Untuk kesempatan ini saya tidak ingin menulis apa yang biasa saya tulis (baca : tulisan gak jelas di catatan-catatan sebelumnya). Sebagai gantinya, saya ingin mencoba mengungkapkan sedikit uneg-uneg dan pendapat saya yang berkaitan tentang pernikahan. Hmmm. (Warning!! Tulisan ini gak jelas juga)

Akhir-akhir ini saya dapat banyak undangan pernikahan dari teman-teman saya (curcol).  Akhir-akhir ini saya tidak sengaja melihat berita seputar hubungan rumah tangga, mulai dari yang langgeng maupun tidak jarang ada yang gagal di tengah jalan. Kemarin-kemarin kebetulan saya melihat acara Mario Teguh di Metro TV. Beberapa minggu yang lalu saya tidak sengaja membeli dan membaca buku Leo Tolstoy. Saya sering sekali mendengar cerita teman-teman saya yang sudah menikah dan saya mengamati keadaan rumah tangga sepupu saya sendiri.  Semuanya membahas masalah yang sama : pernikahan. Jangan ambil kesimpulan ataupun bertanya kapan saya akan menikah ya? Karena tulisan saya ini sama tidak ada hubungannya dengan pertanyaan tersebut

Melihat teman-teman saya yang sudah berani memutuskan akan mengarungi bahtera rumah tangga, halah, mau gak mau saya jadi kepikiran juga masalah pernikahan. Spontanitas, tiba-tiba saja. Dan pikiran ini muncul bukan karena saya telah melihat prosesi pernikahan Pangeran William dan Kate Middleton beberapa waktu yang lalu loh ya. Sama sekali gak ada hubungannya dengan itu. Pikiran saya ini muncul entah dari mana. Kalau kata saya, pikiran ini adalah semacam racun yang mulai menjangkiti saya beberapa hari terakhir ini. Saya mulai sering melamun saat menghadiri pernikahan teman saya. Lamunan yang simpel dan gak masuk akal. Bagaimana nanti kalau saya menikah? Siapa yang akan menjadi suami saya kelak? Bagaimana saya nanti akan mengurus anak dan rumah tangga, bagaimana saya jika nanti berada di rumah orang tua suami saya, bagaimana nanti kalau saya memasak makanan untuk suami saya dan ternyata masakan saya gak enak, bagaimana nanti kalau di kehidupan rumah tangga saya ada masalah, dan sebagainya. Pikiran-pikiran semacam itu sempat meracuni saya berhari-hari, bahkan ketika saya mulai memasuki usia kepala dua. Dari situ saya sadar, ternyata saya bukan anak kecil lagi. Eh, meskipun saya bukan anak kecil lagi, saya masih suka lihat doraemon kok, serius. (mohon diabaikan saja kalimat terakhir itu).


Saya pasti juga akan menikah nanti, masalah kapan dan dengan siapa, saya belum tahu dan belum memikirkan itu sekarang. Yang jelas, saya tidak mau mengadakan pesta pernikahan sebagaimana pesta yang diadakan teman-teman saya, cukup ijab qabul saja kalau saya mah. Alasannya simpel, karena saya gak mau di-make up dan dijadikan tontonan, hihihihi (curcol gak penting).

Menurut saya pribadi, pernikahan tidak harus dirayakan secara besar-besaran. Tapi kalau ada yang ingin merayakannya sebagai bentuk rasa syukur ya monggo saja. Ini semua tergantung dari pilihan masing-masing orang dan saya tidak akan membahas masalah itu di catatan saya.

Menurut saya lagi, pernikahan tidak harus menurut pada usia. Tapi ada kalanya seseorang memang harus mempunyai tujuan dan target-target  kapan ia akan menikah. Apa persiapan sebelum ia menikah, apa rencana setelah ia menikah, dan seterusnya. Jodoh memang ada di tangan Allah, tapi, bukankah manusia wajib berusaha dan berencana juga berdoa, sebelum pasrah pada kehendak Allah? Saya pribadi tidak mempermasalahkan pernikahan usia muda maupun usia tua. Semua itu tergantung dari kesiapan masing-masing orang. Lah, kalau sekarang saya yang ditanya, kapan saya menikah? Saya pasti cuma bisa senyum-senyum gak jelas.

Namun ngomongin masalah pernikahan. Dalam bayangan saya yang sama sekali belum pernah merasakan menikah ini adalah selain punya suami, mengurus anak, mengurus rumah tangga. Dan sebagainya, dan sebagainya. Saya berfikir bahwa menikah adalah menyatukan dua kepala menjadi satu bagian utuh yang tidak terpisahkan.  Dalam hal apa saja. Termasuk masalah ekonomi, perencanaan anak, masalah pendidikan anak dan apa saja, semua harus bisa dimanage sebaik-baiknya. Semua harus benar-benar dibicarakan satu sama lain, adanya perencanaan, hubungan komunikasi yang terjalin harmonis, sikap keterbukaan satu sama lain dan yang tidak boleh ketinggalan adalah sikap saling percaya dan menghargai. Menikah pada intinya adalah menjaga keseimbangan. Meleburkan dan mengesampingkan ego masing-masing untuk membentuk sebuah watak baru dan sebuah kesepakatan. Tidak jarang pula, dalam membentuk keseimbangan itulah kerikil-kerilik kecil mulai menjadi sandungan. Dalam hubungan pernikahan, pertengkaran memang menjadi kerikil utama dan itu sangat wajar sekali terjadi. Adanya miss komunikasi antara kedua belah pihak yang menyebabkan masalah itu tidak terpecahkan.  Itulah mengapa, banyak sekali artis yang memilih bercerai daripada membicarakan baik-baik masalah yang sedang  mendera rumah tangga mereka, adanya pihak ketiga yang dengan mudahnya menghancurkan rumah tangga mereka. Padahal jika ditelisik lebih lanjut, menikah bukanlah sekedar mengucap janji semata, menikah bukan semata punya anak dan senang-senang, namun menikah adalah menjaga janji pernikahan yang terucap itu agar tetap suci, tidak ternoda.  Menikah adalah berkomunikasi. Menikah adalah keputusan yang harus dilandasi dengan tanggung jawab yang besar, tidak semata-mata hanya mengganti status sosial dari lajang menjadi bersuami atau beristri.

Itulah kenapa saya miris sekali jika melihat berita tentang suami yang membunuh istrinya karena ketahuan berselingkuh, begitu sebaliknya. Pertanyaan saya adalah, kok bisa gitu? Kok bisa sampai segitunya? Kok tega sekali melakukan itu, mengingat orang yang dinikahi adalah orang yang menjadi pilihannya. Orang yang ia cintai, orang yang ia sebut-sebut bisa menerima dia apapun kondisinya.

Sekarang saya mencoba menarik pertanyaan yang akan saya garis bawahi, apa yang menyebabkan terjadinya perselingkuhan itu? Saya hanya mengamati dari sekian banyak kasus yang pernah saya lihat atau dengarkan atau saya baca. Ternyata banyak sekali sebab yang membuat seseorang itu melakukan affair. Ketidakcocokan menjadi faktor utama penyebab perselingkuhan ini. Selain karena khilaf yang dijadikan alasan utama, ketidakpuasan, perasaan tertekan entah itu dari sikap masing-masing ataupun tertekan karena kondisi di sekitar, dalam hal ini lingkungan. Ataupun karena memang dalam dirinya mengalir darah tukang selingkuh. Ketidakcocokan bisa disebabkan dari banyak hal, misalnya pernikahan tanpa cinta karena dijodohkan mungkin. Ketidakcocokan sifat mungkin, ketidakcocokan perilaku mungkin, atau kurangnya waktu bersama. Jika memang itulah alasan yang menjadi faktor munculnya ketidakcocokan, hal ini bisa dibicarakan, saya yakin asal kedua belah pihak sama-sama bisa mengerti dan memahami. Saya jadi ingat pepatah jawa yang menyebutkan istilah witing tresna jalaran saka kulina, cinta muncul dari kebiasaan. Yah, seperti itulah.
Namun jika ketidakcocokan muncul dari kurangnya waktu bersama, bisa karena sama-sama sibuk ataupun memang jarang bertemu. Maka inipun bisa dibicarakan. Menikah tidak semata-mata untuk terus mencari uang dan menomorduakan keluarga itu sendiri. Ada kalanya memang disisihkan waktu untuk berkumpul bersama keluarga. Sekedar mengobrol atau sarapan bersama, minum teh, pergi berlibur ataupun bermain bersama anak. Saya sering mengamati kehidupan rumah tangga orang-orang terdekat saya, dalam kasus ini saya paham jika tugas suami adalah mencari nafkah, seharian penuh membanting tulang untuk anak istri. Sementara istri seharian sibuk mengurus anak dan rumah tangga. Jika suami pulang dalam keadaan sangat capek dan mendapati anak rewel luar biasa, saya tahu rasanya. Meski saya belum pernah bersuami, tapi saya pernah merasakan keadaan berisik saat saya sangat capek. Seharian mendapat masalah di tempat kerja dan berharap di rumah menemukan sedikit kesejukan, justru yang didapat adalah sebaliknya. Rasanya kepala mau pecah dan tensi darah seolah meningkat drastis. Sebagai seorang istri (jika saya menikah nanti), saya pun ingin membuat suami saya betah di rumah, pulang dalam keadaan tersenyum dan membicarakan masalah pekerjaan suami dengan kepala dingin. Sementara rasa penekanan-penekanan itulah yang tidak saya harapkan jika misal suami saya pulang dalam keadaan marah-marah. Efeknya muncullah pertengkaran-pertengkaran kecil, ingin kabur dari rumah untuk mendapat penyegaran otak, rasa tidak dihargai yang akan memicu munculnya kepribadian yang mengharapkan perhatian dan rasa kenyamanan. Dalam hal ini, saya tidak bisa menyalahkan pihak manapun. Kelakuan anak yang sedikit rewel jika suami datang mungkin itu adalah bentuk keinginan anak untuk diperhatikan. Bagaimana anak sangat membutuhkan perhatian kedua orang tuanya. Bagaimana anak sangat merindukan papanya atau mamanya. Saya juga pernah menjadi anak-anak. Dan saya pun tahu rasanya bagaimana jika saya tidak mendapat perhatian. Kunci utamanya adalah sikap keterbukaan, komunikasi dan rasa kebersamaan. Kebersamaan dalam banyak hal, termasuk kebersamaan dalam merawat anak. Tidak men-judge bahwa suami sudah bekerja ini itu, istri sudah bekerja ini itu. Jika pertengkaran-pertengkaran semacam ini terjadi, korban utamanya adalah anak. Anak akan merasa tidak diperhatikan dan untuk mencari perhatian itu sendiri, biasanya anak akan bersikap rewel dan manja. Dalam menikah, bukankah mempunyai anak adalah kesepakatan bersama? Kesepakatan yang tentunya dilandasi rasa anggung jawab. So, merawat anak pun memerlukan kebersamaan dan rasa memiliki agar anak bisa lebih dekat dengan kedua orang tuanya, tidak hanya satu orang tua saja.

Menurut saya, menikah semata-mata bukanlah untuk menyalahkan, tapi menerima. Menerima segala kondisi dengan perasaan legowo, ikhlas, terbuka dan sabar. Saya seneng banget begitu lihat tayangan reality show yang menggambarkan pengorbanan suami istri untuk menjaga  keutuhan rumah tangganya.  Terlepas dari scipt ataupun real, tanyangan itu dangat menginspirasi sekali. Bagaimana sang istri bisa menerima dengan ikhlas keadaan rumahnya yang hanya terbuat dari anyaman bambu, menerima dengan ikhlas penghasilan suaminya  yang hanya bisa buat makan sehari. Bahkan ada yang rela menjaga dan merawat suaminya meski dalam keadaan sakit hingga meninggal. Seperti bapak dan ibu saya misalnya. Itulah yang menjadikan pelajaran bagi saya, bagaimana sikap sabar dan ikhlas sangat diperlukan untuk menjaga keutuhan rumah tangga itu sendiri.

Saya ingat kasus dalam buku yang ditulis Tolstoy, The Kreutzer Sonata. Kasus yang benar-benar real dan simpel. Bagaimana orang memandang pernikahan itu sendiri. Ada yang menjunjung tinggi nilai pernikahan, ada juga yang menganggap pernikahan adalah aib, bahkan tokoh utama dalam buku tersebut sampai tega membunuh istrinya dalam keadaan sadar. Membunuh karena terlalu mencintai istrinya, membunuh karena melihat istrinya bersama laki-laki lain, membunuh karena sebelumnya tidak ada komunikasi di antara keduanya sehingga menimbulkan kesalahpahaman yang berakibat fatal, membunuh karena dibutakan kecemburuan dan tidak bisa mengontrol emosi bahkan alter egonya sendiri. Bagaimana janji pernikahan akan sangat ternoda dengan hal-hal semacam itu. Tapi menurut saya, semuanya tergantung dari pendapat dan keyakinan masing-masing orang. Bagaimana kita memposisikan cinta itu sendiri, cinta yang tidak melebihi cinta kepada Sang Khaliq. Bukankah Islam sudah mengajarkan hukum-hukum sebelum menikah? Jika kita sudah siap dan sudah mampu untuk menikah, kenapa tidak?

Bagi saya, menikah adalah pilihan dan keputusan, dan tentunya pilihan yang tidak hanya sekedar pilihan. Namun pilihan yang dilandasi tanggung jawab dan konsekuensi yang besar. Masalah ataupun kerikil-kerikil itulah yang menjadi bumbu dari penikahan itu sendiri. Tidak ada pernikahan tanpa masalah. Tidak akan ada pelangi tanpa hujan. Tidak akan ada warna-warna tanpa cahaya putih. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Itulah kenapa manusia diciptakan secara berpasang-pasangan. Perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki adalah untuk melengkapi ketidaksempurnaan itu.  So intinya, pernikahan  adalah selama kita bisa menjaga ego masing-masing, selama kita bisa mengatur waktu untuk bersama, selama kita bisa berkomunikasi dengan baik, paham tanggung jawab masing-masing. Bisa menghargai satu sama lain, saling percaya, dan tentu saja senantiasa memupuk cinta itu pagi siang dan malam kata Andre Aksana, saya yakin Insya Allah tidak akan terjadi apa itu affair, apa itu perselingkuhan, apa itu perceraian, apa itu pembunuhan dan masalah-masalah lain yang didasarkan pada pernikahan. Kita sebagai manusia hanya bisa menjaga apa yang sudah diamanatkan kepada kita, menjaga agar tidak hilang, menjaga untuk senantiasa merawat agar tidak luntur, menjaga untuk senantiasa memupuk agar tidak mati. Menjaga untuk senantiasa menyempurnakan yang tidak sempurna, seperti itulah.

“Aku memang tidak sempurna, tapi bukankah itu karena aku membutuhkanmu?” kata Andre Aksana. Walah, kok sampai ke Andre Aksana segala yak? Gak nyambung banget saya ini. Ya wis, segitu dulu pendapat dan uneg-uneg saya yang ngalor ngidul, sok tahu, sok serius, gak nyambung, bertele-tele dan gak jelas ini.



Madiun, 31 Mei 2011