Sepaket muffin dan surat tanpa nama sudah berada di mejaku pagi itu. Pagi buta karena aku harus berangkat ke kantor lebih awal dari biasanya. Kubikel berwarna abu-abu di sekitarku masih sepi. Saat aku membuka kotak muffin itu, aku mendapati aroma segar adonan yang sepertinya baru saja dikeluarkan dari oven. Lalu surat itu diletakkan menyatu dengan kardus pembungkus muffin yang berwarna kecoklatan. Surat itu dibungkus amplop warna nila tanpa hiasan apa-apa. Dan sebuah kalimat sederhana tercetak miring di kertas yang berwarna serupa.

Selamat ulang tahun, An.

Tanpa nama terang. Tanpa tanda tangan. Tanpa identitas apapun. Entah siapa yang mengirimiku paket muffin sepagi itu. Bahkan lebih pagi dari jam kedatangan karyawan di rumah mungil itu.

Aku selalu menyebutnya rumah mungil. Tempat dimana semua desain-desainku lahir. Ruangan itu tidak terlalu luas. Berbentuk persegi biasa dengan kubikel-kubikel yang berjajar rapat. Sepasang jendela lebar berada di sudut ruangan. Dimana pemandangan Oslo terlihat jelas dari sana. Saat lembur, aku suka menatap lampu malam dengan secangkir coklat panas. Di sana juga terlihat jelas hujan dan salju yang turun dari langit. Aku tidak tahu siapa yang mendesain ruangan itu. Meski penempatan jendela lebar itu terasa ganjil, tapi itulah sudut yang paling aku suka.

Kembali perhatianku tertuju pada muffin itu. Aku menatapnya cukup lama dengan perasaan campur aduk. Semua barang kiriman yang mendarat di mejaku seolah melemparkanku ke masa lalu. Seperti krisan yang selalu Len siapkan sebelum kedatanganku. Dan kali ini muffin.

"Len, sedang dimana?" Telepon tersambung. Suara Len tertelan hujan. Rupanya hujan turun di tempatnya sekarang. Berbeda dengan tempatku. "Kau tahu siapa yang mengirimiku muffin sepagi ini?" Aku menunggu jawaban Len dan ia nampak tidak mengerti ucapanku. "Oh.. oke Len. Maaf sudah menelfonmu sepagi ini. Oh, tidak apa-apa. Haha, kau harus mentraktirku dua kali lipat kalau begitu. Oke, thank you." Telepon mati. Len sama sekali tidak mengerti perihal muffin ini.
*
Hujan pada akhirnya mengguyur tanpa ampun. Aku pulang terlambat. Dan ketika sampai di apartemen, hari sudah larut. Ulang tahun seharusnya kuhabiskan dengan makan bersama teman-teman di kafe langganan kami, tapi aku justru kepayahan karena kerja lembur harus menguras tenagaku. Aku membantu Nick mengerjakan desain untuk wanita yang katanya berasal dari Indonesia. Tunggu, meski dulu aku pernah mempunyai hubungan dengan Nick, kami tetap bekerja profesional dan semua sudah kembali seperti semula. Nick tak lebih dari partner yang menyenangkan. Dan aku menganggap seolah tak pernah terjadi apa-apa, begitu juga dengannya.

Aku melepas sepatu dan menyalakan lampu apartemen. Meletakkan muffin yang belum kusentuh sama sekali di atas meja tamu kemudian melepaskan mantel yang basah. Belakangan, hujan memang jarang diprediksi. Dan itu sangat merepotkan.

Saat aku hendak ke lemari es mengambil sekaleng cola, aku melihat lampu telepon berkedip. Pesan masuk.

Pesan pertama adalah dari Nick, ia mengucapkan terimakasih atas kerjaku malam ini dan ia berjanji akan mengenalkan wanita itu padaku suatu saat nanti. Sejujurnya hal itu tidak penting sama sekali. Pesan kedua, dari Len yang menawarkan akan mentraktir di sebuah restoran sushi karena ia mendapat proyek baru. Pesan ketiga yang membuat tenggorokanku tercekat.

Hai An.. apa kabarmu? Aku mendapat nomor ini dari seseorang yang dekat denganmu. Selamat ulang tahun, apa kau sudah menerima muffin itu?

Aku menghentikan pesan itu. Segalanya berubah hening. Hanya suara hujan yang masih bergemericik di luar jendela. Dan suara wanita itu yang masih berdengung di telingaku. Wanita yang pelan-pelan kukubur dalam kenangan. Wanita yang berasal dari masa lalu.

Dengan keberanian yang perlahan kuciptakan, aku melanjutkan pesan itu. Semua terulang seperti semula. Dan sampailah aku pada suara wanita itu lagi.

Aku ingin sekali bertemu denganmu, An.

Jakarta, Agustus 2012

Published with Blogger-droid v2.0.6