Entah hari apa. Kalender bulan Juli belum genap sepekan saat diam-diam saya memperhatikan arakan-arakan awan putih itu berputar-putar di langit merah saga yang cerah, tanpa hujan.
Jika sebelumnya saya selalu merasakan dingin yang luar biasa merayap di tubuh saya, hari ini hati saya menghangat. Saya tersenyum. Tidak ada perasaan lain yang dapat menggambarkan isi hati saya selain melengkungkan ujung-ujung bibir saya selepas membuka pesan singkat yang baru saja kau kirimkan kepada saya. Dan akan selalu seperti itu ketika saya selesai membaca kata-kata yang kau tulis untuk saya. Sekedar menyapa, bertanya, bercerita atau bercanda. Tapi malam itu berbeda. Dan entah apa yang membuatnya terasa berbeda. Sebening embun perlahan menitik dari pelupuk mata saya, membuat dada saya terasa sesak untuk beberapa menit saja. Setelahnya sebuah desiran halus perlahan merayap ke dalam hati saya, pembuluh darah saya, bahkan ke dalam seluruh tubuh saya kemudian menghangatkan semuanya.

Tahukah kau? Saya ingin tertidur setelah itu, saya ingin cepat-cepat bermimpi bertemu dengan bayangan yang selama ini selalu menghiasi mimpi-mimpi saya, tanpa perencanaan, tanpa kata-kata, hanya diam dan berharap.
Saya ingin meleburkan semua perasaan saya, menceritakan semua yang saya rasakan kepadamu karena hanya di mimpilah saya bisa melihatmu secara penuh, secara utuh, secara nyata dengan keberanian yang tidak saya dapatkan di dunia yang sebenarnya. Saya ingin meleburkan perasaan saya, berharap kau memiliki kehangatan yang sama dengan apa yang sedang saya rasakan. Lalu kita akan bercerita panjang lebar seperti biasa meski dengan suara-suara yang terlampau lirih hingga sulit saya dengar, atau kita akan tertawa seperti biasa meski dengan cara diam-diam. Ya, diam-diam. Selalu itu yang bisa saya lakukan. Seperti saat saya mencuri wajahmu, mencuri rona merah yang perlahan menjalar di dalam wajahmu, mencuri matamu yang berhujan itu juga mencuri senyummu yang jarang sekali tampak untuk saya letakkan dalam wadah yang diam-diam sudah saya siapkan. Bukan di pikiran saya, bukan di mata saya, pun senyuman saya yang katamu selalu terlihat di wajah saya, tapi di dasar yang paling dalam hingga saya tidak berani menyentuhnya pun menggenggamnya.
Ah, saya jadi gemetar. Terasa begitu muluk kah? Mungkin iya. Tapi saya tidak peduli. Saya menikmati setiap desiran-desiran yang kau kirimkan kepada saya. Desiran untuk menemani saya setiap kali saya mengingat waktu-waktu kebersamaan kita yang singkat itu, atau setiap saya mengingat kata-kata singkat yang kau kirimkan kepada saya, juga mengingat bahwa kita memiliki kesamaan yang aneh tanpa orang lain tahu. Saya seringkali berfikir, siapa? kenapa? Adakah benang merah? Atau memang kebetulan?
Tapi itu dulu. Sekarang saya memilih untuk melupakan semua pertanyaan-pertanyaan itu. Saya memilih untuk menikmati semua perasaan yang perlahan-lahan datang, seperti katamu beberapa waktu lalu. Saya lebih memilih menikmati dan merasakan desiran-desiran hangat itu. Desiran untuk saya jaga, desiran untuk saya ingat bahkan untuk saya genggam erat-erat. Desiran yang tanpa saya tahu mulai menghangatkan hati saya sejak hari itu.
Hari ini cerah, tanpa hujan. Saya masih diam mengamati arak-arak awan itu dari balik jendela. Embun yang biasa setia menyapa saya, kini datang terlambat, atau mungkin tidak datang sama sekali. Saya tersenyum, lagi. Dan akan selalu seperti itu ketika erat saya genggam hati saya. Di sana, di sebuah ceruk yang dalam, kau menghuninya pelan-pelan.
Saya mendesah, masih menggenggam erat hati saya yang menghangat.
Saya masih setia menunggu hujan, hujan yang selalu saya temukan dalam matamu. Hujan yang membuat saya hangat dalam kedinginan yang selalu membuat saya menggigil. Saya masih tetap diam-diam, menunggu, seperti ketika saya diam-diam menunggumu untuk selalu menghangatkan hati saya seperti kemarin, hari ini, dan seterusnya. 


Madiun, Juli 2011