutnya menganga.

“Susi, what are you doing?” Ia terpekik, senter yang ia bawa jatuh ke lantai bersamaan dengan suara letupan pistol.

Lalu dalam sekejap, simfoni Swan Lake menggema memenuhi pikiranku, tanpa suara Anne.

Madiun, April 2011

Published with Blogger-droid v2.0.6

Sepaket muffin dan surat tanpa nama sudah berada di mejaku pagi itu. Pagi buta karena aku harus berangkat ke kantor lebih awal dari biasanya. Kubikel berwarna abu-abu di sekitarku masih sepi. Saat aku membuka kotak muffin itu, aku mendapati aroma segar adonan yang sepertinya baru saja dikeluarkan dari oven. Lalu surat itu diletakkan menyatu dengan kardus pembungkus muffin yang berwarna kecoklatan. Surat itu dibungkus amplop warna nila tanpa hiasan apa-apa. Dan sebuah kalimat sederhana tercetak miring di kertas yang berwarna serupa.

Selamat ulang tahun, An.

Tanpa nama terang. Tanpa tanda tangan. Tanpa identitas apapun. Entah siapa yang mengirimiku paket muffin sepagi itu. Bahkan lebih pagi dari jam kedatangan karyawan di rumah mungil itu.

Aku selalu menyebutnya rumah mungil. Tempat dimana semua desain-desainku lahir. Ruangan itu tidak terlalu luas. Berbentuk persegi biasa dengan kubikel-kubikel yang berjajar rapat. Sepasang jendela lebar berada di sudut ruangan. Dimana pemandangan Oslo terlihat jelas dari sana. Saat lembur, aku suka menatap lampu malam dengan secangkir coklat panas. Di sana juga terlihat jelas hujan dan salju yang turun dari langit. Aku tidak tahu siapa yang mendesain ruangan itu. Meski penempatan jendela lebar itu terasa ganjil, tapi itulah sudut yang paling aku suka.

Kembali perhatianku tertuju pada muffin itu. Aku menatapnya cukup lama dengan perasaan campur aduk. Semua barang kiriman yang mendarat di mejaku seolah melemparkanku ke masa lalu. Seperti krisan yang selalu Len siapkan sebelum kedatanganku. Dan kali ini muffin.

"Len, sedang dimana?" Telepon tersambung. Suara Len tertelan hujan. Rupanya hujan turun di tempatnya sekarang. Berbeda dengan tempatku. "Kau tahu siapa yang mengirimiku muffin sepagi ini?" Aku menunggu jawaban Len dan ia nampak tidak mengerti ucapanku. "Oh.. oke Len. Maaf sudah menelfonmu sepagi ini. Oh, tidak apa-apa. Haha, kau harus mentraktirku dua kali lipat kalau begitu. Oke, thank you." Telepon mati. Len sama sekali tidak mengerti perihal muffin ini.
*
Hujan pada akhirnya mengguyur tanpa ampun. Aku pulang terlambat. Dan ketika sampai di apartemen, hari sudah larut. Ulang tahun seharusnya kuhabiskan dengan makan bersama teman-teman di kafe langganan kami, tapi aku justru kepayahan karena kerja lembur harus menguras tenagaku. Aku membantu Nick mengerjakan desain untuk wanita yang katanya berasal dari Indonesia. Tunggu, meski dulu aku pernah mempunyai hubungan dengan Nick, kami tetap bekerja profesional dan semua sudah kembali seperti semula. Nick tak lebih dari partner yang menyenangkan. Dan aku menganggap seolah tak pernah terjadi apa-apa, begitu juga dengannya.

Aku melepas sepatu dan menyalakan lampu apartemen. Meletakkan muffin yang belum kusentuh sama sekali di atas meja tamu kemudian melepaskan mantel yang basah. Belakangan, hujan memang jarang diprediksi. Dan itu sangat merepotkan.

Saat aku hendak ke lemari es mengambil sekaleng cola, aku melihat lampu telepon berkedip. Pesan masuk.

Pesan pertama adalah dari Nick, ia mengucapkan terimakasih atas kerjaku malam ini dan ia berjanji akan mengenalkan wanita itu padaku suatu saat nanti. Sejujurnya hal itu tidak penting sama sekali. Pesan kedua, dari Len yang menawarkan akan mentraktir di sebuah restoran sushi karena ia mendapat proyek baru. Pesan ketiga yang membuat tenggorokanku tercekat.

Hai An.. apa kabarmu? Aku mendapat nomor ini dari seseorang yang dekat denganmu. Selamat ulang tahun, apa kau sudah menerima muffin itu?

Aku menghentikan pesan itu. Segalanya berubah hening. Hanya suara hujan yang masih bergemericik di luar jendela. Dan suara wanita itu yang masih berdengung di telingaku. Wanita yang pelan-pelan kukubur dalam kenangan. Wanita yang berasal dari masa lalu.

Dengan keberanian yang perlahan kuciptakan, aku melanjutkan pesan itu. Semua terulang seperti semula. Dan sampailah aku pada suara wanita itu lagi.

Aku ingin sekali bertemu denganmu, An.

Jakarta, Agustus 2012

Published with Blogger-droid v2.0.6

Saulina dan Senja yang Bisu

Oleh : Eros Rosita

Barangkali saja senja tidak selalu bercerita tentang kenangan. Padanya, sebuah kemurungan mengendap-endap dalam kesunyian yang syahdu.

Dia bernama Saulina. Si gadis senja. Kekasih Sukma yang telah tiada. Namun, pada matanya tersimpan bermacam kenangan yang kini terabadikan dalam mata Sukma yang itu. Lelaki itu kerap mengutuk senja yang tidak tahu apa-apa. Di dalam darahnya mengalir merah yang Saulina bilang itu adalah wujud cintanya. Cintanya yang jauh lebih menyakitkan dari semua perih yang ada.

“Cinta terkadang bisa menjadi bumerang. Jangan mencintai seseorang jauh melampaui kemampuanmu,” entah suara dari mana, Sukma tidak paham itu.

Lelaki itu duduk melamun di sebuah dermaga. Di sana, senja diam-diam larung bersama kebisuan. Ombak pantai berarak dan menerjang bebatuan. Kapal-kapal dan kail-kail ikan tampak seperti pemandangan yang sudah sewajarnya ada. Sukma tidak bergeming. Pada matanya, selintas Saulina menari sebagai bayangan yang tidak dia harapkan ada namun dia merindukan kehadirannya.

“Aku mencintaimu sebagaimana aku harus mencintaimu,” itu kata-kata Sukma. Beberapa tahun lalu. Di tengah kerumunan orang, di sebuah pantai yang sebelumnya belum pernah mereka kunjungi.

Mereka berdua. Saulina duduk menatap senja hingga cahaya merah itu sudah berpindah ke matanya yang sayu. Bibir wanita itu ranum, mengatup tanpa sepatah huruf.

“Ini adalah cinta yang utuh, sebagaimana Tuhan mencipta segalanya dari kemurnian yang paling sederhana.” Sukma terus bergumam. Dia memainkan pasir-pasir pantai. Menggenggam pasir-pasir itu kemudian melepaskan genggamannya. Pasir pantai di tangannya jatuh berhamburan.
Bahkan sekalipun, Saulina tidak menolehkan tatapannya pada lelaki itu. Angin dingin berhembus dan mengenai riak rambutnya yang tergerai, jatuh menjuntai sepanjang bahu.

“Saulina, Tuhan menciptamu sebagai sosok yang tak tersentuh. Sekalipun dengan hatiku. ” Sukma meremas dadanya. Ada ngilu yang tiba-tiba menyeruak tanpa bisa dia cegah. Baginya, cinta itu menyakitkan. Seperti menghujamkan belati tepat pada ulu hati. Tapi dia menyukai rasa sakit itu.

Senja merah. Bulan pucat mengintip dari balik gulungan awan yang ungu.
Sukma enggan beranjak dari dermaga. Bening yang menetes dari sudut matanya, larut bersama air laut yang asin. Dia terisak dalam diam, dengan caranya sendiri, membasahi ulu hatinya yang terasa perih. Semakin perih hingga dia terbiasa dengan sakit itu. Dengan perih itu.

*

“Apa cinta pernah salah memilih?” Angin bersibak membelah riak-riak rambut Saulina yang bersembunyi di balik telinganya yang langsat. Rambut itu berderai. Jatuh teratur di bahunya yang ringkih dan kurus.

Wanita itu tidak berani menatap mata Sukma. Ada getaran samar di setiap kata-kata yang keluar dari bibirnya.

“Lantas siapakah yang salah?”

Saulina tidak lantas menjawab. Dia diam sejenak, membiarkan udara yang dihempaskan ombak itu menelanjangi hidungnya yang mancung. Wanita itu menunduk, memainkan pasir yang menelanjangi kakinya.
Ombak sertamerta membuat kaki itu semakin terlihat pucat dan kuyu, seperti wajahnya.

“Dia dekat denganku, bahkan aku mengetahui masa lalunya. Tetang ibunya dan tentang gadisnya yang masih membekas dalam ingatannya.” Saulina melanjutkan, “Kurasa aku jatuh cinta padanya. Tapi sekali lagi aku ingin bertanya padamu, apakah cinta pernah salah memilih?”

Sukma diam. Menelanjangi wajah Saulina dengan caranya sendiri.

“Kalau boleh memilih, aku sama sekali tidak ingin mencintainya.”

“Kenapa?”

Saulina tidak menjawab, wanita itu justru terisak. Bahunya berguncang. Sukma tahu, wanita itu merasa gelisah.

“Menyakitkan,” kata Sukma. “Tapi kau hanya perlu menikmatinya, dan menemukan hakikatnya.”

“Apa maksudmu?”

“Cinta tak pernah salah memilih.

” Sukma tidak berani menatap mata Sulina yang berair. Baginya, mata itu terlmpau indah, seperti bening kristal yang berkilau. Dan air mata itu membuat jiwa Sukma serasa ditikam sembilu yang teramat. Dia ingin menghapus air mata Saulina dan melarungkannya bersama ombak yang telah sudi membawa serta semua mimpinya untuk bisa memiiki wanita itu seutuhnya. Sukma merasa takut, bahkan untuk sekedar mengusap kepala wanita itu dan menenangkannya. Dia diam, hanya bisa menatap Saulina menyesap air matanya dalam-dalam.

*

Sore itu senja berdarah-darah. Saulina sedang mengiris bawang merah ketika melihat orang-orang berlarian menuju rumah Sukma. Teriakan-teriakan kepanikan mengacaukan gendang telinganya sehingga tidak dipeduikannya darah mengucur di jarinya yang lentik itu.  Saulina menyincing selembar jarik yang membebat tubuhnya. Jari-jarinya telanjang, langkahnya jauh lebih cepat dari biasanya. Dadanya berguncang hebat. Sungguh, dia tidak mengetahui apa yang sebenarya terjadi.

“Apa yang terjadi? Apa yang terjadi?” Hening. Tidak seorang pun memedulikan Saulina. Mata wanita itu berkilat-kilat. Rasa penasaran dan kekhawatiran mengendap-endap di sana.

“Sukma mati. Gantung diri.” Kata seorang tua yang nampak ringkih.

Saulina jatuh pingsan. Tangannya telah terbebat warna merah.

*

Senja murung. Hanya terdengar decit pilu burung-burung yang terbang sunyi. Ombak menggulung pasir-pasir, memecah bebatuan. Tidak ada sipapun, kecuali wanita yang membebat seluruh tubuhnya dengan kain berwarna hitam itu. Mata Saulina bengkak. Wanita itu duduk seorang diri di bibir pantai. Itu adalah pantai yang sama yang sering dikunjunginya bersama Sukma. Pantai tak bernama. Tangannya dengan jari telunjuk yang hilang tengah menggenggam selembar kertas. Itu kertas yang diberikan seorang tua kepadaya. Kertas Sukma yang terselip dalam seutas jarik, jarik yang mengikat lehernya sore itu.

'Semalam aku melihatmu tidur begitu nyenyak. Kesunyian menemanimu sepanjang petang hingga pagi mencipta hari lagi, mencipta senja. Entah kenapa, senja selalu mengingatkanku padamu, Saulina. Tentang sepimu, tentang kenangan kita yang tak pernah habis untuk kutulis. Barangkali cinta selalu berakhir seperti ini. Aku cukup lama merasakan kesakitan oleh sebab cinta yang dalam. Kau gadis yang baik, Saulina. Hapus air matamu sebab aku tidak sanggup menghapusnya dengan jari-jariku. Kau tidak perlu menangis, karena matamu terlampau indah untuk membentuk sebutir air mata. Kau tercipta atas dasar cinta  yang sesungguhnya, Saulina. Yang tidak bisa kusentuh bahkan dengan hatiku sekali pun. Lantas, biarkan aku mencintaimu dengan sederhana. Dengan caraku sendiri, dengan diamku, dan dengan senja yang serta merta kukirimkan lewat kesunyian-kesunyian yang senantiasa memelukmu.'

Wanita itu terisak sejadi-jadinya.

“Kau lelaki dungu, Sukma!” Akhirnya dia berucap. Nada bicaranya serak. “Apakah cinta pernah salah memlih? Kau bodoh dan tolol, Sukma!”

Saulina meremas kertas itu dan membuangnya ke pantai.

Ombak menggulung, melarungkan segala bentuk air mata dalam kertas usang itu.

Sukma tersenyum dalam diam. Pelan-pelan mengusap mata Saulina dan menadah air mata wanita itu dengan kedua tangannya.

Hampa. Sunyi menikam dalam-dalam tanpa bisa dicegah. Ada perih yang tiba-tiba membuat dada Saulina sesak. Wanita itu meremas dadanya, membasahi hatinya yang ngilu.

“Jika aku boleh memilih, maka aku tidak ingin mencintaimu, Sukma.” Bening itu menganak sungai di pelupuk matanya yang sayu. “Kau lelaki dungu, kenapa kau tak pernah jujur padaku? Kau bodoh!” Wanita  itu terus saja mengumpat, entah pada siapa dia tidak tahu. Suaranya serak tertelan debur ombak.
Saulina menutup wajahnya dengan telapak tangan yang basah. Dengan nyeri yang dia rasakan sendiri.

“Cinta tak pernah salah memilih, sebab dia tercipta dari kemurian yang agung. Seperti air matamu.” Sukma tahu, Saulina tidak penah bisa mendengar suaranya. Lelaki itu tersenyum. Matanya menyipit meski segurat sepi menghiasi wajahnya yang pucat.
“Aku tidak menyesalinya Saulina, sebab dengan cara inilah aku bisa menyimpan cintaku. Biarkan cinta itu kekal di sana, di dalam hatiku. Sebab, iniah caraku mencintaimu.”

Senja barangkali tidak selalu bercerita tentang kenangan. Padanya sebuah kemurungan mengendap-endap dalam kesunyian yang syahdu. Sukma memeluk Saulina dengan perasaan bahagia. Senja larung bersama air mata Saulina yang masih terus menitik.

Senja memantulkan merah, membentuk segurat siluet yang sempurna. Itu adalah senja yang bisu, dan segurat siluet Saulina yang Sukma abadikan dalam air matanya.

Jakarta, 15 Juni 2012

Published with Blogger-droid v2.0.6

14 Agustus tinggal beberapa minggu lagi.

Itu artinya lomba tahunan yang biasa digelar dalam rangka memperingati hari Pramuka sudah dipersiapkan jauh-jauh hari. Mulai dari persiapan lomba baris berbaris hingga latihan paskibraka untuk persiapan menjelang upacara dirgahayu kenegaraan tiga hari setelahnya.

Saya selalu suka menyebutnya gadis kecil yang diam-diam melihat keluar jendela.

Semarak menyambut hari ulang tahun Pramuka dan hari ulang tahun negara tidak sedikit pun membuat gadis itu melengkungkan seulas senyum. Gurat kebahagiaan yang terpancar dari wajah anak-anak SMP itu tidak singgah di wajahnya yang langsat. Di wajahnya justru tergambar gurat kemurungan. Seperti sebuah sketsa samar yang biasa saya lukis di atas meja kerja.

Gadis itu tidak memperhatikan pelajaran yang diterangkan guru di depan kelas. Pandangan dan lamunannya justru berkeliaran di lapangan sekolah. Saya tahu, ia tampak mencuri-curi pandang hanya untuk sekedar melihat aktifitas di lapangan agar tidak ketahuan guru.

Sejak dulu, ia ingin sekali berbaur dengan teman-temannya. Mengikuti ekstrakurikuler pramuka setiap sepulang sekolah. Berkemah setiap sabtu minggu. Menyalakan api unggun. Berjelajah ke tempat-tempat yag belum pernah ia kunjungi. Melihat hutan, sawah, sungai dan langit. Bakti sosial di perkampungan-perkampungan. Menyanyi. Semua itu terlihat menyenangkan, bukan?
Namun keinginan itu harus ia kubur dalam-dalam. Dan semua itu harus berubah menjadi rasa yang menyakitkan.

Ibunya tidak pernah mengizinkannya keluar rumah atau melakukan aktifitas yang terlihat ekstrim. Apalagi bagi ia yang seorang gadis kecil. Gadis semata wayang di dalam rumah kecil itu.
Baginya, hidup hanyalah sekolah dan belajar. Bermain pun ia lakukan seorang diri di kamarnya. Ibunya telah membelikan banyak mainan. Dan ia bisa bermain apapun yang ia sukai tanpa merasa ada yang merebut mainannya seperti apa yang biasa terjadi di sekolah. Sebab ia bermain seorang diri. Ialah pemilik utuh mainan-mainan itu sekarang.
Tapi sesungguhnya ia kesepian.

Saya sering mendapati ia menangis diam-diam di sudut malam. Bermonolog dengan boneka-boneka sebagai satu-satunya teman bermain yang ia punya. Dan jika ia sudah merasa bosan, ia akan melukis atau menulis beberapa coretan di buku sketsa hingga ia kelelahan dan tertidur.
Setiap hari, seperti itu. Dan berlangsung bertahun-tahun hingga usianya mulai menginjak belasan tahun. Hingga sekarang keadaan telah berputar balik dan ia mulai begitu dekat dengan sepi yang selama ini memeluknya.

Dulu, ia begitu ingin mengenakan seragam coklat itu. Berbaris dengan rapi di depan orang-orang setiap tanggal 14 Agustus karena menurutnya, itu hal yang keren. Dan ibu pasti bangga melihatnya bisa berbaris.

Ah.. waktu semakin berputar..melesat seperti anak panah.

Aba-aba yang terdengar dari luar lapangan mengacaukan lamunannya. Ia tersadar, sudah sekian menit rupanya gadis itu menatap keluar jendela dan bercengkerama dengan lamunan-lamunan yang melintas di benaknya. Saya tidak tahu apa yang ia pikirkan..pun rasakan.
Raut kemurungan yang sedari tadi menyelimuti wajahnya berubah menjadi seulas senyum samar yang tersembunyi. Ia tampak mendesah. Tidak berkata apapun. Ia lantas memalingkan tatapannya kembali pada papan tulis. Mengejar kembali catatannya yang tertunda.

Sementara itu, dari luar lapangan, segala macam aba-aba memekik di bawah terik.

Jakarta, 14 Agustus 2012
Selamat Hari Pramuka :)

Published with Blogger-droid v2.0.6