Sewaktu Sekolah Dasar, sekitar 9 tahun yang lalu, saya dan teman saya biasa menyebutnya boi-boian. Boi-boian adalah permainan beregu yang biasanya dimainkan oleh anak laki-laki. Mungkin karena itulah dinamakan boi-boian, mengingat arti boy dalam Bahasa Inggris adalah anak laki-laki dan kata beregu bermakna lebih dari satu atau jamak sehingga terdapat pengulangan kata pada kata boy, menjadi boi-boian yang berarti banyak anak laki-laki. Hehehe, sebuah pengamatan dan kesimpulan yang aneh dan asal, bukan?
Boi-boian, tanpa melihat darimana asal-usul permainan itu, saya menikmatinya sebagai salah satu permainan mengasyikkan saat usia saya masih anak-anak.

Bermain boi-boian tidak terlalu ribet sebenarnya. Kita tidak perlu mengeluarkan uang setiap kali akan memainkannya dan kita pun tidak perlu pergi ke tempat persewaan atau merengek minta dibelikan nitendo atau playstation oleh orang tua kita. Karena bermain boi-boian hanya membutuhkan satu bola tenis dan beberapa kreweng. Jika kita tidak mempunyai bola tenis, kita pun bisa menggunakan bola plastik untuk bermain.
Membuat bola plastik juga tidak sulit. Jika jam istirahat tiba, saya dan teman-teman saya biasanya langsung menuju kebun belakang sekolah untuk mencari plastik-plastik bekas snack. Kami akan memasukkan plastik itu ke dalam satu plastik yang paling besar, memadatkannya lalu menggulungnya hingga membentuk sebuah bulatan menyerupai bola. Jika sudah padat dan bulat, kami akan mengikatnya dengan potongan rafia atau potongan plastik yang sudah ditarik menyerupai tali agar bola plastik benar-benar kuat dan tidak terlepas. Ini adalah solusi utama jika kebetulan kami lupa membawa bola tenis.
Boi-boinan dimainkan oleh dua tim, tim A sebagai penjaga dan tim B sebagai pemain. Jika sudah terbentuk dua tim dengan jumlah anggota yang sama, kami biasa melakukan suit untuk menentukan tim mana yang boleh bermain lebih dulu. Tim yang menang suit bisa memulai permainan terlebih dahulu dan tim yang kalah berperan sebagai penjaga.
Cara bermain boi-boian juga mudah. Yang harus dilakukan pertama-tama adalah menumpuk beberapa kreweng hingga mencapai 15 sampai 20 tumpukan. Kreweng yang paling besar disusun paling bawah, ini bertujuan untuk memperkokoh tumpukan agar tidak rubuh, begitu seterusnya sampai kreweng paling kecil berada pada tumpukan paling atas, sehingga menyerupai menara.
Salah satu orang dari tim pemain menggulingkan bola ke arah menara kreweng dalam jarak tertentu. Jika bola yang digulingkan tidak mengenai menara itu, maka wakil yang lain yang mengambil posisi, begitu seterusnya sampai bola merubuhkan menara kreweng. Jika dalam satu tim tidak ada seorang pun yang bisa merubuhkan menara kreweng, maka tim lawan yang mengambil alih permainan.
Dan rubuhnya menara kreweng inilah pertanda perang telah dimulai.
Tim yang mendapat giliran main mempunyai tugas menyusun kembali kreweng-kreweng itu hingga membentuk seperti menara. Sementara tim yang berjaga bertugas menghalau tim lawan untuk menyusun menara kreweng dengan cara memukulkan bola tenis tepat mengenai tubuhnya, kecuali kaki dan kepala. Mereka akan saling mengoper bola untuk memukul tim pemain. Sedangkan beberapa anggota dari tim pemain bertugas mengecoh lawan, sementara yang lain bergotong royong membangun kembali menara kreweng. Apabila bola sudah mengenai salah satu tubuh pemain, maka pemain itu dinyatakan mati dan tidak bisa menyusun menara kreweng. Nilai akan diperoleh jika menara sudah berhasil disusun. Dan tim yang semakin banyak menyusun menara, itulah yang dianggap sebagai pemenang.
Menara dianggap benar-benar berdiri jika bisa bertahan selama 5 sampai 10 detik tanpa rubuh. Bermain boi-boian tidak hanya mengandalkan kecepatan dan ketepatan namun juga ketelitian dan strategi khusus. Jika kita salah menempatkan kreweng maka menara pun tidak bisa berdiri tegak. Inilah uniknya bermain boi-boinan. Di sinilah peran kerjasama itu bermula. Baik dari tim lawan maupun tim pemain, kita  pasti akan membutuhkan teman dan kerjasama tim untuk membangun menara serta memukul musuh.
Meskipun boi-boian identik dengan anak laki-laki tapi saya dan teman-teman perempuan saya selalu ikut andil memainkan ini bersama. Tidak ada perbedaan harus laki-laki atau perempuan. Jika bel istirahat berbunyi, kami akan segera mencari kreweng-kreweng untuk ditumpuk. Dan biasanya ada salah satu teman yang membawa bola tenis dari rumah.
Pertama kali mengetahui permainan ini adalah ketika saya masih kelas 3 Sekolah Dasar. Saya hanya bisa melihat kakak-kakak kelas saya bermain di lapangan sekolah. Mereka menumpuk kreweng-kreweng itu, menggulingkan bola kemudian berlari menghindari pukulan bola dari tim penjaga. Dan jika ada salah satu bola yang meleset, mereka menggunakan kesempatan itu untuk menyusun kembali tumpukan kreweng itu hingga menyerupai menara. Menyenangkan sekali. Saya bisa melihatnya, kerjasama itu, kekompakan itu. Seperti mempertahankan sebuah benteng pertahanan dari serangan musuh. Kreweng ibarat sebuah menara yang diserbu musuh, dihancurkan oleh musuh namun para tentara tidak akan tinggal diam untuk membangun menara itu kembali, mempertahankan seperti sedia kala.  
Saya termasuk anak penakut yang tidak tahan sakit. Dalam bermain boi-boian saya selalu takut jika terkena pukulan keras bola tenis. Dan saya pernah mengalaminya. Rasa panas yang mengenai tubuh saya karena pukulan keras dari teman laki-laki membuat air mata saya hampir saja luluh. Tapi saya tidak akan menyerah. Jika sudah dinyatakan ‘mati’, saya tidak bisa lagi membantu  teman-teman menyusun menara kreweng itu. Wajah mereka yang berubah merah karena berlarian di tengah panas, juga tetes keringat itu mulai membasahi seragamnya yang sudah kumal karena debu. Dan saya juga melihatnya, dimana setiap nafasnya dan keringatnya yang berjatuhan di tanah, tangannya bergetar menyusun kreweng itu sebelum bola tenis mengenai tubuh mereka. Begitu kerasnya usaha mereka demi melihat  menara itu kembali kokoh. Saya tak akan melupakan wajah-wajah itu. Dan saya bertekad suatu saat akulah yang akan menyusun kreweng-kreweng itu untuk memberikan kemenangan kepada mereka.
Sungguh luar biasa rasanya, bagaimana rasa sakit ketika terkena pukulan bola dan betapa senangnya ketika kita berhasil menyusun menara itu hingga benar-benar tegak. Seperti sebuah perang. Ada pengorbanan dan tetes darah untuk bisa mendapatkan apa itu kemenangan. Dan saya memahaminya dari sebuah permainan sederhana semasa saya kecil.