Minggu, November 24, 2013



Tidak banyak referensi novel thriller yang saya punya karena sejujurnya saya kurang akrab dengan novel sejenis ini (yang belakangan justru membuat candu). Tapi novel ini merupakan pengecualian. Ada tiga elemen yang membuat saya tertarik membeli buku ini. Adalah :


  1.   Judulnya yang membuat saya penasaran dan bertanya-tanya, ‘Seperti apa wujud sunyi yang ingin dibahas penulis dalam buku ini? Dan rahasia apa yang menyelimuti sunyi itu sendiri?' Mengingat saya adalah salah sau penggemar sesuatu yang berhubungan dengan ‘sunyi’. 
  2. Cover novel ini yang adem dan penuh rahasia. Mengingatkan saya pada laut dan langit, dua simbol yang sering saya gunakan untuk mengibaratkan makna ‘sunyi’ dan ‘keluasan tak terhingga’ di dalam kehidupan ini. Yang ternyata juga, dua simbol itu pulalah yang digunakan penulis untuk menamai tokoh dalam novel ini, Lautan Angkasawan.
  3. Ulasan readers yang rata-rata merekomendasikan buku ini.

Dan jadilah novel ini ada di tangan saya sekarang.

--- 
 
Cerita di novel ini berawal dari Lautan Angkasawan, seorang pegawai outsourcing yang tanpa sengaja menabrak mobil Lachlan Fowler, seorang ekspatriat sekaligus pengusaha novelties kaya raya asal Australia yang juga merupakan ayah dari mantan kekasihnya yang telah meninggal dunia, Kirey Fowler.

Menurut analisa polisi, Kirey meninggal akibat kekurangan darah dalam kecelakaan saat berada di Kerinci. Lachlan Fowler tidak puas dengan keterangan versi polisi yang menyebutkan bahwa putrinya meninggal akibat kekurangan darah. Dia merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik kematian Kirey. Untuk itulah, berbekal scrapbook, MP3 Kirey dan laptop Acer Aspire 4741 milik Kirey, Lachlan akhirnya mengutus Lautan menyelidiki kronologi kematian Kirey yang sebenaarnya ke Kerinci.

Jumat, November 22, 2013

Rasanya sudah lama sekali sejak aku dan dia melihat pelangi di langit utara Pogung. Namun, kembali ke kota ini, seperti menyeruakkan semua ingatan tentangnya; tentang janji yang terucap seiring jemari kami bertautan.

Segera setelah semua berakhir, aku pasti akan menghubungimu lagi.
Itulah yang dikatakannya sebelum dia pergi. Dan aku mendekap erat-erat kata-kata itu, menanti dalam harap. Namun, yang datang padaku hanyalah surat-surat tanpa alamat darinya. Kini di tempat yang sama, aku mengurai kembali kenangan-kenangan itu...

 
Judul : Notasi
Penulis : Morra Quatro
Penerbit : Gagas Media, 2013
Harga : Rp. 43.000
Tebal : 294 hlm, 13 x 19 cm
Genre : Fiksi, Romance, Historical

Sabtu, Oktober 26, 2013

Beberapa bulan yang lalu, saat berada dalam gerbong Gayabaru jurusan Jakarta-Surabaya, saya mendapat tempat duduk tepat di samping seorang bergaya nyentrik yang akan melanjutkan perjalanan ke Bali. Dia yang pertama kali membuka percakapan dan ngoceh panjang lebar tapi kami tidak sempat berkenalan. Mungkin melalui sandal gunung yang saya kenakan itulah dia mengetahui bahwa saya suka melakukan perjalanan. Dan dia mulai bertanya pada saya, pertanyaan yang pada akhirnya membuat perjalanan Jakarta-Surabaya itu terasa semakin akrab.

“Suka naik gunung?”

Saya terkejut. Saya jadi ingat niat saya untuk naik gunung saat masih SMA tapi tidak pernah mendapat izin dari orang tua. “Suka, tapi tidak pernah boleh.” Saya jujur. “Suka naik gunung juga?”

“Sudah jadi makanan sehari-hari.”

Dan saya merasa sebangku dengan orang yang tepat. Dia lalu menceritakan pengalamannya mendaki beberapa puncak gunung dan dia bercerita tentang obsesinya mendaki Rinjani. Saya hanya menjadi pendengar yang baik sekaligus membayangkan apa yang dia ceritakan di benak saya. Saat itu saya sedang membaca Catatan Seorang Demonstran, dan dia antusias.

Rabu, Oktober 23, 2013

Belakangan ini saya kehilangan fokus menulis lagi setelah beberapa waktu yang lalu saya berhasil menambah satu halaman lagi dari halaman sebelumnya. Ya, satu halaman yang bagi saya sangat berharga. Satu halaman yang saya tulis dengan mengendapkan draft selama beberapa hari lamanya, bahkan banyak hari hingga saya nyaris lupa akan kemana jalan cerita dari draft yang sedang saya tulis ini.

Saya kehilangan fokus bukan karena pekerjaan saya atau lingkungan saya yang berganti. Saya juga tidak punya alasan untuk menyalahkan kedua situasi rumit itu untuk mencari perlindungan dari waktu yang telah saya tetapkan sendiri dalam menyelesaikan draft yang selama ini telah menyita sebagian isi kepala saya. Tapi saya merasa, saya jauh lebih khawatir daripada sebelumnya. Saya merasa cemas terhadap diri saya sendiri, terhadap tulisan-tulisan saya yang berdampak pada tingkat kepercayaan diri saya yang anjlok secara drastis. Mood saya yang berantakan entah karena apa. Semangat yang menyurut yang membuat saya cepat bosan dengan segala sesuatu. Dan untuk itulah saya lebih suka melamun, mendengarkan lagu atau duduk di depan laptop hanya memandangi beranda yang berisi hal yang sama setiap harinya. Atau jika waktu libur yang berharga itu tiba, saya akan naik kereta. Sekedar naik saja, tidak peduli siapa yang akan saya temui setelah kereta tiba di stasiun tujuan. Saya jenuh luar biasa dan mungkin itulah yang membuat saya terlihat linglung belakangan ini. Saya merasa harus berpindah tapi tidak tahu harus kemana. Saya membutuhkan waktu untuk diri sendiri yang mulai jarang sekali saya dapatkan. Saya seperti terikat oleh sesuatu yang bahkan saya sendiri tidak tahu apa yang tengah mengikat saya. Seperti ada banyak aturan yang membebani kepala saya meski nyatanya tidak seorang pun yang memaksa saya.

Rabu, Oktober 09, 2013

Sepulang kerja, seorang teman (yang sengaja saya sensor namanya dan semoga dia tidak marah :P ) tiba-tiba mengajak saya nonton. Alhasil, setelah molor dari waktu yang telah disepakati karena saya telat, jadilah kita nonton Gravity yang ―menurut teman saya itu―punya treaser keren di Prambors. Dan karena saya jarang nonton dan sudah mulai jadi robot kuper, akhirnya saya ikut saja.

Dibintangi oleh Sandra Bullock dan George Clooney yang sama-sama peraih Oscar, Gravity bercerita tentang Dr. Ryan Stone (Sandra Bullock) dan astronot berpengalaman Matt Kowalski (George Clooney) yang memiliki misi untuk NASA yaitu memasang prototipe (semacam software) pada sebuah satelit luar angkasa Amerika. Namun, saat sedang menjalankan misi tersebut, sebuah satelit milik Rusia meledak dan membuat pesawat Explorer mereka hancur karena terkena gumpalan-gumpalan satelit berkecepatan tinggi. Kecelakaan itu tak pelak membuat Dr. Stone terlempar jauh keluar orbit bumi dengan oksigen yang terbatas. Dan dengan harapan yang nyaris putus saat itu juga, Matt berhasil menemukannya dalam keadaan oksigen yang menipis. Tidak mau  mengundur lagi agenda kepulangan yang sempat tertunda itu, mereka memutuskan untuk pergi mencari kru luar angasa NASA untuk pulang ke bumi, namun nihil. Muncul harapan saat mereka melihat stasiun luar angkasa Cina yang tidak hancur. Di sinilah drama masa lalu itu terjadi. Dalam perjalanan menggunakan jet menuju stasiun transmisi Cina, mereka berdua bercerita perihal masa lalu. Dr. Stone yang mengalami trauma pasca kehilangan putrinya, memutuskan untuk pergi ke luar angkasa demi mencari keheningan. Sementara Matt sangat merindukan keluarganya saat berada di luar angkasa. Percakapan itu tidak berlangsung lama sebab persedian oksigen yang dimiliki Dr. Stone menurun drastis. Saat mulai mendekati stasiun itu lagi-lagi, kecelakaan menimpa mereka dan membuat Dr. Stone dan Matt akhirnya terpisah.  

Lalu, apa mereka bisa kembali lagi ke bumi dalam kondisi selamat?

Let's check the trailer 



Minggu, September 22, 2013

Setelah kurang lebih dua tahun menghuni kost yang lama, saya akhirnya memutuskan pindah pada Jumat malam kemarin. Betapa tidak biasa meninggalkan segala rutinitas yang selama dua tahun itu tidak pernah berubah, untuk menjalani rutinitas baru dengan lingkungan yang baru pula. Maklum, saya adalah tipe yang tidak menyukai jenis adaptasi apapun. Jika boleh memilih, maka saya ingin pindah ke tempat yang tidak usah mengharuskan seseorang beradaptasi. Tapi, jelas itu tidak mungkin. Sebab saya tercipta sebagai makhluk sosial, bekerja di lingkungan sosial, meskipun nyatanya saya mengidap gejala antisosial.

Akan saya ceritakan sedikit.

Kamis, Agustus 08, 2013

Andhini
oleh : Eros Rosita





Langit kelabu dan hujan belum turun saat wanita itu memutuskan untuk tetap tinggal dan menikmati beberapa sesapan kopi hasil buatan lelaki berambut gondrong itu. Namanya Wugi, penghuni masa lalu yang tiba-tiba menyelinap kembali ke dalam masa depan wanita itu. Di ujung malam, saat wanita itu masih sibuk dengan lembaran-lembaran kertas di meja kerja, Wugi memberanikan diri menelpon wanita itu dan menyuruhnya datang setelah sekian lama mereka tidak bertemu.

Wanita itu bernama Andhini. Berambut panjang lurus yang tergerai dan berkulit pucat seperti bulan yang muncul di tengah sinar matahari pagi. Saat Andhini datang, tidak ada yang berubah dari apa yang terakhir kali dia lihat. Lima tahun lalu. Meja bundar terbuat dari kayu jati berukiran sayap malaikat masih berada di sudut ruangan di dekat jendela lebar berkorden abu-abu kusam. Meja itu memang sengaja diletakkan di sudut itu karena Wugi tahu, Andhini menyukai senja. Dan Wugi tahu Andhini suka duduk berlama-lama di situ hanya untuk menikmati senja yang tenggelam saat jam pelan merangkak tepat pukul lima empat lima.

"Ada apa kau menyuruhku datang, Wugi? Apa ada sesuatu yang ingin kau bicarakan denganku?" Andhini membiarkan asap kopi mencumbu hidungnya yang mancung dan bertulang tegas. Sudah lama dia tidak mengirup kopi buatan Wugi yang telah menjadi favoritnya.

Rabu, Juli 31, 2013

Saat aroma kopi itu menjauh,
kusadari bahwa kau
tak mungkin kutemui lagi.
Seperti aromamu yang terempas
oleh butir udara,
meninggalkanku dalam sunyi
yang dingin.


Sampai kusadari kau hadir,
menyergapku dalam diam,
mengembalikanku dalam kenangan.
Dan, menabur aroma yang sama
dengan apa yang telah kutinggalkan.
Ketika itulah aku pahami,
aku tak mungkin berpaling lagi.


Judul : The Coffee Memory, Ketika Aroma Cintamu Menyergapku
Penulis : Riawani Elyta
Penerbit : Bentang Pustaka (Pustaka Populer)
ISBN : 978-602-7888-20-3
Harga : Rp39.000,-

Kamis, Juli 25, 2013

Dari Barcelona, niat saya berkunjung ke Paris harus tertunda. Dan akhirnya saya memutuskan untuk mengunjungi London terlebih dulu bersama Gilang. Next destination menyusul ya :D

Setelah mengetahui bahwa Mbak Windry terlibat dalam proyek STPC yang digagas oleh Bukune dan Gagas Media, tidak butuh waktu lama bagi saya untuk membeli buku ini. Dan hasilnya, saya selesai membacanya dalam waktu yang relatif singkat.

Buku ini bercerita tentang Gilang, seorang editor yang merangkap sebagai penulis susah fokus, yang lebih dari enam tahun memendam perasaan pada sahabatnya sendiri, Ning, yang memutuskan melanjutkan pendidikan di Royal College of Art London. Ide gila itu bermula saat acara malam minggu di Bureau, secara spontan Gilang memutuskan untuk mengejar Ning ke London. Dan niat itu disambut baik oleh teman-temannya. Alhasil, setelah mengambil cuti selama delapan hari, dan mengurus semua perlengkapan, jadilah Gilang pergi ke kota itu.

Sesampainya di London, bukan bertemu Ning, Gilang justru bertemu dengan Goldilocks di London Eye, gadis berpayung merah yang berambut keemasan, yang misterius karena muncul saat hujan turun dan pergi di saat hujan reda. Sejak peristiwa di London Eye bersama Goldilocks dan sejak Goldilocks meninggalkan payung merah itu untuk Gilang, Gilang seolah selalu terhubung dengan gadis kaukasoid itu. Payung merahnya seolah memiliki daya magis yang luar biasa. Dimulai dari kisah V, lelaki berdagu mirip topeng Guy Fawkes yang memiliki masalah dengan mantan istrinya, Madam Ellis dan Mr. Lowesly yang memiliki kisah masa lalu rumit, hingga menyangkut Ning dan semua harapan juga perjuangan yang selama ini Gilang taruhkan.

Tidak seperti Memori yang menurut saya suram dan tenang, tidak juga seperti Montase yang menurut saya lincah dan ringan. London sama sekali berbeda. London justru lebih ‘nakal’ dan menggelitik. Di dalam novel London, saya menemukan banyak frame cerita yang memiliki penyelesaian sendiri-sendiri dan kembali pada muara yang sama, cinta. Saya jadi ingat salah satu pepatah Kafka yang berbunyi, ‘cinta itu ibarat mobil, ia tidaklah rumit. Yang menjadi persoalan hanyalah sopir, penumpang dan jalannya.’ Saya sepakat dengan itu. Ya, jauh sebelum kita lahir, Tuhan sudah menciptakan cinta menurut porsinya masing-masing. Yang menjadikannya rumit adalah jalan kita akan melabuhkan cinta itu, mengingat setiap orang tentu memiliki jalan cinta yang berbeda satu sama lain. Tidak semuanya menemukan kesedihan, tidak pula kebahagiaan. Dan di Novel ini saya merangkumnya menjadi sebuah kisah cinta yang utuh. Cinta yang meluaskan, cinta yang membebaskan, dalam lingkup yang sebenarnya.

Kau tidak belajar mencintai. Kau mencintai dengan sendirinya. (hlm. 297)

Barangkali klise, tapi manusia tidak lebih hanyalah lakon dalam sebuah pementasan. Manusia hanya bisa menerima. Termasuk pada cinta yang terkadang muncul secara tak terduga, cinta yang bersifat mutlak. Tidak seorang pun bisa menolaknya, bukan? Lantas pada akhirnya, manusia pun menerima meski terkadang cinta itu kerapkali menyisakan luka.

Siapa yang tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengobati luka hati? (hlm. 310)

Hal inilah yang mungkin sedang dialami Gilang. Jika dia bisa memilih, barangkali dia akan memilih untuk tidak mencintai Ning. Jika dia tahu bahwa dia akan terluka, barangkali dia akan memilih untuk tidak mencintai Ning.

Kalau saja kita jadi anak-anak selamanya, situasi rumit ini tidak akan pernah ada. (hlm. 295)

Barangkali, inilah yang dimaksud Kafka sebagai persoalan rumit.

Perihal cinta yang memiliki jalan sendiri-sendiri itulah awal saya mengalami sedikit kesulitan menemukan fokus dari cerita di novel ini. Tapi setelah mendekati ending, barulah saya mengerti. Dan barangkali saja, itu sebabnya novel ini mengambil tagline Angel. Sebab sebenarnya, itulah benang merah ceritanya. Cinta dan malaikat, sesuatu yang menarik untuk diperbincangkan.

“Tahukah kau apa yang turun bersama hujan?”
Aku menggeleng.
“Malaikat,” kata lelaki itu. Suaranya berubah pelan, seolah-olah dia sedang membisikkan rahasia kepadaku. (hlm. 126)

Bersama malaikat hujan lah, London akhirnya membuat saya jatuh cinta pada Gilang. Seperti biasa, dengan kekuatan detil cerita, mbak Windry selalu bisa menciptakan plot yang enak dibaca. Konflik yang pas, informasi yang tidak menggurui. Dibumbui setting London dan hujan di bulan September, bau daun kering dan sebagainya, novel ini romantis tanpa harus menggunakan banyak kata picisan yang terkesan mendayu-dayu, ataupun kontak fisik antartokoh ala harlequin yang menjadi prioritas.

Well, di dalam novel ini saya belajar banyak hal. Terlebih tentang sesuatu yang memang harus diperjuangkan, apapun itu. Dan sepahit apapun itu, perjuangan pasti tidak akan pernah berakhir sia-sia. J

Menunggu cinta bukan sesuatu yang sia-sia, menunggu seseorang yang tidak mungkin kembali, itu baru sia-sia (hlm. 247)





Judul : London : Angel
Penulis : Windry Ramadhina
Penerbit : Gagas Media
Cetakan Pertama : Juli 2013
Ukuran : 13 x 19 cm
Tebal : 340 hlm
ISBN : 979-780-653-7
Price : Rp. 52. 000,-




Jakarta, Juli 2013
Pagi hari. Selepas hujan di pertengahan bulan September. Untuk pertama kalinya aku menerima sebuah surat dan sebuah kartu pos dari London. Surat itu dikirimkan oleh seorang yang tidak sengaja kukenal lewat dunia maya yang lantas kutemui beberapa waktu lalu. Namanya Gilang. 

Akan kuceritakan sedikit.

Gilang, yeah, lelaki maniak Fitzgerald itu kukenal lewat akun fanpage yang sama di Facebook. Memakai foto profil penulis itu dan secara tidak sengaja dia mengirimiku pesan singkat yang memberitahukan bahwa dia mempunyai buku Orwell yang selamaini kucari-cari. Entah aku yang sinting, atau dia yang gila. Aku mencari buku Orwell di fanpage Fitzgerald dan menemukan satu alien terdampar di inbox-ku dan alien itu menanggapi permintaanku di sebuah komentar yang sengaja kutinggalkan. Parahnya, dengan mengatasnamakan Orwell, alien itu mengajakku bertemu di Galeri Nasional di kawasan Gambir. Demi Orwell dan―kurasa aku harus meminta maaf pada Orwell, baru kali ini aku bertemu seorang maniak sastra di galeri seni rupa. Ini tidak lucu, kecuali jika dia juga pengagum berat Piccaso atau Monet atau Dali atau sederetan nama pelukis beraliran abstrak dan surealis yang sama sekali tidak kumengerti.

Rabu, Juli 24, 2013

Minggu ini banyak penghuni baru yang datang ke kost, dan saya gembira :D

Beberapa hari yang lalu, saya mendapat kiriman dari Jojo. Berisi dua buah buku Kiera Cass versi terjemahan yang sempat dia ceritakan kepada saya. Liburan kemarin saya memutuskan pergi ke sebuah lapak komik bekas di kawasan Blok M dan memutuskan untuk membeli beberapa komik, beberapa yang saya beli adalah komik lama yang sudah pernah saya baca sewaktu kecil dan beberapa komik terbitan baru. Meski bekas tapi masih memiliki kondisi yang lumayan dan yang penting murah :P. Dan di sana juga, secara tidak sengaja, saya menemukan Salju Kilimanjaro-nya Hemingway yang sudah lama saya cari, yay! :D Bapak yang jualnya baik, di tempat itu juga saya menemukan Cleopatra :D

Dan kegembiraan saya bertambah lagi, ketika saya (kembali) mendapat paket dari sebuah toko buku online, berisi sebuah novel terbaru Mbak Windry, London, dan novel Rahasia Sunyi Mas Anindito. :D

Karena belakangan ini saya kepayahan dan lumayan stress sama kerjaan, saya tidak tahu kapan buku-buku itu kelar saya baca (mengingat banyak sekali list buku lama yang belum tersentuh) <~ mendadak sok sibuk L. Tapi saya masih sempat membaca komik ketika mau tidur dengan harapan bisa memimpikan salah satu tokoh di dalam komik itu, karena komik lebih ringan dari novel. Dan, belakangan ini saya jatuh cinta sama salah satu tokoh komik yang saya baca lho. Lebih tepatnya, saya kembali jatuh cinta pada tokoh komik. Saya memang gampang sekali menyukai tokoh di dalam komik atau buku yang saya baca dan parahnya mereka itu menjadi pemicu galau berhari-hari, halah! :D

Barangkali menyedihkan ya, tapi bagi saya itu menggembirakan sekali, hahaha. Saat saya sedang jenuh dengan kehidupan di dunia nyata, saya justru menemukan dunia saya di dalam buku, di dalam dunia imajinasi yang bahkan tidak semua orang mengetahuinya. Saya seolah tersesat ke dalam dunia saya sendiri. Dan di dunia itu, saya berdialog bersama tokoh-tokoh rekaan yang bahkan sama sekali tidak ada di dunia nyata (jadi curcol ya). Itulah kenapa saya betah berlama-lama di lapak komik bekas (semoga bapak yang jual komiknya gak keberatan saya lama-lama di situ :P), atau di perpustakaan, atau di toko buku. Melihat komik-komik dan buku-buku berjejer di rak-rak, membuat mata saya berubah menjadi hijau $_$ Ini sama menggembirakannya ketika saya melihat kereta *beda fokus*

Teman dan saudara saya bilang, saya aneh (ini bukan bermaksud memuji diri sendiri lho :P). Hahaha, saya nggak peduli. Yang terpenting, saya merasa bebas di dunia ‘aneh’ itu dan, saya enggan keluar. J Bagi saya, dunia itulah yang bisa menerima saya apa adanya. saya bebas berekspresi sesuka hati saya tanpa ada seorang pun yang protes (Contohnya : Tokoh-tokoh yang saya ciptakan tidak pernah protes ketika saya siksa dia) hahaha, <~ yang ini jangan dicontoh xD

Barangkali teman-teman saya berpikir saya sudah mulai gila ya, hahaha. :D. 

Tidak masalah, yang penting saya gembira sekali. :D

Dan dengan kedatangan 'tamu baru' itu, otomatis saya harus pintar menyisihkan waktu untuk membaca (jangan malah online mulu :P). Saya berdoa, semoga mereka cocok dengan saya ya, mengingat saya susah sekali cocok dengan gaya bercerita yang 'nggak saya banget' :)).





Dan kalau misal ada yang tanya, "Sebenarnya inti dari postingan ini apa?"
Saya akan jawab. "Nggak ada." Hahaha :P
P.S : Judulnya aja agak nggak nyambung sama isinya, hahaha :P


Jakarta, Juli 2013

Jumat, Juli 19, 2013

Gambar pinjam dari sini


Hai kau, apa kabar? Lama tidak bertemu.

Kau sibuk apa sekarang? Masih sering berkunjung ke perpustakaan?

Belakangan ini aku sibuk dengan tugas kuliah, serta tumpukan laporan toko yang membuatku harus begadang tiap malam. Oh ya, belum kuperkenalkan ya. Selain kuliah, aku juga mulai bekerja part time di sebuah toko handicraft yang mengkhususkan pada teknik menyulam. Aku menyukai pekerjaan itu, karena membuatku terlihat menjadi seperti wanita di komik-komik. (Mungkin kau jadi berpikir ya, kalau otakku dipenuhi komik. Hahaha.)

Minggu, Juli 07, 2013



Lalalala, saya punya hobi baru :D dan hobi baru itu adalah gambar sketsa wajah teman-teman saya, yay! :D Hobi ini bermula dari keisengan saya, tapi lama-lama menyenangkan juga :D
Ini beberapa sketsa foto teman yang sudah menjadi korban saya :D


Ini adalah sketsa Diego :D
Yang ini sketsa Jojo :D

Kalau yang ini sketsanya Mas Ang :D

Dan yang ini sketsanya Om Saman :D
Makasih banyak buat teman-teman di atas yang fotonya boleh saya jadikan korban keisengan saya. :P


Jakarta, July 2013

Sudah nyaris pagi dan saya belum bisa tidur.

Saya merasa inilah titik kejenuhan saya. Kejenuhan pada segala yang ada di sekitar saya. Teman-teman saya, pekerjaan saya, bahkan hobi menulis saya yang sangat saya sukai. Apa yang membuat saya seperti itu? Saya tidak tahu.

Ini bukan masalah yang besar tapi sempat membuat saya skeptis luar biasa. Tentunya saya tidak berhak menghakimi segala hal yang berjalan di sekitar saya karena itu berarti saya juga menyalahkan Sang Pemberi Hidup ini.
Ini surat pertamaku.

Hei, kau, apa kau pernah merasa jatuh cinta? Kupikir jatuh cinta itu hanya bisa dialami oleh gadis-gadis di manga yang kubaca. Tapi ternyata aku salah.

*

Untuk sampai ke Perpustakaan Nasional, aku harus menempuh perjalanan sekitar 45 menit menggunakan bus kota. Awalnya aku hanya mengunjungi perpustakaan itu di akhir pekan jika bahan bacaanku telah habis kubaca. Tapi belakangan ini, intensitasku mengunjungi perpustakaan menjadi lebih sering dibanding biasanya. Dan itu karena..., kau. Ya, kau.

gambar pinjam di sini

Jumat, Mei 17, 2013

Entah kenapa langit selalu memberikan keteduhan tersendiri. Dan ini adalah beberapa spot yang saya ambil dari kamar kost saya.  Saya menyebutnya 'Negeri di Atas Awan'.

Kamis, Mei 16, 2013

Beberapa waktu yang lalu sekembalinya saya dari Surabaya, saya sempat mampir ke Kota Tua. Kereta saya sampai di stasiun Kota sekitar pukul 3 pagi dan jasa busway baru buka sekitar pukul 5 pagi. Well, karena jenuh ahirnya saya nekat jalan sendirian ke Fatahillah pukul 3 pagi. Hahaha. (Saat itu saya seperti seorang gadis autis yang tersesat di negeri asing). Suasana Kota Tua menjelang subuh masih lumayan rame. Hanya tersisa pedagang-pedagang yang mulai menggulung tikar mereka, juga sekumpulan anak muda yang masih menikmati kopi ataupun bersepeda di depan Museum Fatahillah. Tidak mau kesepian, akhirnya saya ikut memesan kopi dan menikmatinya sambil mengagumi arsitektur peninggalan Belanda yang masih tersisa. :D
Setelah kopi saya habis, saya kembali mengelilingi kota eksotis itu setelah sekian lama memendam hasrat untuk kesana. :D

Dan ini adalah beberapa foto yang sempat saya abadikan :)

Ini adalah gambar pohon yang ada di depan Museum Fatahillah. Kalau malam, pohon ini akan penuh lampu warna-warni yang indah :D

Selasa, April 09, 2013

Yay, hari ini saya senang sekali. Paketan dari Mama Alin sudah datang :D
Padahal baru beberapa bulan yang lalu dikabarin kalau novel ini diterima oleh penerbit. Rasanya senang, karena ada nama saya di novel itu, heuheuheu!
Senang rasanya melihat novel-novel teman saya mulai muncul satu persatu :D
Saya jadi termotivasi untuk menyelesaikan draft saya yang sudah berkarat sekian lama itu. Selamat atas keluncuran novelnya ya Ma, semoga kita bisa saling menyemangati :)



Jakarta, Awal April 2013

Selasa, Maret 05, 2013





“Sita! Sini! Ngapain kau di situ?” Anak laki-laki itu melambaikan tangan kepada anak perempuan yang masih diam mengamati perahu kertas mengambang di tengah sungai kecil sebuah pematang sawah.
Di tangan anak laki-laki itu sebuah layang-layang lengkap dengan gulungan benang menunggu untuk diterbangkan. Tapi, niat menerbangkan layang-layang di sebuah lapangan di dekat sawah diurungkannya. Anak laki-laki itu memilih duduk di sebuah gubug reot, menunggu kereta api pukul lima sore melintas di sana.
“Tapi perahuku sebentar lagi sampai finish,” seru anak perempuan itu. Rambutnya tergerai sebatas bahu dengan japit berbentuk boneka yang tersemat menyamping di atas telinga.