Parni

Oleh : Amerul Rizki dan Eros Rosita

 

Semula, mereka adalah makhluk mengerikan bermata sipit yang ujungnya naik ke atas. Berdahi lebar dan terjal oleh kerutan. Terkadang bersuara petir, bahkan saat tengah malam buta. Kenapa? Paling-paling karena gadis itu tiba-tiba terbangun, lalu membuka pintu ajaib kemana saja yang akan membawanya pergi dari kandang pengap bacin itu.
Tapi kali ini, mereka berubah wujud menjadi makhluk sejuk. Meski redup, tapi tak tampak adanya makhluk mengerikan yang pernah tinggal dalam mata mereka. Sebabnya apa? Gadis itu tidak tahu. Yang ia tahu, mereka berubah setelah melihat perutnya.

“Siapa yang melakukan ini padamu?” tanya Mboke. Ada yang jatuh berkilau dari matanya.
Gadis itu menggeleng. Melakukan apa?
13077163111061557932
Lalu beberapa hari setelahnya, ia melihat seekor anjing ber-make up biru tebal dengan sedikit benjolan di wajahnya. Matanya jalang semerah darah, lidahnya menjulur meneteskan air liur menjijikkan. Setidaknya, itu yang dulu ia lihat saat anjing itu menyeretnya ke tengah sawah yang sepi, setelah sebelumnya memberinya sepotong kue kecut yang banyak jamurnya. Yang ia ingat, ia menangis kala itu. Ada rasa sakit yang menjalar hebat. Setelahnya, anjing itu meninggalkannya di gubuk reot tengah sawah.
Tapi, itu sudah lama. Rasa sakit itu tak mampu ia ceritakan pada Mboke. Dan sejak itu, ia merasakan sesuatu merasuki tubuhnya. Ada yang bergerak-gerak. Ketika malam tiba, ia sering melihat gradasi warna indah di luar jendela kamarnya. Seperti serbuk-serbuk peri yang sering diceritakan guru-gurunya di sekolah. Lalu hadir sketsa abstrak yang entah. Ia lalu mendengar tawa. Lucu sekali.
Ia ingin keluar, mengambil serbuk-serbuk warna yang berterbangan di halaman rumah. Ia berlari sambil tertawa, sebab tawa dari warna-warna itu begitu menggemaskan.
Tapi, Mbak Karni selalu menyuarakan petirnya jika mendengar gedebug langkah dan riang tawanya.
“Parniiiiii!! Diaaaammm!!! Ini sudah malam!!”
Lalu Mbak Karni akan mencengkeram lengannya dengan keras, membawanya masuk ke dalam kandang pengap, lagi bacin oleh aroma sprei yang jarang dicuci.
Sejak ia sering melihat serbuk-serbuk dengan gradasi warna menawan itulah, orang-orang di kandang sempit itu berteriak-teriak, memarahinya, lalu menyeretnya masuk. Ia bisa apa? Hanya menurut dan diam menggigit kesal.
Lama kelamaan, sebuah gambar muncul ketika ia intip cahaya berwarna itu. Bentuknya bukan lagi berupa serbuk-serbuk, tapi mulai menyerupai asap yang indah. Asap yang berputar-putar di sisi jendela kecilnya. Ia melebarkan senyum. Tiba-tiba, asap itu masuk dari celah-celah di dinding gedheg rumahnya. Menari-nari di depannya.
Kali ini, Parni bisa melihat sesuatu yang samar. Sketsa boneka. Lucu sekali. Ia mengelilingi Parni, mengusap-usap perutnya. Hangat. Seperti saat Mboke mengolesi badannya dengan minyak tawon ataupun balsem.
Pelan, asap yang berpendar itu hilang dari pandangannya. Ia merasa geli luar biasa, ketika asap itu berusaha masuk ke perut melalui pusarnya. Sejak itu, seperti ada sesuatu yang tumbuh dalam tubuhnya. Sesuatu yang membesar.
***
“Dia yang sudah memperkosa kamu kan?” tanya Kang Kardi dengan matanya yang menyala.
Ia pandangi wajah anjing ber-make up biru tebal itu, yang kini dihiasi pula dengan saus-saus merah di kepala. Memperkosa? Apa itu?
“Parni, jawab Mboke, apa kamu pernah di…”
Mata gadis itu membesar. Takut. Pertanyaan Mboke memaksanya mengangguk. Ia kembali harus memutar air liur anjing itu, hingga tampak jelas rekaman peristiwa di gubuk tengah sawah itu. Jadi… ia diperkosa???
“Haaaaaaaaaaa…” Parni mengerang. Menangis. Ia tidak tahu apa itu diperkosa. Ia hanya ingat, bahwa ia merasakan sakit luar biasa di sekujur tubuhnya ketika dulu hal itu terjadi.
Kang Kardi kembali memukuli kepala anjing itu tepat di depan matanya.
“Bajingan! Bangsat kamu! Apa istimewanya anak dua belas tahun yang bisu, idiot pula seperti dia!? Kenapa harus adikku??” mata Kang Kardi menyala-nyala.
Apa? Apa? Ia tidak mau mendengar lagi. Ia berlari masuk. Tiba-tiba ia merasa takut luar biasa. Ia tutup telinganya. Bisu? Itu kata-kata paling mengerikan yang pernah ia dengar, kata-kata yang membuatnya menggigil. Aku… aku tidak bisu!!
***
Mboke membelai rambutnya yang kini kusut, setelah seminggu ia tidak mau mandi, tidak mau melakukan apa pun selain duduk memeluk lutut di sudut ruang, bersandar pada dipan reot yang kakinya tinggal tiga.
13077166011190458189Ia gigit-gigit ibu jarinya. Kata Mboke, ia sedang hamil, ada manusia dalam perutnya. Dan jika manusia mungil itu lahir, itu adalah adiknya. Manusia? Di perutnya? Benarkah itu manusia?
Itu pasti bukan manusia!
Sebab ia ingat! Yang pernah memasuki perutnya hanya satu: asap warna warni dengan sketsa wajah boneka! Boneka itu…, wajahnya mirip anjing berlidah api dengan air liur menjijikkan yang menetes-netes, yang kemarin mendapat bogem mentah dari Kang Kardi, yang kini mungkin sedang meringkuk kedinginan di lantai sebuah kandang besi. Parni lupa seperti apa wajah anjing itu.
Saat malam tiba, gadis itu menangis. Memohon-mohon pada apa yang disebut Tuhan oleh guru-gurunya di SLB. Ia sangat meminta, agar asap warna-warni itu secepatnya bisa keluar dari perutnya. Sebab gara-gara itu, perutnya semakin besar! Ia tidak tahan.
“Kumohon… Keluarlah… Aku tidak mau punya adik yang mirip anjing…” rengeknya. Lihat! Ia tidak bisu kan? Ia bisa bicara. Bicara, meski tak ada orang yang paham selain dirinya.
Ia remas-remas perutnya. Ia pukul-pukul. Dia harus keluar… dia harus keluar!
“Parni, apa yang kamu lakukan?” Mboke mencengkeram tangannya.
***
Sebentar lagi magrib, namun gadis itu masih duduk di tepian kali, memandangi warna air yang semakin butheg dari hari ke hari sambil mengusap-usap perutnya yang kian buncit. Angin semilir melambaikan anak-anak rambutnya. Pipinya basah, penuh lelehan kecil dari matanya.
Auwh! Perutnya mulas. Apa asap dalam perutnya akan segera pergi? Jika iya, Parni sudah punya rencana. Ia meringis.
***
Hening. Suara jangkrik dan kodok bersahut dari ujung sawah berair butheg. Bulan melengkung sempurna saat Parni membuka matanya. Rasa mulas itu belum mau enyah, jantungnya bergetar. Serpihan warna dalam perutnya menguar, lembut mencium keningnya. Membangunkannya dari dimensi lain yang dipenuhi beraneka spektrum pelangi yang mengkilat. Muka-muka polos yang tertawa dan bermain bersamanya. Tidak ada anjing yang akan merobek kulitnya atau mengambil jantungnya seperti waktu itu.
Ia meremas lagi perutnya yang sakit. Ujung roknya basah oleh merah yang berubah coklat karena bulan sabit. Tangannya bergetar meraba merah itu. Ia menciumnya dengan perasaan campur aduk. Dan bau bacin itu… ia benci bau itu!
“Apa yang terjadi?” sekali lagi, suaranya hanya mampu ia dengar sendiri.
Kepalanya berat. Parni merasakan sesuatu mencekiknya hingga ia merasa sesak menjalari dadanya. Perlahan, pendar-pendar cahaya yang selama ini ia anggap indah, menyeretnya dalam pekat. Ia merasakan sakit itu seorang diri. Merasakan bahwa dunia telah menghimpitnya, menghakiminya. Dan tidak ada seorang pun yang memedulikannya.
“Parniiiiiiiiii! Apa yang kamu lakukan?” Lagi-lagi suara Mboke menyadarkan lamunannya. Dan ia lupa seperti apa wajah Mboke saat berlari ke arahnya dengan ujung jarik basah karena air sawah.
***
“Lihatlah Parni, lucu sekali dia.” Mboke sumringah, meski wajahnya kuyu dipenuhi titik-titik bening. Di samping Mboke, seorang tua yang belum pernah dikenalnya serta Mbak Karni yang wajahnya segarang nenek sihir ikut melumerkan senyumnya.
Parni mengerjapkan matanya, merasakan perasaan aneh membuncah dalam dadanya. Ia melirik boneka yang dikerudung jarik berwarna merah di tangan Mboke. Parni benci warna merah dan ia meronta seperti orang kesurupan.
Ia ingat, cahaya indah dalam pekat itu menyeretnya kembali bertemu dengan anjing yang pernah diberikan bogem oleh Kang Kardi, di sebuah jalan setapak menuju sawah. Mata Kang Kardi yang semula berwarna hitam berubah menjadi merah yang ia benci. Mata itu perlahan menghilang setelah meninggalkan rasa sakit juga cahaya gelap yang kemudian menjelma menjadi pendar warna-warni, merasuk ke dalam perutnya hingga perutnya membesar seperti bola yang menyakitkan. Mata itulah yang membuat rasa sakitnya tetap ada hingga sekarang. Semua bayangan itu berkelebat, berganti-ganti, berputar-putar, membuat kepalanya seberat batu. Lalu ia tidak ingat lagi sampai Kang Kardi menghapus air yang melumer di sudut bibirnya.
“Ini anakmu, Parni. Lihatlah, lucu sekali.” Suara Mboke menyadarkan mimpi-mimpi yang sempat berkelebat itu.
Pendar cahaya itu memancarkan warna pelangi. Di tengah cahaya itu bukanlah boneka berkepala anjing yang selama ini menghantuinya, melainkan sebuah boneka cantik bermata hitam yang dikerudung jarik merah.
Ia memutar matanya, menelusuri seluruh ruangan berbau bacin dan pengap itu. Di dekat pintu, Parni melihatnya. Wajahnya garang, ia terus menuding mata itu seperti orang kesurupan. Lalu secara bergantian, orang-orang mulai mencengkeram tangannya serta tubuhnya. Parni semakin tak terkendali, wajahnya basah, peluh-peluh telah memenuhi wajahnya dan masuk ke dalam matanya yang berubah merah.
“Anjing!!!” Suara itu tertahan di lubuk hatinya.
Ia ingat bahwa Kang Kardi pernah memberikan hadiah spesial pada wajah anjing yang tidak pernah menyentuhnya sekalipun. Mata Kang Kardi yang terlanjur memerah seperti seekor anjing yang siap menerkamnya kapan saja, anjing yang membuatnya tidak punya pilihan selain menjawab pertanyaan Mboke dengan anggukan. Ia ketakutan.
Parni tersungkur. Seutas jarik melilit tubuhnya. Ia terus menuding mata yang telah memenjarakan tubuhnya dengan kasar, seperti di sawah itu. Parni ingat semua rasa sakit dan semua yang menyesakkan itu. Ia meronta tanpa bicara, seorang diri.
Angin telah panas sejak beberapa jam yang lalu. Kang Kardi membopongnya kembali ke kasur bersprei bacin itu sebelum berlalu keluar, setelah sebelumnya meninggalkan jejak paling beku yang masih membekas di dalam mata Parni. Jejak yang berwarna merah seperti darah.
Mboke masih menatap wajah boneka yang ada di tangannya dengan tatapan menyejukkan. Ia mengelus dahi gadis itu, mengalirkan energi yang hangat dari matanya yang sayu. “Lihatlah Parni, mata anak ini mirip mata Kardi,” kata Mboke sebelum semuanya berubah hening.

Ngawi – Madiun, Juni 2011

Cerpen partisipan dalam event Malam Prosa Kolaborasi Kompasiana 10 Juni 2011