Saya yakin Anda pasti pernah mendengar lantunan Moonlight Sonata karya Beethoven atau Requiem karya Mozart, secara tidak sengaja maupun sengaja. Bagaimana keindahan sonata-sonata itu menghipnotis telinga kita semua. Ya, Wina. Dua komponis itu tak pernah lepas dari kota Wina, kota yang terkenal sebagai kota musik klasik, kota yang mampu melahirkan maestro-maestro musik klasik di seluruh dunia.
Lalu bagaimana jika pasangan Anda menawarkan liburan ke Wina? Buku Till We Meet Again yang ditulis oleh Yoana Dianika ini akan menjawab seluruh rasa penasaran Anda.
Berbicara tentang Wina, musik klasik, dan percintaan yang sederhana. Saya kira belum banyak penulis yang memasukkan satu paket komplit itu ke dalam bukunya. Dan saya menemukan sepaket komplit menu hangat itu dalam buku terbaru Yoana Dianika: Till We Meet Again.
Terlepas dari banyaknya kesalahan ketik di novel ini, melalui tokoh Elena yang ceroboh, Christian yang supel, Häns yang kalem, Kimiko yang cerewet, Dupont yang modis, dan Jessica yang arogan, Yoana mampu melukiskan keindahankota Wina itu secara detail. Menggambarkan karakter-karakter yang kental, bahkan saya sempat jatuh cinta dengan Christian yang berkacamata. Dia bisa melukiskan bagaimana suasana musim gugur di sana , bagaimana arsitektur bangunan-bangunan klasik di sana , bagaimana konser musik di sana . Saya tidak meragukan lagi setting yang benar-benar real itu. Keromantisan yang tidak dibuat-buat dan seolah benar-benar terjadi dan dialami oleh penulisnya. Dia bisa membawa saya bertamasya ke Wina dengan novelnya. Tapi karena novel ini murni fresh, ringan dan tidak menggurui. Dan romantis tentu saja.
Terlepas dari banyaknya kesalahan ketik di novel ini, melalui tokoh Elena yang ceroboh, Christian yang supel, Häns yang kalem, Kimiko yang cerewet, Dupont yang modis, dan Jessica yang arogan, Yoana mampu melukiskan keindahan
Novel Till We Meet Again ini simple sebenarnya, bercerita tentang cinta masa kecil yang kembali menyatu di Wina. Bahkan kebanyakan novel roman metropop hampir mayoritas memiliki cerita yang nyaris sama, yang membedakan adalah cara penulis menuturkan kronologi-kronologi di dalamnya hingga membentuk sebuah jalinan cerita yang utuh dan tidak melompat-lompat. Bagaimana si penulis dengan cerdasnya membungkus konflik menjadi sebuah plot yang tidak membosankan dan senantiasa membuat saya enggan menutup lembaran demi lembaran halaman sebelum usai membacanya. Kisah ini dimulai saat Elena yang berdarah Austria-Indonesia itu menjatuhkan liontin peninggalan mendiang ibunya di Wina. Elena mencari-mencari liontin itu dengan wajah panik kemudian bertemu dengan anak laki-laki bermata abu-abu yang ternyata membekas dalam ingatannya sampai ia beranjak dewasa. Elena belum mengetahui nama anak laki-laki itu hingga ayahnya mengajaknya pindah ke Bandung dengan harapan bisa mengubur semua kenangan dari mendiang mamanya. Namun cita-cita Elena yang ingin menjadi seorang maestro musik klasik seperti mamanya itulah yang pada akhirnya membawa Elena kembali ke Wina. Tanpa sengaja, di Wina dia bertemu dengan Christian yang bermata biru dan Häns yang bermata abu-abu. Lalu muncul tokoh Jesicca yang ternyata ada hubungannya dengan kedua laki-laki itu. Inilah awal dimulainya kisah percintaan itu. Lantas, siapa anak laki-laki yang sebenarnya dicari oleh Elena? Dan apa hubungan Jesicca dengan Christian dan Häns? Lalu berhasilkah Elena menggapai mimpinya menjadi seniman seperti ibunya?
Yoana Dianika merangkum semua pertanyaan-pertanyaan itu dalam novelnya, novel ringan khas bahasa metropop yang mudah dipahami. Yoana Dianika telah berhasil menjadikan kisah sederhana ini menjadi novel yang tidak biasa. Di novel inilah kita akan menemukan makna dari cinta sejati, makna dari penantian, makna dari sakit hati, makna dari menerima, makna dari merelakan, makna dari kesedihan bahkan kebahagiaan. Semuanya terangkum dalam setting kota Wina yang klasik dan menjadikan novel ini benar-benar romantis. Seperti
“Semuanya akan terasa berat, tetapi begitulah seharusnya hidup. Hidup seperti dua partikel atom yang saling tarik-menarik dan tolak-menolak. Tidak selamanya bahagia, tetapi juga tidak selamanya penuh kesedihan," tulis Yoana dalam novelnya.
Bahkan membaca sinopsisnya pun membuat saya tersenyum.
Saat pertama kali aku melihatmu hari itu, aku sudah berbohong beberapa kali.
Aku bilang, senyumannya waktu itu tak akan berarti apa-apa. Aku bilang, gempa kecil di dalam perutku hanya lapar biasa. Padahal aku sendiri tahu, sebenarnya aku mengenang dirinya sepanjang waktu. Karena dia, aku jadi ingin mengulang waktu.
Dan suatu hari, aku dan dia bertemu lagi. Di saat berbeda, tapi tetap dengan perasaan yang sama. Perasaanku melayang ke langit ketujuh karena bertemu lagi dengan dirinya. Deg, deg, deg. Seperti mau meledak jantungku karena berada di dekatnya. Aku menggigit bibir bawahku, diam-diam membatin, “Ah, ini bakal jadi masalah. Sepertinya aku benar-benar jatuh cinta padamu.”
Apakah yang seperti ini ada obatnya? Apakah aku bisa sedetik saja berhenti memikirkan dirinya? Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku jatuh cinta, tapi masih saja terlalu malu untuk menyatakannya.
And it hurts me to know that now 'til then
I'll only have these memories
And now there's no time left to pretend
And it feels like it's the end
But you're always in my heart
Until we meet again
~Diana Ross, Untill We Meet Again ~
Judul : Till We Meet Again
Penerbit : Gagasmedia
Tahun Terbit : Mei - 2011
ISBN : 979-780-500-X
Penulis : Yoana Dianika
Jumlah Halamanan : 298 hlm
Ukuran : 13 x 19 cm
Harga : Rp40.000
0 comments:
Posting Komentar
Thank you so much for leaving a comment on my blog. Hope you enjoy this site. :)