Sabtu, Juni 16, 2012

Suatu hari, kau mengajakku menggembala sapi di suatu padang rumput yang luas. Angin beriak. Dan embun masih malu-malu, mengintip sinar matahari dari balik reranting trembesi.

Di sana kau duduk di bawah pohon, meniup seruling dan membaca beberapa bait puisi. Sementara aku berlarian mengejar kupu kupu musim panas yang beraneka warna.

Kita tertawa, merasakan hangat pagi dengan perasaan gembira.

"Hari ini cerah sekali," kataku. Peluh sudah menganak sungai di setiap ceruk wajahku. Nafasku naik turun. Lalu dengan senyum yang masih mengembang di bibir, aku merentangkan tanganku. Menatap langit dengan beralaskan rumput. Aku memejamkan mata sejenak. Sayup-sayup serulingmu menjadi melodi paling merdu pagi itu.

"Aku ingin kau mengajakku terus kesini."

Kau menghentikan permainan.serulingmu, menatapku meski aku tahu itu.

Kemudian kau pun ikut merebahkan tubuhmu. Sama-sama menatap arakan awan yang bergerak pelan. Angin sertamerta menyibakkan dedaunan trembesi dan menjadikannya irama alam yang merdu. Lembut dia menyentuh riak rambut kita, menyejukkan peluh tetes di sepanjang lekukan wajah.

Kau menatap langit tanpa bersuara. Seulas senyum samar menghiasi wajahmu yang ranum. Kau pejamkan matamu sejenak, seperti aku. Dan kita merasakan pagj yang hening. Pagi yang syahdu.

"Menyenangkan sekali tidur dengan cara seperti ini. Beratapkan langit, merasa angin dan sinar matahari langsung menerpa tubuh," katamu.

"Aku merasa bebas."

"Aku juga."

"Alam memiliki segala hal yang kita punya," katamu. "Tapi kita tidak menyadarinya."

"Itulah sebabnya kau sering membaca puisi di sini?" aku bertanya. Memalingkan wajah ke arahmu. Kau masih menatap langit. Aku melihat jelas lekukan wajahmu, matamu, bulu matamu, alismu, hidungmu, bibirmu.

"Puisi adalah caraku menghargai alam. Merasakan keindahannya dengan menuliskannya dalam setiap sajak."

Aku membangkitkan tubuhku. Merentangkan tangan dan tersenyum lebar.

"Lain kali kau harus mengajariku bagaimana caranya membuat puisi. Aku juga ingin berdamai dengan alam dengan cara yang sama seperti caramu," kataku. Kau menyambutnya dengan tawa renyah yang membuat matamu kian menyipit.

"Sini, pinjamkan serulingnya. Aku mau membaca puisi."

Kau masih tertawa melihatku tampak berantakan memainkan seruling dan membaca puisi dengan gaya seperti yang biasa kita lihat di tivi-tivi.


Jakarta, 16 Juni 2012


Published with Blogger-droid v2.0.4

Jumat, Juni 15, 2012

"Apa sih menariknya kereta yang melaju pelan?" Suatu hari, Radit pernah bertanya pada Resita, tentang kebiasaan gadis itu menunggu kereta Gayabaru lewat dan menyusur rel Madiun yang lengang. Itu adalah hari Selasa. Hari dimana Radit selalu membonceng gadis itu dengan sepeda matiknya sepulang kerja dan menyempatkan diri menjemputnya dari kampus.

Resita hanya tersenyum tanpa mengucap sepatah kata pun. Meski mendumal, nyatanya Radit selalu menuruti kemauannya. Menghentikan motornya dan menunggu kereta Gayabaru lewat.

Mereka telah sampai di sebuah jalan yang tepat menghadap rel kereta api di sepanjang pematang sawah. Langit melukiskan semburat ungu di ufuk  barat. Sementara lampu-lampu jalan mulai dinyalakan, membuat bunga flamboyan di sepanjang jalan memantulkan cahaya orange yang terang.

Resita turun dari motor Radit. Berdiri dengan ujung rok yang tertiup angin. Sementara Radit, dengan ekspresi sedikit kesal akan menopang dagunya di atas motor. Mengamati gadis itu dengan matanya yang itu.

"Kau aneh," dia menyelutuk tapi gadis itu tidak peduli. "Apa sih menariknya menunggu kereta lewat dan melaju pelan?"

"Suatu saat kau akan rajin mengirim sms padaku tiap kali kereta melaju pelan di stasiunmu. Sekedar mengabarkan padaku dan mengingat kenangan ini. Bukankah kau dulu sering memberitahuku setiap kali ada kereta lewat?" gadis itu tertawa renyah. Menampilkan senyum dan deretan giginya yang rapi.

Radit tidak bergeming. Dia pura-pura tidak mendengar ucapan Resita yang mengacaukan pikirannya.

Matahari hampir tenggelam. Burung-burung senja beterbangan menyusur langit saga, seperti hendak pulang setelah seharian mencari makanan meski harus bertaruh dengan petani-petani. Jam merangkak. Sisa-sisa bajakan sawah sengaja dibiarkan begitu saja sebelum pagi mencipta hari lagi dan petani-petani itu siap membajak lagi.

Petani-petani itu pulang dengan wajah letih dan peluh yang menetes di setiap ceruk wajahnya yang terbakar matahari. Pulang dengan perut yang mulai keroncongan. Pulang dengan harapan mendapat masakan paling enak dari istri-istri mereka, seperti saat siang hari, ketika mereka mendapat bekal sederhana dan menikmatinya dengan lahap di sebuah gubuk di pematang sawah. Meski begitu, itu adalah wajah-wajah bahagia yang diam-diam selalu Resita abadikan melalui kenangan. Resita suka spotan mengambil foto petani-petani itu dengan kamera digitalnya. Dia suka melihat ekspresi mereka. Ekspresi yang dia sebut sebagai wujud dari cinta kasih, seperti kedua orang tuanya.

Gadis itu teringat kenangan masa kecilnya bersama Radit. Dia tersenyum, mengamati Radit dengan ekspresinya yang kesal. Lelaki itu menyematkan sebatang ilalang di mulutnya, menggigit-gigitnya. Itu adalah ekpresi yang Resita suka jika Radit terlihat bosan.

_KLIK_

Ada blitz kamera yang tiba-tiba mengenai wajah Radit. Dalam sekejap, Resita sudah bisa mengambil wajah Radit melalui kameranya. Dia tersenyum puas, membuat Radit salah tingkah.

“Apa yang kau lakukan barusan?” Rona merah meyembul di wajah Radit. Dia tidak suka jika Resita diam-diam mencuri fotonya. Sudah sering gadis itu mencuri gambarnya, tapi dia tidak bisa melakukan apa-apa selain pura-pura cemberut.

Gadis itu masih tertawa. Tawa lepas. Seperti angin. Angin sore itu.

"Keretanya sudah lewat. Kau mau menunggu sampai kapan lagi? Jangan salahkan aku jika aku terlambat membawamu pulang." Radit terus mendumal, bukan pemandangan yang asing bagi Resita sebab dia sudah hafal kebiasaan Radit di luar kepalanya.

"Ibu akan mengerti. Ibu sudah hafal kebiasaanku," gadis itu berkilah. Dia cepat-cepat memasukkan kameranya ke dalam tas. "Lain kali kau tidak usah menjemputku saja. Aku hanya akan merepotkanmu."

"Apa kau gila? Mana mungkin aku tega membiarkanmu pulang sendiri? Apa yang akan dikatakan ibumu jika melihatmu pulang sendiri? Ayo cepat naik,aku sudah lapar."

Namanya Raditya Wirangga. Tapi gadis itu suka memanggilnya Radit. Memiliki postur tinggi kurus dengan kacamata kotak yang senantiasa bersandar di pangkal hidungnya yang mancung, Radit digilai banyak wanita semasa sekolah dulu.  Meski dia kadang cerewet, tapi dia adalah teman yang baik dan perhatian. Rumah mereka searah tapi lumayan berjarak jauh. Resita dan Radit sudah berteman sejak kecil, sejak mereka masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak. Gadis itu ingat, dulu Radit adalah anak yang cengeng. Dia kerap menangis di sekolah hanya karena pensilnya patah atau karena makanannya jatuh ke kolam saat mereka berdua melihat ikan emas berenang di kolam sekolah saat jam isirahat.

Semasa sekolah dulu, Resita memang terkesan badung dan tomboy. Teman-teman yang sudah membuat Radit menangis pasti akan berurusan dengannya. Sehingga gadis itulah yang saat itu seolah berperan menjadi kakak bagi Radit. Yang melindunginya dari kejahilan teman-teman. Seperti ketika ayah Radit meninggal saat dia duduk di bangku SMP, Resitalah yang menenangkannya. Memeluknya diam-diam di sebuah sudut ruangan agar tidak terlihat air matanya yang meleleh. Sejak ayahnya meninggal, Radit memang selalu tampak baik-baik saja di depan ibunya, tapi tidak di depan gadis itu. Di depan Resita, dia terlihat rapuh dan kerap menumpahkan tangisnya di bahu gadis itu.

"Bagaimana kuliahmu hari ini?" Radit bertanya pada Resita. Motor matiknya melaju dengan kecepatan standart. Suaranya yang tertelan angin membelah kesunyian dan lamunan singkat gadis itu tentang masa lalu.

"Bulan depan aku mungkin akan sibuk. Sudah mulai PKL dan harus menyiapkan kesehatan sebaik mungkin," jawab Resita. "Kau jadi melanjutkan kuliah?" Gadis itu ganti bertanya. Sekejap saja pembicaraan mereka mulai beralih topik.

"Mungkin." Dia menjawab singkat. "Tapi mungkin aku akan ke luar kota."

Sayup sayup adzan Magrib menggema melalui toa yang dipasang tinggi-tinggi di atas mushola.

"Ibuku ingin aku menjadi berguna untuk orang lain."

"Semua orang tua pasti berkeinginan seperi itu."

Radit tersenyum menjawab komentar Resita. "Aku sudah mendiskusikannya dengan ibuku. Dan Ibu menyerahkan semua keputusannya padaku."

"Lalu apa rencanamu?"

"Mungkin aku akan ikut tes beberapa bulan ke depan. Kalau misal lolos, berarti aku harus berangkat ke luar kota."

"Kalau tidak lolos?"

"Mungkin akan melanjutkan di sini, mengambil keguruan dan mengajar anak-anak SD setelah lulus. Atau menekuni pekerjaan di Dipo lokomotif."

Resita tersenyum mendengar jawabannya.

Sejak dulu, Radit memang ingin sekali menjadi dokter. Perihal kenangan tentang ayahnya yang terlambat mendapat penanganan sehingga mengorbankan nyawanya. Sejak itu dia bertekad mengejar mimpinya, meski kondisi ekonomi kerap kali membuatnya tertatih. Tapi Resita senang melihat perjuangannya dan tekadnya juga mimpinya yang besar. Tanpa sadar, hal itu membuat Radit bertambah dewasa sedikit demi sedikit.

"Terimakasih sudah mengantar sampai rumah." Motor matiknya berhenti tepat di pekarangan rumah Resita. "Sampaikan salamku pada ibumu ya. Kelak beliau akan bangga padamu." dia menepuk bahu Radit.

Radit tersenyum. "Tidak perlu menghiburku. Sudah, sana masuk. Jangan membuat ibumu khawatir lebih lama lagi," katanya.

"Kau tidak mampir dulu?"

"Lain kali saja. Aku pamit. Salam untuk Ibumu." Radit memakai helmnya lagi dan memacu motor matiknya berlalu dari hadapan gadis itu.

Saat itu senja sudah benar benar tenggelam. Resita mengulum senyumnya kemudian mengayunkan langkah menuju rumah.


Jakarta, 15 Juni 2012


Published with Blogger-droid v2.0.4