Rabu, Juli 31, 2013

Saat aroma kopi itu menjauh,
kusadari bahwa kau
tak mungkin kutemui lagi.
Seperti aromamu yang terempas
oleh butir udara,
meninggalkanku dalam sunyi
yang dingin.


Sampai kusadari kau hadir,
menyergapku dalam diam,
mengembalikanku dalam kenangan.
Dan, menabur aroma yang sama
dengan apa yang telah kutinggalkan.
Ketika itulah aku pahami,
aku tak mungkin berpaling lagi.


Judul : The Coffee Memory, Ketika Aroma Cintamu Menyergapku
Penulis : Riawani Elyta
Penerbit : Bentang Pustaka (Pustaka Populer)
ISBN : 978-602-7888-20-3
Harga : Rp39.000,-

Kamis, Juli 25, 2013

Dari Barcelona, niat saya berkunjung ke Paris harus tertunda. Dan akhirnya saya memutuskan untuk mengunjungi London terlebih dulu bersama Gilang. Next destination menyusul ya :D

Setelah mengetahui bahwa Mbak Windry terlibat dalam proyek STPC yang digagas oleh Bukune dan Gagas Media, tidak butuh waktu lama bagi saya untuk membeli buku ini. Dan hasilnya, saya selesai membacanya dalam waktu yang relatif singkat.

Buku ini bercerita tentang Gilang, seorang editor yang merangkap sebagai penulis susah fokus, yang lebih dari enam tahun memendam perasaan pada sahabatnya sendiri, Ning, yang memutuskan melanjutkan pendidikan di Royal College of Art London. Ide gila itu bermula saat acara malam minggu di Bureau, secara spontan Gilang memutuskan untuk mengejar Ning ke London. Dan niat itu disambut baik oleh teman-temannya. Alhasil, setelah mengambil cuti selama delapan hari, dan mengurus semua perlengkapan, jadilah Gilang pergi ke kota itu.

Sesampainya di London, bukan bertemu Ning, Gilang justru bertemu dengan Goldilocks di London Eye, gadis berpayung merah yang berambut keemasan, yang misterius karena muncul saat hujan turun dan pergi di saat hujan reda. Sejak peristiwa di London Eye bersama Goldilocks dan sejak Goldilocks meninggalkan payung merah itu untuk Gilang, Gilang seolah selalu terhubung dengan gadis kaukasoid itu. Payung merahnya seolah memiliki daya magis yang luar biasa. Dimulai dari kisah V, lelaki berdagu mirip topeng Guy Fawkes yang memiliki masalah dengan mantan istrinya, Madam Ellis dan Mr. Lowesly yang memiliki kisah masa lalu rumit, hingga menyangkut Ning dan semua harapan juga perjuangan yang selama ini Gilang taruhkan.

Tidak seperti Memori yang menurut saya suram dan tenang, tidak juga seperti Montase yang menurut saya lincah dan ringan. London sama sekali berbeda. London justru lebih ‘nakal’ dan menggelitik. Di dalam novel London, saya menemukan banyak frame cerita yang memiliki penyelesaian sendiri-sendiri dan kembali pada muara yang sama, cinta. Saya jadi ingat salah satu pepatah Kafka yang berbunyi, ‘cinta itu ibarat mobil, ia tidaklah rumit. Yang menjadi persoalan hanyalah sopir, penumpang dan jalannya.’ Saya sepakat dengan itu. Ya, jauh sebelum kita lahir, Tuhan sudah menciptakan cinta menurut porsinya masing-masing. Yang menjadikannya rumit adalah jalan kita akan melabuhkan cinta itu, mengingat setiap orang tentu memiliki jalan cinta yang berbeda satu sama lain. Tidak semuanya menemukan kesedihan, tidak pula kebahagiaan. Dan di Novel ini saya merangkumnya menjadi sebuah kisah cinta yang utuh. Cinta yang meluaskan, cinta yang membebaskan, dalam lingkup yang sebenarnya.

Kau tidak belajar mencintai. Kau mencintai dengan sendirinya. (hlm. 297)

Barangkali klise, tapi manusia tidak lebih hanyalah lakon dalam sebuah pementasan. Manusia hanya bisa menerima. Termasuk pada cinta yang terkadang muncul secara tak terduga, cinta yang bersifat mutlak. Tidak seorang pun bisa menolaknya, bukan? Lantas pada akhirnya, manusia pun menerima meski terkadang cinta itu kerapkali menyisakan luka.

Siapa yang tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengobati luka hati? (hlm. 310)

Hal inilah yang mungkin sedang dialami Gilang. Jika dia bisa memilih, barangkali dia akan memilih untuk tidak mencintai Ning. Jika dia tahu bahwa dia akan terluka, barangkali dia akan memilih untuk tidak mencintai Ning.

Kalau saja kita jadi anak-anak selamanya, situasi rumit ini tidak akan pernah ada. (hlm. 295)

Barangkali, inilah yang dimaksud Kafka sebagai persoalan rumit.

Perihal cinta yang memiliki jalan sendiri-sendiri itulah awal saya mengalami sedikit kesulitan menemukan fokus dari cerita di novel ini. Tapi setelah mendekati ending, barulah saya mengerti. Dan barangkali saja, itu sebabnya novel ini mengambil tagline Angel. Sebab sebenarnya, itulah benang merah ceritanya. Cinta dan malaikat, sesuatu yang menarik untuk diperbincangkan.

“Tahukah kau apa yang turun bersama hujan?”
Aku menggeleng.
“Malaikat,” kata lelaki itu. Suaranya berubah pelan, seolah-olah dia sedang membisikkan rahasia kepadaku. (hlm. 126)

Bersama malaikat hujan lah, London akhirnya membuat saya jatuh cinta pada Gilang. Seperti biasa, dengan kekuatan detil cerita, mbak Windry selalu bisa menciptakan plot yang enak dibaca. Konflik yang pas, informasi yang tidak menggurui. Dibumbui setting London dan hujan di bulan September, bau daun kering dan sebagainya, novel ini romantis tanpa harus menggunakan banyak kata picisan yang terkesan mendayu-dayu, ataupun kontak fisik antartokoh ala harlequin yang menjadi prioritas.

Well, di dalam novel ini saya belajar banyak hal. Terlebih tentang sesuatu yang memang harus diperjuangkan, apapun itu. Dan sepahit apapun itu, perjuangan pasti tidak akan pernah berakhir sia-sia. J

Menunggu cinta bukan sesuatu yang sia-sia, menunggu seseorang yang tidak mungkin kembali, itu baru sia-sia (hlm. 247)





Judul : London : Angel
Penulis : Windry Ramadhina
Penerbit : Gagas Media
Cetakan Pertama : Juli 2013
Ukuran : 13 x 19 cm
Tebal : 340 hlm
ISBN : 979-780-653-7
Price : Rp. 52. 000,-




Jakarta, Juli 2013
Pagi hari. Selepas hujan di pertengahan bulan September. Untuk pertama kalinya aku menerima sebuah surat dan sebuah kartu pos dari London. Surat itu dikirimkan oleh seorang yang tidak sengaja kukenal lewat dunia maya yang lantas kutemui beberapa waktu lalu. Namanya Gilang. 

Akan kuceritakan sedikit.

Gilang, yeah, lelaki maniak Fitzgerald itu kukenal lewat akun fanpage yang sama di Facebook. Memakai foto profil penulis itu dan secara tidak sengaja dia mengirimiku pesan singkat yang memberitahukan bahwa dia mempunyai buku Orwell yang selamaini kucari-cari. Entah aku yang sinting, atau dia yang gila. Aku mencari buku Orwell di fanpage Fitzgerald dan menemukan satu alien terdampar di inbox-ku dan alien itu menanggapi permintaanku di sebuah komentar yang sengaja kutinggalkan. Parahnya, dengan mengatasnamakan Orwell, alien itu mengajakku bertemu di Galeri Nasional di kawasan Gambir. Demi Orwell dan―kurasa aku harus meminta maaf pada Orwell, baru kali ini aku bertemu seorang maniak sastra di galeri seni rupa. Ini tidak lucu, kecuali jika dia juga pengagum berat Piccaso atau Monet atau Dali atau sederetan nama pelukis beraliran abstrak dan surealis yang sama sekali tidak kumengerti.

Rabu, Juli 24, 2013

Minggu ini banyak penghuni baru yang datang ke kost, dan saya gembira :D

Beberapa hari yang lalu, saya mendapat kiriman dari Jojo. Berisi dua buah buku Kiera Cass versi terjemahan yang sempat dia ceritakan kepada saya. Liburan kemarin saya memutuskan pergi ke sebuah lapak komik bekas di kawasan Blok M dan memutuskan untuk membeli beberapa komik, beberapa yang saya beli adalah komik lama yang sudah pernah saya baca sewaktu kecil dan beberapa komik terbitan baru. Meski bekas tapi masih memiliki kondisi yang lumayan dan yang penting murah :P. Dan di sana juga, secara tidak sengaja, saya menemukan Salju Kilimanjaro-nya Hemingway yang sudah lama saya cari, yay! :D Bapak yang jualnya baik, di tempat itu juga saya menemukan Cleopatra :D

Dan kegembiraan saya bertambah lagi, ketika saya (kembali) mendapat paket dari sebuah toko buku online, berisi sebuah novel terbaru Mbak Windry, London, dan novel Rahasia Sunyi Mas Anindito. :D

Karena belakangan ini saya kepayahan dan lumayan stress sama kerjaan, saya tidak tahu kapan buku-buku itu kelar saya baca (mengingat banyak sekali list buku lama yang belum tersentuh) <~ mendadak sok sibuk L. Tapi saya masih sempat membaca komik ketika mau tidur dengan harapan bisa memimpikan salah satu tokoh di dalam komik itu, karena komik lebih ringan dari novel. Dan, belakangan ini saya jatuh cinta sama salah satu tokoh komik yang saya baca lho. Lebih tepatnya, saya kembali jatuh cinta pada tokoh komik. Saya memang gampang sekali menyukai tokoh di dalam komik atau buku yang saya baca dan parahnya mereka itu menjadi pemicu galau berhari-hari, halah! :D

Barangkali menyedihkan ya, tapi bagi saya itu menggembirakan sekali, hahaha. Saat saya sedang jenuh dengan kehidupan di dunia nyata, saya justru menemukan dunia saya di dalam buku, di dalam dunia imajinasi yang bahkan tidak semua orang mengetahuinya. Saya seolah tersesat ke dalam dunia saya sendiri. Dan di dunia itu, saya berdialog bersama tokoh-tokoh rekaan yang bahkan sama sekali tidak ada di dunia nyata (jadi curcol ya). Itulah kenapa saya betah berlama-lama di lapak komik bekas (semoga bapak yang jual komiknya gak keberatan saya lama-lama di situ :P), atau di perpustakaan, atau di toko buku. Melihat komik-komik dan buku-buku berjejer di rak-rak, membuat mata saya berubah menjadi hijau $_$ Ini sama menggembirakannya ketika saya melihat kereta *beda fokus*

Teman dan saudara saya bilang, saya aneh (ini bukan bermaksud memuji diri sendiri lho :P). Hahaha, saya nggak peduli. Yang terpenting, saya merasa bebas di dunia ‘aneh’ itu dan, saya enggan keluar. J Bagi saya, dunia itulah yang bisa menerima saya apa adanya. saya bebas berekspresi sesuka hati saya tanpa ada seorang pun yang protes (Contohnya : Tokoh-tokoh yang saya ciptakan tidak pernah protes ketika saya siksa dia) hahaha, <~ yang ini jangan dicontoh xD

Barangkali teman-teman saya berpikir saya sudah mulai gila ya, hahaha. :D. 

Tidak masalah, yang penting saya gembira sekali. :D

Dan dengan kedatangan 'tamu baru' itu, otomatis saya harus pintar menyisihkan waktu untuk membaca (jangan malah online mulu :P). Saya berdoa, semoga mereka cocok dengan saya ya, mengingat saya susah sekali cocok dengan gaya bercerita yang 'nggak saya banget' :)).





Dan kalau misal ada yang tanya, "Sebenarnya inti dari postingan ini apa?"
Saya akan jawab. "Nggak ada." Hahaha :P
P.S : Judulnya aja agak nggak nyambung sama isinya, hahaha :P


Jakarta, Juli 2013

Jumat, Juli 19, 2013

Gambar pinjam dari sini


Hai kau, apa kabar? Lama tidak bertemu.

Kau sibuk apa sekarang? Masih sering berkunjung ke perpustakaan?

Belakangan ini aku sibuk dengan tugas kuliah, serta tumpukan laporan toko yang membuatku harus begadang tiap malam. Oh ya, belum kuperkenalkan ya. Selain kuliah, aku juga mulai bekerja part time di sebuah toko handicraft yang mengkhususkan pada teknik menyulam. Aku menyukai pekerjaan itu, karena membuatku terlihat menjadi seperti wanita di komik-komik. (Mungkin kau jadi berpikir ya, kalau otakku dipenuhi komik. Hahaha.)

Minggu, Juli 07, 2013



Lalalala, saya punya hobi baru :D dan hobi baru itu adalah gambar sketsa wajah teman-teman saya, yay! :D Hobi ini bermula dari keisengan saya, tapi lama-lama menyenangkan juga :D
Ini beberapa sketsa foto teman yang sudah menjadi korban saya :D


Ini adalah sketsa Diego :D
Yang ini sketsa Jojo :D

Kalau yang ini sketsanya Mas Ang :D

Dan yang ini sketsanya Om Saman :D
Makasih banyak buat teman-teman di atas yang fotonya boleh saya jadikan korban keisengan saya. :P


Jakarta, July 2013

Sudah nyaris pagi dan saya belum bisa tidur.

Saya merasa inilah titik kejenuhan saya. Kejenuhan pada segala yang ada di sekitar saya. Teman-teman saya, pekerjaan saya, bahkan hobi menulis saya yang sangat saya sukai. Apa yang membuat saya seperti itu? Saya tidak tahu.

Ini bukan masalah yang besar tapi sempat membuat saya skeptis luar biasa. Tentunya saya tidak berhak menghakimi segala hal yang berjalan di sekitar saya karena itu berarti saya juga menyalahkan Sang Pemberi Hidup ini.
Ini surat pertamaku.

Hei, kau, apa kau pernah merasa jatuh cinta? Kupikir jatuh cinta itu hanya bisa dialami oleh gadis-gadis di manga yang kubaca. Tapi ternyata aku salah.

*

Untuk sampai ke Perpustakaan Nasional, aku harus menempuh perjalanan sekitar 45 menit menggunakan bus kota. Awalnya aku hanya mengunjungi perpustakaan itu di akhir pekan jika bahan bacaanku telah habis kubaca. Tapi belakangan ini, intensitasku mengunjungi perpustakaan menjadi lebih sering dibanding biasanya. Dan itu karena..., kau. Ya, kau.

gambar pinjam di sini