Pagi berkabut dengan sisa ampo yang belum mengering bercampur aroma bunga kopi yang menguar memenuhi setiap sudut kamar kecil saya, saya mulai membuka laptop untuk menulis seperti biasa dan melihat lagu itu masih ada di dalam folder laptop saya. Lagu yang entah sejak kapan tidak pernah lagi terdengar mengalun di sudut kamar saya. Bukan karena saya mulai bosan dengan lagu yang pernah kamu nyanyikan untuk saya di penghujung telepon, melainkan saya enggan memutarnya kembali. Saya enggan membuka lembaran kenangan yang diam-diam saya simpan di dalam sudut terdalam hati saya, dan menguncinya rapat-rapat agar saya tidak bisa membukanya lagi. 

Saya enggan mengingat kenangan itu, kenangan yang hanya akan membuat saya tertawa dan tersenyum setiap kali namamu mengisi hampir seluruh inbox di dalam ponsel saya lantas pelan-pelan merayap ke dalam alam bawah sadar saya hingga saya takut memejamkan mata. Perasaan yang salah, perasaan yang seharusnya tidak pernah ada dan tidak seharusnya saya rasakan memenuhi hari-hari berwarna saya saat bersamamu. 
Saya buka winamp dan kembali memutar lagu itu pada akhirnya.
Saya diam sejenak, membiarkan lamunan saya berkelana sampai kepada batas yang sulit saya jangkau. Saya masih diam, membiarkan lantunan lirik-lirik itu memenuhi telinga saya dan merangkainya menjadi bait-bait yang mengingatkan saya pada kenangan itu. Malam itu, saat separuh langit mulai berwarna abu-abu dan hujan mulai turun satu-satu mengaburkan kaca jendela kamar saya. Kamu mulai tertawa di ujung telepon dengan suara yang lirih namun masih bisa saya dengar. Saya diam, membayangkan raut wajahmu, membayangkan senyum itu, membayangkanmu yang berdiri di depan saya, namun tiba-tiba semua hilang saat saya mendengar suaramu kembali menyadarkan lamunan saya.
Saya tersenyum, kamu masih ada di sana. Masih menyanyikan lagu itu, meski bukan untuk saya.
“Saya ingin jadi perempuan,” Suatu hari saya pernah berkata seolah sedang menyaksikan diri saya sendiri dalam wujud bayangan seorang wanita berkerudung biru langit yang menutup bagian atas tubuhnya. Wanita yang sedang berdiri tepat di depan mata saya, dengan seorang bayi yang tampak hangat di gendongannya serta seorang lelaki yang sedang melepas jaket hitamnya lalu memakaikannya pada wanita itu. Hujan mulai membasahi setiap ceruk toko, tempat kita berhenti menatap hujan dan menunggunya sampai benar-benar habis. Saya kedinginan, namun perlahan saya merasakan kehangatan saat menangkap bayangan keluarga kecil yang tampak bahagia itu.
Kamu palingkan wajahmu kepada saya, namun saya tahu, kamu tidak benar-benar menatap mata saya yang masih membingkai lukisan keluarga kecil itu. “Memangnya kamu sekarang bencong?” Kamu tertawa. Lagi, seperti melukiskan wujud diri saya sendiri dengan ratusan cat warna-warni yang mengelilingi kanvas putih saat saya bersamamu. Kamu selalu bisa membuat saya tersenyum, bahkan mampu menghangatkan hati saya yang menggigil hanya dengan sebaris kata yang terkesan tidak penting, namun saya selalu menantikannya menyapa telinga ataupun ponsel saya.
“Saya ingin, suatu hari nanti, saya bisa menjadi ‘bidadari’ seperti perempuan itu. Yang mengabdi sepenuh hati pada seorang laki-laki yang akan memimpin saya, di dunia, di surga,” kata saya. Mencoba mengumpulkan serta merangkai kepingan bayangan yang bergelayut di benak saya. Membayangkan bahwa kamulah yang suatu saat akan mempimpin saya menuju surga yang Dia ridhai. Tidak, saya tidak pantas membayangkan hal itu. Masih terlalu jauh dan saya tidak cukup berani mendahului apa yang Tuhan kehendakkan kepada saya.
Saya juga masih mengingat pertemuan-pertemuan kita selanjutnya. Saat kamu berada di sisi saya sepanjang siang hingga senja diam-diam mulai mengintip di balik awan abu-abu dan mengantar kita berdua menapak jejak dengan sepeda tua yang selalu kamu ceritakan kepada saya.
Semua itulah yang selalu saya tulis diam-diam. Saya seperti tidak pernah lelah menjadikanmu tokoh utama dalam fiksi-fiksi yang selalu saya tulis, diam-diam. Namun kali ini, microsoft word di laptop saya masih kosong, hanya ada sebuah kursor yang berkedip-kedip tanpa satu huruf pun. Saya mendesah. Menghapus lumeran dingin yang entah sejak kapan membasahi pipi saya. Terasa sesak meski akhirnya saya merasa hati saya menghangat secara tiba-tiba.
Saya takut, saya tidak bisa membiarkan perasaan saya terlampau jauh menghantui saya. Saya tidak bisa terus menerus memerangkap dirimu dalam ego saya, dalam fiksi-fiksi saya yang mungkin akan membuatmu merasakan sesak yang sama dengan apa yang saya rasakan. Bukankah kamu selalu bilang bahwa saya dan kamu hanya sebatas teman baik? Teman yang saling mengisi, teman yang saling mengingatkan, teman yang saling menguatkan. Meski selebihnya ada ngilu yang perlahan mengetuk pintu hati saya kemudian benar-benar menyadarkan saya bahwa memang kata itulah yang seharusnya mengikat kita, saya dan kamu.
Saya juga tidak ingin berpura-pura, tidak ingin terus membohongi hati saya bahwa kehangatan yang saya rasakan jauh lebih besar dari apa yang biasa saya sebut sebagai kehangatan saat bersama sahabat. Namun saya tidak cukup berani mengakuinya atau mungkin tidak mampu? Saya takut, saya takut jika kamu tiba-tiba menghilang seperti masa lalu yang pernah saya rasakan sebelum bertemu denganmu. Saya takut jika hangat yang perlahan tercipta akan menghilang dan meninggalkan luka dingin yang sempat saya rasakan sebelum bertemu denganmu. Saya tidak siap jika tiba-tiba harus kehilangan kebersamaan itu, mengubah dunia yang semula terasa sangat canggung menjadi dunia penuh gelak tawa seperti sekarang.
Sesak itu kembali menggelayuti dunia muram saya. Playlist winamp saya belum beralih dari lagu yang dulu pernah kamu nyanyikan di ujung telepon. Saya klik tombol stop. Saya tutup winamp saya. Kini sebuah foto mulai memenuhi layar laptop saya. Foto beberapa bulan silam yang kamu ambil dari ponselmu saat kamu tengah bersama saya. Di dalam foto itu kamu tersenyum samar, dan saya yang berada di dekatmu dengan wajah malu karena tidak biasa difoto. Saya sentuh wajah itu dengan tangan bergetar. Saya tersenyum dengan kehangatan yang masih belum berubah dan sesak yang masih terasa sama.
Mata saya kembali basah. Saya raih ponsel saya, mencari namamu di kontak telepon saya. Dan dengan ragu-ragu saya tekan tombol call dan langsung menekan tombol end sebelum terdengar nada sambung dari dalam ponsel saya. Dengan tangan gemetar dan degup yang susah saya dekripsikan, saya letakkan kembali ponsel yang masih berhiaskan namamu.
Saya tatap foto itu, lama, sebelum saya mematikan laptop saya tanpa berhasil menuliskan apapun.
*

I really was to blame
Will i ever get to meet you again?
I can’t even imagine that


“Rain?” Setelah bertahun-tahun kamu menghilang entah dimana, saya tidak percaya bahwa Tuhan ternyata masih mempertemukan kita dengan cara tidak terduga seperti ini.
Benar kamu kan?
Kamu mendongak, sedikit kaget melihat saya tiba-tiba berdiri di depanmu. Ternyata kamu masih sama. Kamu masih seperti Rain yang saya kenal dulu, kamu masih memiliki mata yang selalu mengingatkan saya pada hujan yang mulai jarang turun sejak saya tidak pernah lagi bertemu denganmu.
Desir itu kembali menjalar. Kian menguat dan membuat saya nyaris tidak bisa bernapas.
“Nasha?” Suaramu tergagap, namun tak sedikit pun menghilangkan rona merah yang tersembul samar di kedua pipimu yang langsat.
“Tidak perlu pura-pura lupa.” Saya tersenyum. Kamu dengan sigap segera mengulurkan tanganmu untuk menjabat tangan saya, namun saya segera menangkupkan tangan saya di depan dada. “Maaf, saya gak bisa lama-lama Rain. Kasihan adik saya nungguin.”
“Gak apa, Sha. Kereta saya sudah mau berangkat lagi.” Entah sorot apa yang tersembunyi di balik mata behujan itu, saya tidak pernah bisa menelusurinya. Matamu terlihat berseri untuk sejenak kemudian kembali teduh dan tenang seperti biasa.
Saya tersenyum, kini dengan mata yang enggan menatap wajahmu. Namun saya bisa merasakan bahwa kamu sedang memerangkap bayangan saya di cermin matamu yang teduh itu.
Kereta yang akan kamu dan adik saya tumpangi, sebentar lagi akan datang. Ujung jilbab biru saya tertiup angin saat saya berlalu dari hadapanmu, menuju ke arah di mana sudah ada adik saya di sana. Ya, kamu benar. Saya sudah memakainya, Rain. Saya sudah selangkah menjadi wanita seperti yang pernah saya dan kamu lihat di toko itu. Dan saya merasa hati saya kian sejuk dan hangat. Seperti menemukan kembali kerinduan yang sekian lama saya cari. Saya tersenyum, masih merasakan desir yang semakin menyesakkan hati saya. Jika sesak yang saya rasakan mampu membuatmu tetap berada di dekat saya, biarkan dia tetap mengendap dalam diam. Menanti saat yang tepat untuk membiarkannya berlari, mendekap erat. Atau mungkin, justru membiarkannya pergi, perlahan. Saya hanya mampu berpasrah, menyerahkan semuanya kepada Yang Maha Tahu. Biarkan Dia yang menjaga hati saya, begitu juga dengan hatimu. Yang pasti untuk sekarang, saya ingin menikmati kebersamaan kita, Rain. Kebersamaan saat tidak ada perasaan lain yang meneror kita, kebersamaan saat kita biasa bercanda tentang apa saja tanpa harus sembunyi-sembunyi menghindari perasaan kita, kebersamaan saat kita menulis cerita-cerita secara estafet lewat pesan-pesan singkat, kebersamaan saat saya tertawa jika sudah berhasil membuat mukamu merah begitu juga sebaliknya. Kebersamaan kita sebagai sahabat. Biarkan persahabatan itu menghiasi hari-hari saya dan menemukan sendiri muaranya, Rain. Begitu saja, cukup begitu saja.


For a long time you’ve been in my heart
Much time passed and still you’re far away
But i will stay alive



 Madiun, Juli 2011