Minggu, April 22, 2012

Kebahagiaan itu begitu sederhana.

Ya, kebahagiaan itu begitu sederhana. Hanya saja saya sering tidak menyadarinya.

*

Malam itu seorang teman tiba-tiba menyodorkan kata 'kebahagiaan' kepada saya lewat sebuah pesan singkat yang berujung pada sebuah diskusi hangat tentang kebahagiaan. Lalu, saya ingat ada seorang teman yang pernah bertanya pada saya, 'apa kamu bahagia?'

Saya menjawab 'tidak', karena saya belum mengerti makna kebahagiaan itu sendiri. Atau barangkali saya belum menemukan makna kebahagiaan itu. Kata 'kebahagiaan' kemudian membuat saya menundukkan kepala sejenak, merenung dan kembali bertanya pada diri saya sendiri, 'apa saya bahagia?'

Dan mungkin sekarang saya harus menjawabnya, 'kebahagiaan itu begitu sederhana. Tapi saya sering tidak menyadarinya bahwa saya bahagia.'

*

Saya sering merasa tidak bahagia karena hal-hal yang saya cintai berangsur hilang dari diri saya dan mencipta kenangan yang terlalu pahit untuk dikenang. Yang kemudian membuat saya mengurung diri dan mengantarkan saya dalam dimensi yang bernama sepi.

Saya sering merasa tidak bahagia karena saya tidak bisa seperti teman-teman saya yang bisa mendapatkan apapun dan berkecukupan. Saya merasa tidak bahagia ketika saya lebih mirip seorang autis pesakitan yang lebih memilih 'kabur' dari keramaian daripada berbaur. Saya sering merasa tidak bahagia karena memiliki nasib yang tidak lebih baik dari orang-orang di sekitar saya. Saya sering merasa tidak bahagia ketika timbul perasaan minder yang berlebihan saat saya berbaur dengan banyak orang.

Saya sering merasa tidak bahagia oleh hal-hal kecil di sekitar saya. Lalu muncullah perasaan tertekan yang kemudian menyeret saya ke dalam lingkup asing yang entah bernama apa. Saya sering merasa depresi secara tiba-tiba, bahkan saya sering menjadi orang asing di dalam diri saya sendiri. Orang asing yang terkadang bersikap baik-baik saja, namun tidak jarang menuntut sesuatu di luar jangkauan saya. Dan jika itu sudah terjadi, saya tidak bisa berbuat apa-apa selain diam dan meringkuk di dalam kesepian. Membiarkan mereka beradu dengan diri saya dan menunggu siapa yang akan menang. Perasaan itu muncul karena hal-hal kecil yang seringkali membuat saya tidak bahagia.

Sejauh ini saya mengindikasikan kata 'bahagia' adalah untuk hal-hal dan benda-benda yang tampak, yang ada di depan mata saya, tapi tidak bisa saya raih. Namun saya lupa mengindikasikan kata 'bahagia' untuk hal absurd yang tidak terlihat, yang tidak saya sadari, seperti cinta dan perasaan bersyukur yang mengantarkan saya ke dalam kebahagiaan. Ke dalam kemurnian.

Belakangan ini saya sering berair mata karena hal-hal sederhana. Berair mata karena saya menyadari bahwa saya telah bahagia. Berair mata karena bahagia itu ternyata begitu sederhana. Saya merasa.bahagia ketika tiba-tiba mendapat sms dari keluarga yang sering saya lupakan, sms sederhana yang menanyakan keadaan saya. Saya bahagia ketika ternyata begitu banyak teman tiba-tiba menyemangati saya di tengah keterpurukan yang tidak mereka tahu. Saya bahagia ketika teman-teman ternyata mengharapkan saya menulis lagi. Saya bahagia ketika bercanda dengan teman-teman di sela-sela waktu kerja. Saya bahagia ketika ada seseorang yang menyakiti hati saya, yang membuat saya berusaha ikhlas menerima. Saya bahagia.

Bahagia dalam konsep saya adalah tidak harus mendapatkan apa yang diinginkan. Tapi kebahagiaan sejati adalah ketika saya menundukkan kepala. Merenung. Dan menyadari bahwa di luar sana masih banyak sekali orang yang tidak merasa bahagia. Bahagia tercipta jika kita mengharapkannya. Saya belajar banyak dari kesakitan-kesakitan yang saya alami. Kesakitan yang membuat saya merenung, menata hati untuk menerima. Berusaha ikhlas, meluaskan hati. Memulai lagi dari nol. Menuju kepada kemurnian.

Saya bersyukur dengan apa yang telah diberikan pada saya dan saya bahagia menjadi diri saya. Itu saja.


Jakarta, April 2012

Di kamar kost tanpa jendela.


Published with Blogger-droid v2.0.4

Selasa, April 17, 2012

Setelah sekian lama, hujan itu datang lagi. Tiba-tiba saja. Tanpa peringatan dan tanda-tanda. Sebuah lagu berbahasa Inggris mengalun pelan melalui winamp di laptopku dan di layarnya kursorku berhenti pada tampilan facebook. Di berandamu.


"Jatuh cinta di dunia maya itu apa mungkin bisa terjadi?"


Aku tersenyum membaca statusmu pagi itu. Status terpagi yang katamu pernah kamu buat. Tentu saja aku tahu untuk siapa kamu menulis kalimat itu.


Aku masih mengingatnya dengan jelas. Akhir bulan, tiga  tahun lalu kamu datang. Dan perkenalan itu terjadi begitu saja. Aku juga masih ingat kata-kata apa yang mempertemukan kita. Sebuah candaan berbahasa Sunda di sebuah status penulis ternama. Lalu kuberanikan diri untuk mencatat nomormu dan mengirimkan sebuah pesan singkat yang berakhiran namaku. Aku baru tahu jika kamu suka bercanda rupanya. Bahkan candaan-candaan itu masih mewarnai sms-sms yang masuk ke dalam ponselku. Candaan yang sama. Candaan milikmu yang sudah entah berapa tahun mewarnai malam-malam di atas jam tujuh, malam kepulanganmu.


Kita bersahabat sejak itu. Dan tiba-tiba saja senyum yang jarang tampak itu mulai tergambar lagi di wajahku saat namamu kembali singgah di ponselku. Meski percakapan kita hanya sebatas maya, kamu mulai ada saat itu. Kita mulai membahas apa saja. Mulai dari cerita tidak penting, bertanya kabar hingga bertukar lirik lagu melalui pesan-pesan yang terkirim itu. Hahaha, konyol tapi aku menyukainya.


"Aku harus memanggilmu apa?" tanyamu suatu malam, di sela canda seperti biasa.


"Bukankah namaku sudah jelas? Silahkan panggil apa saja sesukamu."


"Tapi aku biasa memberi nama pada teman-temanku," katamu. Lalu beberapa waktu kemudian kamu memanggilku dengan nama yang itu. Nama yang sampai sekarang masih sering kamu ucapkan saat kebetulan tengah memanggil namaku. Nama milikmu sebab hanya kamulah yang memanggilnya pada saat itu. Apa kau ingat apa nama yang kuberikan padamu? Dulu, kita sering menggunakan nama-nama itu, bukan?


Percakapan kita tidak hanya sebatas itu saja. Kamu mulai memperkenalkan blog padaku, yang selanjutnya menjadi tempat kita bertukar cerita. Setelah beberapa lama aku mengenalmu, barulah aku tahu jika kamu pun ternyata suka menulis. Hobi yang sama denganku.


Aku mulai senang membaca catatan-catatanmu di layar hitam yang dipenuhi ikan-ikan lucu. Kamu pernah bilang jika kamu menyukai warna merah, hitam dan putih. Warna yang mendominasi blogmu saat itu. Dan lagi-lagi aku tersenyum membaca kekonyolanmu.

Apa kamu masih ingat jika aku pernah bilang tulisan blogmu setipe Raditya Dika?


Ah, hujan itu kian deras saja, sayang. Teh tanpa gula kesukaanku berangsur dingin. Aku mengarahkan kursor dan mulai mengetik alamat blogmu. Getatan itu masih sama dengan tiga tahun lalu, saat setiap sore aku selalu menyempatkan diri meninggalkan jejak di 'rumah'mu.


Hatiku dingin. Kenangan itu berseliweran tanpa bisa dicegah. Lalu, di suatu malam. Di tengah canda-canda yang biasa, semua berubah begitu saja. Dalam sekejap saja. Dan aku tidak pernah tahu itu.


"Mau jadi pacarku?"


"Ah, andai saja yang ditanya itu aku," katamu menjawab candaku.


"Haha, mana mungkin? Bukankah kita sahabat? Dan selamanya akan begitu kan?"


Hening. Kamu tidak membalas pesanku selama beberapa menit, sebelum kembali namamu menghiasi ponselku.


"Kamu benar. Kita sahabat dan aku tidak mau persahabatan kita hancur gara-gara perasaan yang tidak semestinya ada." Ada emoticon senyum di akhir kalimat itu, seperti memberi penegasan dan... jawaban.


"Karena aku tahu. Jika perasaan itu ada, persahabatan kita tak akan lagi sama. Aku tidak mau itu terjadi."


Ah, tanganku gemetar. Keringat dingin perlahan menjalar. Membanjir, kemudian bermuara membentuk gemuruh yang tiba-tiba.


Kamu benar. Ada canggung yang tiba-tiba menghuni sekat antara kita. Pesan-pesan singkat dan candamu mulai jarang nampak. Aku memutuskan berganti provider telepon dan mulai menemukan duniaku. Aku bertemu teman-teman baru di dunia maya. Teman-teman yang mempunyai hobi yang serupa denganku. Tanpa sadar, dunia itu membuatku mengabaikanmu. Aku mulai jarang mengunjungi berandamu. Aku mulai jarang meninggalkan jejak di rumahmu dan mulai jarang menyapamu lewat media-media tempat kita bertukar cerita.


Dunia kita seperti terhalang sekat yang entah bernama apa.


Ah, rindu itu masih ada, sayang.

Rindu ketika kita sering bertukar sapa. Rindu ketika diam-diam aku mencuri waktu di sela sela kerjamu hanya untuk sekedar mencuri suaramu yang dulu tidak pernah terdengar sebab katamu kamu malu dengan suaramu yang itu. Aku rindu ketika kamu mengatakan suaraku lebih menyerupai bapak-bapak, sementara aku suka menyebut suaramu mirip ibu-ibu kompleks yang suka bergosip.


Ah, aku rindu ketika kamu tiba-tiba saja menelfonku malam-malam sambil menyantap mie ayam yang kamu beli sepulang kerja dan kamu bilang aku hanya tertawa saja sepanjang percakapan satu jam lebih itu. Padahal kamu tahu aku berusaha keras memelankan suaraku, takut nenekku akan marah mendengarku bercanda malam-malam. Padahal kamu juga tahu, aku berusaha keras menahan panas yang tiba-tiba saja menyerang wajahku. Panas yang bisa membuat mukaku berubah sangat merah.


Aku rindu ketika sepotong pagiku diwarnai pantun yang kamu kirimkan untukku sebagai pengawal hariku saat itu.


Kenangan itu....


Cerita-cerita itu....


Apa kamu masih memerangkap kenangan itu sebagaimana aku selalu memerangkapnya di mataku?


Hujan itu semakin deras saja, sayang. Ada bening yang tertahan di mataku. Kusesap teh yang mendingin itu sebagaimana aku menghapus bening di pelupuk mataku. Aku menghela nafas sejenak. Berusaha menenangkan gemetar yang tiba-tiba menjalar.

Mendung semakin pekat dan mataku belum beralih membaca postingan-postinganmu terdahulu.


Ngilu.


Jakarta, 10 Februari 2012

Di sebuah kost yang pengap. Di sela-sela menunggu kabar.


Published with Blogger-droid v2.0.4

Jumat, April 13, 2012

Welcome to the night kingdom






Published with Blogger-droid v2.0.4