Saya ingin menuliskannya lagi, sekali lagi, seperti dulu ketika saya mulai sering menuliskan namamu dalam catatan-catatan kecil buku harian yang selalu saya sembunyikan diam-diam di bawah tempat tidur saya. 

Pagi ini tidak ada embun seperti biasa, pagi ini tidak ada hangat matahari yang selalu menyapa saya lewat celah kecil dalam jendela kamar saya, pun kicauan burung serta sirine kereta yang selalu mengingatkan saya jika fajar mulai menyingsing, lalu perlahan membangunkan saya dengan lembut seolah enggan membuat saya terkejut. Ya, benar. Kau selalu menyapa saya lewat dering sirine kereta yang setiap fajar selalu berbunyi, teratur. Seperti kau paham bahwa saya selalu berkeringat dingin setiap kali merasa ada sesuatu yang mengejutkan hati saya.


“Dering sms-nya jangan diganti,” katamu, dulu. 

Saya tersenyum, tanpa suara. Lantas kau mengelus kepala saya dengan senyum yang tiba-tiba kau kulum, tanganmu bergetar dan terasa dingin setiap kali melakukan itu. Saya bisa merasakannya. Hawa dingin yang kemudian menjalar hebat ke dalam aliran pembuluh saya, lalu membuat saya menggigil secara tiba-tiba. Kau dingin, seperti hujan yang tiba-tiba mengguyur tubuh saya tanpa peringatan terlebih dahulu. Tapi saya selalu menyukainya dan selalu merasa hangat meski setelahnya saya akan demam atau sakit.

Kau selalu melakukan itu, mengelus kepala saya seperti memperlakukan saya sebagai seorang adik yang selalu dan akan terus kau jaga. Kau selalu melakukan itu meski saya sudah memberi peringatan dengan memunculkan rona merah dalam wajah saya. Dan seolah kau tidak pernah peduli dan terus mengelus kepala saya meski saya merasa menggigil tanpa berani menatap wajahmu yang juga berwarna sama. Merah jambu, warna wajah yang saya sukai dan saya selalu suka melihat rona itu muncul tiba-tiba di wajahmu, kemudian saya akan pura-pura memberengut padahal sejujurnya saya telah mencuri wajahmu diam-diam kemudian meletakkannya dalam hati saya, diam-diam.

“Biarkan bunyi kereta ini saja yang menemanimu selama saya tidak ada,” kau tersenyum. Membuyarkan lamunan singkat saya tentang awal perkenalan kita di sebuah stasiun saat sore berembun setelah gerimis menghantarkan bau ampo yang merasuk sampai ke dalam relung-relung syaraf saya. Ah, saya tidak akan pernah lupa seperti apa raut wajah dengan senyum yang tiba-tiba kau kulum itu. Saya tidak akan pernah lupa seperti apa aliran darah yang memacu jantung saya saat pelan kau menjabat tangan saya dengan gelombang listrik yang terasa dingin, menyengat lalu setelahnya kau akan diam tanpa suara. Kemudian gerimis turun lagi menyapa genting-genting stasiun dan pelan kereta dating dengan membawa sirine yang masih sama. Sirine yang selalu ada di dekat saya, bahkan di hati saya.

“Setiap mendengar suara itu, saya selalu ingat pertemuan kita,” katamu, lagi.

Saya masih diam, mengamati ceruk-ceruk wajahmu serta kerutan-kerutan kecil yang mulai samar terlihat. Kerutan yang membuat matamu terasa begitu teduh, seperti mendung yang berhujan. 

Saya selalu tersenyum setiap kali mengingat itu. Ada desir halus yang kemudian merayap ke dalam dada saya, lalu menggigilkan semuanya, membuat saya gemetar lalu menangis sejadi-jadinya.

Lalu, saya terbangun. Benar-benar terbangun. Tidak ada dering sirine kereta api seperti fajar yang sudah-sudah. Tidak ada lagi, tidak pernah ada lagi, entah mulai kapan dan akan berakhir sampai kapan. 

Saya mendekatkan kaki saya ke jendela, menyibak korden berwarna merah marun seperti kelopak-kelopak mawar yang mulai layu di halaman rumah saya. Di sana, saya melihatnya. Butir-butir hujan itu, menempel di kaca jendela, menatap saya. Saya tersenyum, mendekatkan jari-jari saya untuk menyentuh bulir bening itu. Kemudian kaca jendela saya kian mengembun, berwarna pucat, sepucat mendung yang bergelayut lantas menggantungkan hujan yang tak kunjung selesai. 


Madiun, Juli 2011