Kemarin saya pulang terlambat, dan tiba-tiba melihat sebuah buku berwarna merah di rak meja belajar saya. Buku dari seorang sahabat yang saya kenal di dunia maya. Sebelum dia mengirim buku itu kepada saya, dia memberitahu saya jika dia sangat terkesan dengan cerpen-cerpen Franz Kafka. Dia merekomendasikan salah satu cerpen Kafka kepada saya. Karena saya penasaran, akhirnya saya browsing dan menemukan beberapa cerpen Kafka di internet. Yang semakin membuat saya penasaran adalah novel Kafka yang berjudul Metamorfosis dan dicetak pertama kali pada tahun 1915. Saya kemudian bercerita dengan teman saya, membahas tentang Kafka melalui sms hingga dia menemukan buku Kafka di perpustakaan kampusnya. Dia lalu memberitahu saya, menanyakan kemauan saya terhadap buku itu dan berniat mengopinya sama persis untuk saya sebab saya kesulitan menemukan buku Kafka di toko-toko buku.
Dan kemarin, saya melihat buku itu ada di kamar saya. Saya membuka halaman-halamannya dan menemukan dua lembar goresan tinta teman saya yang berisi motivasi, dan dorongan kepada saya untuk selalu menulis serta berani mengambil pilihan dan resiko untuk mewujudkan apa yang kami sebut sebagai impian. Berproses dan terus berproses, semacam bermetamorfosis.
Sungguh, saya sangat terkesan, saya terharu dan sangat berterima kasih kepadanya. Terimakasih untuk kiriman bukunya. Terimakasih untuk semangatnya juga pelajaran-pelajaran yang selama ini kamu berikan kepada saya, meski hanya lewat sms dan beberapa syair yang terkadang sulit saya mengerti. Suatu hari saya ingin melihatmu menjadi penyair seperti apa yang pernah kamu utarakan kepada saya beberapa bulan yang lalu. Dan tahukah kamu, kata Mas El kamu sudah mencapainya. Dengan kerja keras kamu, dengan kemauan dan semangat kamu yang tidak pernah berhenti belajar. Dengan tekad kamu, juga dengan sunyi. Let’s write to live, katamu. Ya, benar. Kita menulis untuk hidup. Kita menulis karena itu pilihan kita dan jalan kita. Meski pada awalnya terasa menyakitkan dan sulit diterima, tapi saya yakin kita bisa mencapainya.
Pilihan
Duka di ujung nafas jarum jam
Menitikkan kristal airmata darah
Cahaya di mata kelam pedang
Menajamkan tualang bintang basah
Andhy Kh
Yogyakarta, 24 Juni 2011
Sita, mari belajar membuat pilihan. Apapun itu, kita hidup adalah untuk memilih. Aku rasa itu sakit dan butuh perjuangan. Hingga “menitikkan air mata darah.” Tapi nanti, pada saatnya kita mengerti “tualang” kita menjadi sejarah yang selalu diingat “basah” dalam kenangan. Yang pahit menjadi manis.
Pepohonan
Franz Kafka
Sebab kita bagaikan batang-batang pohon dalam salju
Tampaknya mereka terpecak
dengan ringkih,
sehingga sedikit dorongan pun cukup
membuat mereka runtuh.
Nyatanya tak semudah kelihatannya,
Sebab mereka tertanam kuat-kuat
pada tanah
tapi, lihatlah, itu pun hanya kelihatannya saja
Mari, banyak hal yang tidak seperti kelihatannya. Artinya, banyak celah untuk mendapatkannya. Proses (usaha kita). Let’s write to live!
Tapi, justru orang-orang dalam sunyi seperti dialah yang kurasa paling cocok dikatakan penulis.
Tentang mimpi-mimpi, aku pun seperti tak sejalan dengan mimpi ibuku. Tapi, marilah kita llihat!
Aku yakin, suatu saat nanti kita akan sama menjadi apa yang bisa membuat mereka bahagia dan bangga terhadap kita! Seperti kata D. Zamawi Imron, “aku anak ibuku”, sebagai anak ibu pasti kita bisa melakukannya!
Kelihatannya aneh, aku memandang Kafka dengan penuh tanda tanya.
Untuk apa dia menulis?
Ini kata-kata Mas El :
Sangat, Kafka gak niat jadi penulis, dia alergi pubilitas. Karya-karyanya diterbitkan setelah dia meninggal. Sebelum meinggal dia berwasiat untuk agar tulisan-tulisannya dibakar. Tapi temannya malah nekat menerbitkannya. Hidupnya Kafka memang penuh penderitaan.
“jangan buru-buru. Yang cepat bergegas cepat menjadi pangkas.”
Yogya, 25 Juni 2011
Andhy Kh
Saya sangat terkesan. Terimakasih banyak Andhy, terimakasih. :)
saya juga terkesan. :)
BalasHapus:)
BalasHapusWaa... *speechless*
BalasHapusKita hidup untuk memilih
Setuju :)
makasih alvii :D
BalasHapus