Selasa, Juli 19, 2011


Pagi berkabut dengan sisa ampo yang belum mengering bercampur aroma bunga kopi yang menguar memenuhi setiap sudut kamar kecil saya, saya mulai membuka laptop untuk menulis seperti biasa dan melihat lagu itu masih ada di dalam folder laptop saya. Lagu yang entah sejak kapan tidak pernah lagi terdengar mengalun di sudut kamar saya. Bukan karena saya mulai bosan dengan lagu yang pernah kamu nyanyikan untuk saya di penghujung telepon, melainkan saya enggan memutarnya kembali. Saya enggan membuka lembaran kenangan yang diam-diam saya simpan di dalam sudut terdalam hati saya, dan menguncinya rapat-rapat agar saya tidak bisa membukanya lagi. 

Rabu, Juli 13, 2011

Itu adalah hujan pertama yang jatuh sejak terakhir kali aku melihat tatapan matanya menelanjangi rel basah yang meninggalkan sisa hujan. Beberapa bulan yang lalu saat aku dan dia terjebak di sebuah peron dengan butir butir yang menggantung di penghujung rambut hitam bergelombang miliknya, lantas melumer memenuhi wajah juga syal biru yang melilit di lehernya. Aku masih ingat, dia tak banyak bicara waktu itu. Wajahnya lurus terpaku pada sebuah ponsel berawarna putih, hanya sesekali bibirnya tampak melengkung juga semburat merah samar di kedua pipinya yang langsat. Matanya berkilat, sehitam rambutnya, teduh seperti hujan yang mengguyur atap peron siang itu. Terasa begitu dingin namun menghangatkan.

Senin, Juli 04, 2011

“Saya ingin brownies,” katamu.

“Saya ingin es krim rasa keju,” saya menimpali, membuatmu menoleh ke arah saya. Diam sesaat kamu tatap mata saya lalu dengan rona yang sama kamu buang tatapan itu, berusaha menyembunyikan warna merah yang tersembul ke permukaan wajahmu dan akan selalu seperti itu jika kebetulan tatapan kita bertemu.  “Memangnya ada es krim rasa keju? Aneh-aneh saja kamu ini.”

Saya tertawa, saya tatap mata kamu yang berkilat-kilat malu. Entah, saya selalu merasa gemas setiap kali menatap wajahmu yang semakin terlihat lucu saat sedang berusaha menyembunyikan ekspresi salah tingkah itu. Ekspresi yang membuat saya merasa hangat secara tiba-tiba. 

“Masak malam-malam dingin begini kamu mau makan es krim? Kamu kan nggak tahan dingin.”

Minggu, Juli 03, 2011


Entah hari apa. Kalender bulan Juli belum genap sepekan saat diam-diam saya memperhatikan arakan-arakan awan putih itu berputar-putar di langit merah saga yang cerah, tanpa hujan.
Jika sebelumnya saya selalu merasakan dingin yang luar biasa merayap di tubuh saya, hari ini hati saya menghangat. Saya tersenyum. Tidak ada perasaan lain yang dapat menggambarkan isi hati saya selain melengkungkan ujung-ujung bibir saya selepas membuka pesan singkat yang baru saja kau kirimkan kepada saya. Dan akan selalu seperti itu ketika saya selesai membaca kata-kata yang kau tulis untuk saya. Sekedar menyapa, bertanya, bercerita atau bercanda. Tapi malam itu berbeda. Dan entah apa yang membuatnya terasa berbeda. Sebening embun perlahan menitik dari pelupuk mata saya, membuat dada saya terasa sesak untuk beberapa menit saja. Setelahnya sebuah desiran halus perlahan merayap ke dalam hati saya, pembuluh darah saya, bahkan ke dalam seluruh tubuh saya kemudian menghangatkan semuanya.

Jumat, Juli 01, 2011

Saya ingin menuliskannya lagi, sekali lagi, seperti dulu ketika saya mulai sering menuliskan namamu dalam catatan-catatan kecil buku harian yang selalu saya sembunyikan diam-diam di bawah tempat tidur saya. 

Pagi ini tidak ada embun seperti biasa, pagi ini tidak ada hangat matahari yang selalu menyapa saya lewat celah kecil dalam jendela kamar saya, pun kicauan burung serta sirine kereta yang selalu mengingatkan saya jika fajar mulai menyingsing, lalu perlahan membangunkan saya dengan lembut seolah enggan membuat saya terkejut. Ya, benar. Kau selalu menyapa saya lewat dering sirine kereta yang setiap fajar selalu berbunyi, teratur. Seperti kau paham bahwa saya selalu berkeringat dingin setiap kali merasa ada sesuatu yang mengejutkan hati saya.