Itu adalah hujan pertama yang jatuh sejak terakhir kali aku melihat tatapan matanya menelanjangi rel basah yang meninggalkan sisa hujan. Beberapa bulan yang lalu saat aku dan dia terjebak di sebuah peron dengan butir butir yang menggantung di penghujung rambut hitam bergelombang miliknya, lantas melumer memenuhi wajah juga syal biru yang melilit di lehernya. Aku masih ingat, dia tak banyak bicara waktu itu. Wajahnya lurus terpaku pada sebuah ponsel berawarna putih, hanya sesekali bibirnya tampak melengkung juga semburat merah samar di kedua pipinya yang langsat. Matanya berkilat, sehitam rambutnya, teduh seperti hujan yang mengguyur atap peron siang itu. Terasa begitu dingin namun menghangatkan.


Aku diam, sekilas menatap wajahnya tanpa dia tahu. Namun tiba-tiba saja pandangan kami bertemu dalam sebuah ruang hampa di udara. Dia balik menatapku. Tepat di kedua mataku yang sedang membingkai hujan di matanya.

Diam, aku beku sejenak. Kemudian dia cepat-cepat mengalihkan tatapannya pada hujan. Aku bernapas dalam diam, dan dia menyapaku. Untuk pertama kalinya.

“Kereta jam berapa?” katanya. Singkat dengan seulas senyum samar yang terkulum di bibir merah jambu itu. Sepertinya dia tidak merokok, aku mengambil kesimpulan dan pikiranku terbukti saat dia terbatuk-batuk ketika asap rokok mulai menyapa hidungnya, kemudian membuatnya beralih di dekatku, tepat di sebelahku. 

Dadaku bergetar, entah karena apa. “Tidak merokok?” aku justru mengalihkan pembicaraannya. Pembicaraan yang disambut gelengan kepalanya sebagai isyarat jawaban atas pertanyaanku.

“Saya tidak suka rokok.” Dia hela sejenak napasnya, seperti hendak mengeluarkan asap rokok yang terlanjur masuk ke dalam rongga dadanya. “Kereta jam berapa?” dia mengulang pertanyaannya, sama.

“Jam setengah 1.” Akhirnya aku menjawab. “Kamu?”

“Saya tidak naik kereta,” jawabnya.

Dahiku berkerut, “Menunggu seseorang?”

Dia tersenyum sejenak, masih begitu samar lantas menggeleng lembut. Matanya menyipit, dan dia enggan menunjukkan mata berhujan itu padaku. Dia memilih menekuk wajahnya, menelusuri lumeran air yang mulai membasahi rel stasiun. Terlihat sangat bahagia, terlihat lepas dan ringan. Seperti dia sedang berbicara dengan hujan-hujan itu melalui tatapan matanya.

Aku enggan mengalihkan perhatiannya. Tanpa sadar, senyum perlahan mulai terkulum di bibirku. Dadaku yang sebelumnya dingin, terasa begitu hangat saat mencuri tatapan matanya. 

Hujan masih deras, kereta dikabarkan terlambat sebentar, entah berapa lama sebab aku tak memperhatikan sirine aba-aba itu terdengar. Aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri, dengan dunia yang pelan-pelan mulai kubangun. Dunia antara aku dan dirinya yang terasa begitu samar.

“Hujan itu indah ya,” dan dia dengan seenaknya membuyarkan lamunanku. Kepingan lamunan yang susah payah kubangun, kini harus pecah terberai. Aku harus memungutnya satu-satu sebelum dia hilang ditelan kabut berhujan.

“Hujan?”

“Ya, hujan.” Mata berhujan itu mulai menengadah, seolah hendak mendadah hujan yang turun kemudian memerangkapnya di sana. Dia tidak mengijinkan hujan pergi dari matanya. “Saya suka menunggu hujan turun di sini, dan saya selalu berada di sini jika musim hujan tiba, bahkan setiap hari, di jam yang sama, hanya untuk menunggu hujan.” katanya. Menunjuk kata di sini dengan memendarkan matanya ke setiap penjuru stasiun.

Aku paham. Dalam diam, kuberanikan diri menatap matanya. Matanya yang seolah ingin menuliskan kenangan-kenangan untuk kubaca pelan-pelan. 

“Kalau hujan tidak turun?”

“Saya akan tetap menunggu, karena saya tahu hujan pasti akan datang.”

“Kenapa harus di jam yang sama?”

Dia tersenyum, diam tidak menjawab pertanyaanku. Tatapan matanya menerawang, seperti melamunkan sesuatu yang entah. 

“Aku lebih suka senja,” kataku menghilangkan jeda.

Dia menatap mataku. “Saya sudah tahu.”

“Darimana kamu tahu?”

“Tatapan matamu.”

Pipiku mendadak panas. Rona merah terpancar di wajahku, aku yakin. Namun aku tak punya waktu lama untuk menghilangkan rona merah itu sebab sirine kereta mulai berbunyi. Terlambat 15 menit dan aku segera menghambur di sisi rel saat melihat kereta mulai menerobos hujan, memasuki peron.

“Maaf, keretaku sudah datang. Aku permisi dulu. Selamat tinggal.” Aku bergegas. Dia hanya mengangguk dan mempersilahkan aku pergi dengan tatapan matanya. Sejenak saja dia mengamati punggungku untuk mengantarku sampai aku masuk ke dalam kereta.

Bayangannya masih sama. Di masih duduk di kursi kayu berwarna hitam itu, masih menatap bulir hujan yang mulai mereda, namun tak sepenuhnya reda. Bayangannya terbingkai pada kaca kereta yang mengembun karena hujan. Aku mengusap embun dengan telapak tanganku, bermasksud menangkap siluet tubuhnya lebih jelas, meski masih tersisa separuh hujan di sekitar tubuhnya. Terutama di wajahnya.

Dia menatap sekilas saja mataku, melumerkan senyum yang tipis dengan sorot mata berhujan miliknya. Aku balas tersenyum. Untuk terakhir kalinya, kuberanikan diriku mencuri tatapan mata itu. Sebelum kereta benar-benar berlalu, hingga siluetnya terlihat mengecil, semakin kecil kemudian menghilang oleh kabut yang belum sepenuhnya reda. Dia tidak tampak lagi. Hanya siluet abu-abu yang menghiasi jendela kereta siang itu, tanpa meninggalkan jejak berupa coretan tinta merah pada lembaran abu-abu itu atau apapun mengenai dirinya. Aku mendesah, diam, dan larut dengan lagu yang terdengar melalui handsfree ponselku sebelum semua berubah hening dan aku mulai memasuki separuh dunia yang baru saja aku bangun. Dunia tentang aku dan dirinya.

*

Itu adalah hujan pertama yang jatuh sejak terakhir kali aku melihat tatapan matanya menelanjangi rel basah yang meninggalkan sisa hujan. Beberapa bulan yang lalu. Di stasiun yang sama dan waktu yang sama.

Aku kembali, untuk melihat matanya. Mata berhujan yang entah sejak kapan mulai membayangi separuh mimpiku. Dan pelan-pelan mulai mengetuk pintu hatiku yang menghangat sejak hari itu. 

Aku akan melihatnya lagi, mata hujan itu.

Hujan turun, tepat saat aku mulai dekat pada stasiun yang kebetulan mempertemkanku dengannya.

Dia pasti di sana. Lelaki hujan yang menunggu hujan.

Sirine kereta terdengar sayup-sayup, roda kereta memelan. Aku menghapus embun yang memenuhi kaca kereta, untuk menangkap bayangannya.

Masihkah dia mengingatku, seperti aku selalu mengingatnya?

Pertanyaan-pertanyaan itu sirna sudah saat aku menapakkan kakiku menelusuri petak-petak rel menuju peron yang dingin namun hangat, peron yang selalu diguyur hujan. Ah, perasaan apa ini? Getaran apa ini? Kenapa sesuatu yang menyesak tiba-tiba mengetuk pintu hatiku. Bahkan senyum yang sedari tadi kukulum, hangus saat aku merekam apa yang aku lihat. 

Desir itu mulai terasa, entah sejak kapan, bahkan semakin menguat, menyesakkan, seiring dengan hujan yang menderas, hujan yang terperangkap di dalam matanya, bahkan mulai turun dari pelupuk mataku. Mengaburkan bayangan tentang dia, lelaki hujan, juga tentang mata itu, mata berhujan yang selalu bercerita dengan hujan.

Hhh... aku mendesah, menciptakan kepulan asap berwarna putih. Samar bergelayut sebentar di bibirku sebelum akhirnya terbang, hilang tak berbekas dan hanya menyisakan hawa dingin yang menggigilkan tubuhku.

Hujan masih turun deras, semakin deras. Kabut abu-abu perlahan menghangatkan stasiun. Kursi berwarna hitam itu masih sama, namun dia tidak lagi ada di sana. Dan aku masih duduk  seolah-olah ada di samingnya,   menunggunya untuk menunggu hujan kemudian sama-sama menyukai hujan.


Madiun, Juli 2011