Aku selalu menantikanmu di bulan November, saat langit berwarna separuh emas dengan hiasan gerimis tipis berwarna putih, seperti salju. Minggu ketiga di bulan November yang lembab, kau akan selalu duduk di bangku kayu itu. Mengamati setiap daun yang gugur mengenai rambutmu yang coklat. Sedangkan aku hanya bisa menatapmu lewat kotak kacamata minusku yang terbatas, merasakan dimensimu terbingkai sempurna di dalamnya, hanya ada kau dan semua tentangmu tanpa seorang pun yang lain. Kau dengan duniamu yang sepi. Kau dengan segala sesuatu yang tidak mungkin bisa aku rasuki. Kau dengan dimensimu yang sulit aku tembus. Kau dengan segala kesempurnaan yang tergurat indah di atas pencitraanku. Kau yang telah membuatku mengamati ceruk matamu dan mulai membayangkan bahwa akulah satu-satunya bayangan yang tercipta di antara iris mata itu. Ah, lamunan yang semakin kubiarkan berkelana. Lamunan yang semakin jauh aku lepas untuk menangkap sosokmu.

Di suatu senja yang hangat, saat semburat sinar ufuk barat menyapu lembut wajah kita, kau mendatangiku di bangku kayu itu. Kita membicarakan banyak hal di bawah pohon flamboyan yang menguning. Kau yang suka sekali menulis, bahkan rela meluangkan waktu istirahatmu untuk menyelesaikan satu buah cerpen ataupun bab-bab novelmu yang masih tertunda. Dan aku, aku yang menjadi penggemar buku selalu menjadi orang pertama yang membaca tulisanmu.
Akhir November, perkenalan kita berlanjut. Kau sering mengajakku mengunjungi toko buku ataupun perpustakaan, tempat yang paling kita sukai. Setelahnya, kita akan meluangkan waktu menyesap secangkir espresso hangat di tengah gerimis tipis di sudut kafe yang tenang, kau dan aku. Dan pertengahan November tahun berikutnya kau menyematkan cincin bermata mungil di jemariku yang dingin. Di sebuah perpustakaan, saat semua pengunjung sibuk dengan bacaannya, kau melamarku. Menyakinkan padaku bahwa akulah yang akan menjadi istrimu kelak. Akulah yang akan melahirkan malaikat-malaikat kecil penghias rumah kita yang mungil. Akulah yang akan menemanimu menikmati pagi dengan secangkir kopi hangat yang mengepul di atas wajahmu yang berhiaskan songkok berwarna susu. Kau tahu? Betapa aku sangat memimpikan hari itu? Kau mengucapkan bahwa kau menerima akad nikahku di depan penghulu, dengan tanganmu yang bertaut pada tangan ayahku. Betapa menyenangkannya jika setiap fajar mulai menampakkan guratan sinarnya, kau akan menamaniku memasak sarapan rutin kita dengan sebuah topik hangat yang tak pernah bosan untuk kita bahas dan diskusikan. Kita akan membahas tulisan-tulisanmu atau kau akan menceritakan padaku tentang anak kita yang sudah berhasil mengeja kata ‘ma-ma pa-pa’ seperti yang pernah kau ajarkan kepadanya. Lalu di penghujung pagi itu, aku akan mencium tanganmu seperti seorang istri yang selalu mencintai suaminya jika kakimu berlalu dari rumah mungil kita. Rumah yang selalu aku jaga agar tetap hangat dan nyaman untuk kepulanganmu. Untuk semua sumber kasih sayang yang hakiki.
Di hari Sabtu, akhir pekan. Kau akan meluangkan waktu untuk menemaniku dan bermain dengan buah hati kita. Kita akan memakan semangkuk bubur hangat di pagi hari yang biru. Lalu menyesap teh manis yang masih tercium aroma melatinya sampai ke syaraf-syaraf otak. Lalu kau akan memboncengku dengan sepeda keranjang berwarna merah kesukaanku. Aku menggendong anak kita dan satu tanganku akan terpaut erat pada pinggangmu. Kita melawan angin pagi yang sejuk. Kita akan pergi ke taman, mengunjungi bangku yang telah menjadi saksi peremuan kita. Kita akan berlama-lama di sana, menikmati hembusan angin serta merasakan guguran daun-daun kering.
Aku membayangkanmu, terlebih saat suara gema adzan maghrib bersahut dengan separuh nyanyian cenggeret di pohon cengkih di sekitar rumah kita. Kau akan mengajakku ke mushola bersama anak kita, mengerjakan kewajiban setelahnya akan belajar mengaji bersama dengan engkau sebagai imam utama. Imam dari segala macam hal untukku. Lalu kita akan bermain bersama anak kita di ruang keluarga sesudahnya, menunggu tiba waktunya Isya bersahut di atas langit yang pekat sebelum kita menyantap makan malam yang kumasak, orek tempe sederhana kesukaanmu. Ah, aku merindukan kedatanganmu, merindukan semua kesederhanaan dalam balutan rumah tangga yang mungil dan hangat serta berisi nyanyian malaikat-malaikat kecil yang kita cintai. Merindukan sosokmu yang mampu mengisi setiap kekurangan-kekurangan yang aku miliki, menjadi pelengkapku.
*
November itu, tak terjadi apa-apa selain kau yang masih diam mematung menunggu daun kering gugur mengenai rambutmu, bahumu, wajahmu dan tubuhmu. Aku melamun. Aku hanya membayangkanmu, memikirkan pencitraan apa yang bisa melukiskan betapa aku mengagumimu dari jauh. Serta mendeskripsikan kata apa yang paling tepat untuk menggambarkan semua kesempurnaan yang kau miliki. Kesempurnaan dari sudut pandangku yang nyata.
Ah, aku terlalu mereka. Gerimis itu menjelma menjadi rintik-rintik air hujan yang membuat rambutmu basah. Kau masih diam di sana dan berlalu setelahnya saat sebuah daun gugur tepat mengenai telapak tanganmu yang saat itu sedang menadah hujan. Bangku itu kosong. Aku mendekatkan langkahku, mengisi ruang hampa yang baru saja kau ciptakan. Dan di bangku itu, aku merasakan kehadiranmu dalam lamunanku, dalam dimensi alam bawah sadarku yang abstrak. Dan di bangku kosong itu, aku menunggu mimpiku.


Madiun, Maret 2011