Engkau yang pertama kali membuatku menyukainya. Senja itu, kereta itu, stasiun itu, aroma teh tawar itu, kenangan itu…
Sirine itu tetap berbunyi sama, seperti itu dari detik-detik masa lalu hingga sekarang. Senja emas tanpa gerimis. Di sebuah stasiun kecil di kota tua itu, kita pernah singgah di sana . Merasakan bayangan kereta yang menyapa malu-malu seperti senyum yang senantiasa kukulum, sendu. Bulatan berwarna orange tua berpendar sempurna pada ufuk berwarna jingga, beberapa kali bersembunyi di balik jubah abu-abu yang bergerak pelan mengikuti arah angin. Aku merekamnya dalam mataku, tanpa engkau tahu. Ada angin yang tiba-tiba menyentuh ujung-ujung jemariku pun rambutku yang lemas tak tergerai. Seperti hendak mengucapkan kata berpisah dan aku belum sempat mengucap aku akan kembali lagi dengan keadaan yang berbeda, namun masih dalam kerinduan yang sama. Haruskah aku menitikkan apa yang tidak semestinya harus menitik? Seperti hendak mengenyam apa yang kusebut sebagai kenangan lalu mengabadikannya dalam cacatan buku tulisku di pelajaran mengarang seusai liburan panjang dengan alunan melodi saxophone yang menggema samar-samar dari dalam radio usang milikmu. Bahwa aku telah menulisnya, senja emas itu yang membawa kereta kita menuju satu tempat. Tempat yang senantiasa menyambut kedatangan kita dengan pelukan hangat ibu yang waktu itu sibuk menata bunga di halaman-halaman penuh cinta tempat kita bernaung mengeja cerita.
Ah, perjalanan itu masih membekas hingga sekarang. Bahkan aku masih bisa merasakan lalu lalang becak dengan aroma udara sore yang mengantar kita menuju tempat persinggahan kereta. Pohon-pohon besar yang menaungi jalan dengan pemandangan yang sama sekali asing di mataku. Di kota itu, di masa yang itu, bersamamu.
Dan kerinduan itu selalu dan selalu bertumbuh hingga sekarang. Hingga matamu kian berwarna senja dengan guratan-guratan samar berwarna biru, serta garis-garis yang mulai tampak jelas menghiasi dahimu, pipimu, tanganmu. Namun aku masih melihat kaca-kaca bening yang sesekali nampak di matamu, seperti sebuah pahatan kesepian dan kerinduan yang bertumpu menjadi satu melalui sorotmu yang kian menua. Dan aku selalu merekamnya diam-diam. Aku mencurinya kemudian meletakkannya dalam sebuah memori khusus di dalam otakku. Sorot matamu yang selalu saja tampak hingga malam-malam menjelang tidurku. Lalu aku selalu saja tidak berani melanjutkan napasku ketika tiba-tiba sesuatu seperti mencekik tenggorokanku.
Tak lagi bisa kudengar bahasa-bahasamu mengalun seperti dulu, seperti saat ketika engkau bercengkrama di ruang makan itu. Ruang yang sekarang nampak lengang sejak kepergian ibuku.
Meski engkau yang tidak pernah lagi mengajakku berkunjung ke kota itu, namun aku percaya engkau tidak akan pernah melupakan saat-saat itu. Saat-saat dimana aku melihat kerlip-kerlip samar saat malam dari dalam kaca kereta. Saat-saat dimana aku selalu tertidur di dalam bahumu dan kemudian terbangun secara tiba-tiba akibat suara kereta yang melintasi jembatan-jembatan besi. Saat-saat dimana aku selalu berdiri dari tempat duduk kereta hanya untuk menatap keluar tanpa penghalang kaca kereta. Ah, sampai sekarang pun aku masih senang menyesap segelas teh tawar hangat seperti yang dulu selalu aku lakukan ketika kita berada di kota itu. Aku masih saja menatap senja itu di sini. Aku masih saja senang mendengarkan sirine itu. Aku masih senang memungut setiap puzzle-puzzle kenangan yang bercecer di sepanjang rel untuk menyatukannya dalam bingkai kemudian menatapnya menjelang tidur.
Sekarang, engkau dan aku. Sepuluh tahun silam, kita menapak di sana . Akankah lagi? Aku selalu menunggu saat-saat itu, bapak. :)
Madiun, Juni 2011
:')
BalasHapusKamu emang pecinta senja, ya...
pantesan kau sampe kayak gitu pas nulis ini. ternyata kenangan... :)
BalasHapusalvi : maluuuu >.<
BalasHapusArmando: hihihihihi, tapi sekarang sudah normal lagi kok :D
cume sekilas saja :D