Satu-satunya hal yang saya ingat adalah penghabisan senja dimana dedaunan kuning itu sudah meranggas, meninggalkan dahan-dahan pohon mapple yang kurus dan berangsur-angsur telanjang. Masih sama seperti detik-detik sebelumnya, udara beberapa hari ini mulai mendingin dan senja beranjak karam di balik kokoh bangunan menjulang seperti menembus langit. Saya mematung di bawah salah sau pohon yang tampak gelisah karena satu-satunya daun yang menemaninya sepanjang malam barusaja jatuh di rambut saya. Saya memungut daun itu dan meletakkannya sebagai sekat di antara halaman-halaman buku yang telah menjadi teman saya. Inilah kebiasaan saya, saya suka membawa buku bersampul biru itu kemanapun saya pergi dan saya selalu meletakkan benda yang saya temukan di halaman-halaman pembatas buku itu setelah saya barusaja menuliskan cerita.
Dan daun itu saya letakkan di antara halaman yang berisi kisah saya saat menemukan sekeping puzzle di tengah rel kereta api, sepulang sekolah, kemarin.
Saya seperti kebanyakan siswa-siswa lain yang membenci tumpukan tugas-tugas di akhir pekan, membenci pelajaran sulit, membenci guru galak, menyukai musik dan tak jarang menyanyi dengan suara keras-keras saat di kamar mandi hingga ibu marah dan menyuruh saya diam. Terlepas dari itu, saya adalah gadis yang tidak terlalu suka keramaian dan memiliki sedikit teman di sekolah. Saya adalah gadis biasa yang memilih menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan daripada di kantin, yang memilih bercerita kepada kertas dengan segala bentuk kalimat–kalimat tertulis, yang memilih menghabiskan waktu-waktu luang dengan membuat origami dan mengajaknya berbicara seperti layaknya teman yang bisa mendengarkan setiap bahasa saya. Saya adalah gadis yang gemar bermonolog dan lebih memilih mengunci rapat hati saya, hingga tak jarang teman-teman saya menganggap saya adalah orang gila dan perlahan menjauhi saya. Dan saya masih tersenyum seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Hidup saya berjalan stagnan, dengan emosi stabil bahkan nyaris datar. Saya adalah satu-satunya anak di sekolah yang lebih senang berjalan menyusuri jalan lengang sepanjang rel kereta api yang membelah sungai, sepulang sekolah, daripada berjalan bersama-sama dengan teman-teman saya. Saat teman-teman saya memilih tertawa bersama, dan bercerita masalah apa saja, saya lebih senang bermonolog dengan angin, dengan udara, dengan daun-daun kering dan dengan rumput-rumput di sepanjang rel.
Saya suka kereta, saya suka senja, entah sejak kapan. Yang saya ingat adalah, saya akan selalu berhenti di sebuah jembatan untuk menunggu kereta lewat seperti di jam-jam sore yang saya sukai, lalu melihat bayangan kereta yang memantul dari sungai yang berwarna jingga. Merasakan angin yang berhembus menyapa rambut saya yang tidak teratur.
Lalu, saya melihat kepingan puzzle itu di sana. Berwarna coklat jingga dan berbentuk persegi dengan ujung-ujung melengkung ke dalam, beberapa melengkung keluar. Saya memungutnya, memikirkan bentuk rahasia yang tersembunyi dalam kepingan puzzle itu, memikirkan siapa sebenarnya pemilik puzzle yang utuh itu. Apakah puzzle ini terjatuh? Atau sengaja dibuang? Bukankah kehilangan satu puzzle saja bisa menyebabkan bentuk gambar menjadi tidak sempurna? Menjadi tidak utuh lagi dan menjadi tidak seimbang?
Saya berfikir, terus berfikir, hingga sesampainya di rumah saya masih tetap menatap kepingan puzzle itu dengan pertanyaan yang sama. Saya mencari-cari, menerka-nerka, hingga saya selalu dan akan tetap berjalan di sepanjang rel itu untuk menemukan kepingan serupa, atau setidaknya menemukan pemilik puzzle itu.
Saya tetap mencari, hingga saya lulus sekolah beberapa tahun yang lalu. Mencari tidak hanya di sepanjang rel yang biasa saya lewati sepulang sekolah dulu, namun juga di rel-rel kereta yang lain, dengan pemandangan dan situasi yang lain-lain. Terus seperti itu, mencari dan berjalan, berganti kereta, berganti musim, berganti matahari bahkan bulan. Dan akan selalu seperti itu sampai saya menemukan kepingan puzzle yang utuh.
Di suatu senja, saya duduk di sebuah kursi kereta. Menopang dagu dan tidak terlalu peduli dengan lalu lalang orang-orang, pedagang makanan ataupun suasana berisik yang ada di dalam kereta. Saya lebih senang menikmati hamparan sawah yang menguning, beberapa petani yang memakai capil sedang sibuk memanen padi. Sementara cahaya berwarna jingga memantul dan membiaskan bayangan merah berbentuk bulat di kaca-kaca kereta yang saya tumpangi. Lalu, di sebuah sisi yang tidak terlalu jauh, saya tidak sengaja melihatnya. Dia duduk tepat di samping kaca kereta dengan posisi yang berlawanan dengan saya. Secara tidak langsung, kami berhadapan. Namun dia lebih berkonsentrasi pada apa yang ada di pangkuannya. Saya tidak terlalu bisa mendeskripsikan seperti apa dia, dia yang secara tidak langsung mencuri mata saya dengan sebuah dunia yang sama ‘diam’nya dengan dunia saya. Saya tersenyum tanpa saya sadari, matanya belum beralih dari kotak persegi berukuran buku yang dia pangku. Saya melihat keningnya berkerut, matanya yang serius, dan tangannya yang bergerak-gerak seperti tengah menyususn kepingan-kepingan kecil yang tidak saya tahu.
Kereta melaju pelan, saya melihat rel-rel bercabang dan kepingan-kepingan kerikil yang banyak di sekitar rel. Saat itu saya sadar, jika saya harus berpisah dengan kereta yang saya tumpangi. Saya berdiri, berjalan lebih dekat dengan pintu keluar agar saya tidak terlambat turun. Dan secara tidak sengaja, saya berdiri di sampingnya, lelaki yang sibuk menyusun kepingan-kepingan yang kemudian saya tejemahkan sebagai puzzle.
Ah, saya jadi ingat puzzle yang pernah saya temukan beberapa tahun lalu.
Dia masih saja menyusun. Saya melirik pada kotak itu. Semua puzzle telah selesai ia susun, berbentuk sebuah langit yang berwarna jingga. Namun ada satu lubang yang belum terisi. Dia mendumel, saya mendengarkan suara bisikannya, secara tidak sengaja.
“Ternyata benar-benar hilang,” katanya.
Dia mendesah, sedikit mengambil napas. Meletakkan kedua tangannya di atas susunan puzzle yang nyaris sempurna itu.
“Gambarnya belum sempurna,” saya keceplosan.
“Ternyata benar-benar hilang, setelah saya bongkar pasang beberapa kali,” katanya lagi.
“Tunggu sebentar.” Lalu saya mengingat sesuatu. Saya keluarkan buku biru saya dalam keadaan kereta yang tidak karuan. Saya mengambilnya, benda yang sangat saya jaga. Benda yang selalu saya bawa jika suatu ketika saya menemukan kepingan-kepingannya yang lain. “Apakah ini cocok?” Saya meletakkan kepingan puzzle itu di dalam susunan puzzle miliknya. Cocok. Kemudian ekspresinya sulit saya tebak. Kami diam, hening, meski kereta tetap melaju pelan dengan keriuhan seperti biasa.
“Bagaimana bisa kamu membawa kepingan puzzle saya yang hilang?” dia menatap saya dengan warna wajah berwarna jingga seperti cahaya yang memantul di kaca kereta.
“Saya menemukannya sepulang sekolah beberapa tahun yang lalu, dan saya selalu mencari kepingan-kepingan yang lain. Saya senang akhirnya saya bisa menemukannya dan meletakkannya menjadi gambar yang benar-benar utuh.”
Dia masih menatap saya, namun bibirnya mengatup, selain melengkungkan senyumnya. Kereta pelan, lantas perlahan-lahan berhenti di stasiun tujuan saya.
“Maaf, saya harus turun.” Saya kembali memasukkan buku biru saya, dan mulai turun dari kereta dengan perasaan lega.
*
Kereta baru saja lewat. Senja mulai karam, saya memasukkan kembali buku biru saya. Angin mulai merasuk ke dalam tulang-tulang, menggerakkan dahan-dahan telanjang yang kedinginan. Saya mendekap erat tas saya, lantas berlalu, dengan kepingan-kepingan puzzle yang akhirnya kembali utuh. Lalu, gerimis pertama di akhir musim gugur mulai turun, menemani langkah saya mengantar senja yang sebentar lagi akan menghilang.


Madiun, Juni 2011



Inspired by : "Hujan berembun di jendela kereta, ada wajahmu di sana." Andrei Aksana