Semakin jarang aku bertemu Arne sejak kepindahannya. Arne berprestasi bagus di kantor dan dia dipromosikan naik jabatan. Sementara aku bernasib sebaliknya. Aku memutuskan pindah cabang karena beberapa hal. Bukan perkara Arne, bukan juga segala sesuatu yang mengindikasikan bahwa : aku  menghindarinya.

Arne masih sering mengirim email. Menelfon untuk sekedar makan bersama selepas lembur yang melelahkan atau sesekali datang ke apartemenku sewaktu libur dengan membawa sepaket donat coklat dengan topping kacang mede kesukaanku.

Kesimpulannya, aku dan Arne masih berteman baik. Meski secara tidak langsung dia mengatakan bahwa dia mencintaiku. Dan meski aku belum memberinya jawaban, sikap Arne tak pernah berubah. Dia masih tetap Arne yang kukenal, hanya saja sekarang dia mulai jarang membicarakan perihal lelaki yang tengah dekat dengannya.

"Kau tidak usah tegang begitu. Kenapa sih? Kau tampak tak sehat." Arne membenarkan letak garpu di piring. Ia barusaja mengunyah sepotong steak yang berlumur kecap. Arne suka memakan steak. Menu yang biasa ia padankan dengan salad. Tentusaja dengan alasan kalori atau kelangsingan atau apalah istilahnya.

Udara lembab. Aku sudah menyetel pendingin ruangan dengan pas. Liburan ini aku memilih tidak kemana-mana. Sebagai gantinya, aku merombak beberapa interior yang mulai tampak membosanka. Mengganti bunga di vas dengan krisan berwarna ungu karena tahu Arne akan datang. Semula, dia tertegun melihat beberapa barang yang berpindah posisi. Tapi kemudian reaksinya berubah seperti biasa.

Arne datang membawa sekeranjang plastik belanjaan. Karena dia bilang akan memasak untukku sebagai ganti traktiran berkat promosi jabatannya yang sempat tertunda waktu itu. Dia tergesa ke dapur, mengeluarkan semua isi belanjaan dan mulai memasak dengan cekatan. Aku membantu mencuci sayuran dan memotong beberapa butir bawang bombai sebelum Arne menyuruhku membuat jus saja karena bawang bombay ternyata membuat air mataku tumpah. Arne begitu terampil memasak. Aku memuji hasil masakannya. Dan dia belum menyadari bunga krisan yang ada di vas bunga. Belum.
"Kenapa tidak makan? Apa masakannya tidak enak?" Suaranya yang nyaring seketika membuyarkan lamunanku.

Aku tertegun sejenak kemudian memilih menyesap segelas jus apel dan mengunyah beberapa potongan donat yang ia bawa.

"Donat ini enak sekali," kataku.

"Kau tidak pernah serius, Len."

Aku mencibir. "Aku kalah tender. Dan menurutku itu kesalahan."
Arne hampir tersedak mendengar pengakuanku. Sejujurnya bukan itu yang mengganggu pikiranku. Masalah kalah tender itu sama sekali tidak mengganggu pikiranku. Ada hal lain yang kupikirkan, tapi rasanya aneh jika aku memberitahukannya pada Arne sekarang.

Dengan buru-buru, ia meminun beberapa teguk air putih yang ada di sebelah piring steaknya.
"Tidak biasanya?" Setelah itu reaksinya datar. Ia tahu desainku sempurna. Dan masalah kalah tender sama sekali tidak terbayangkan di pikirannya.

"Haha..." Akhirnya aku memotong daging steak di hadapanku. Ekspektasiku tidak berubah. Masakan Arne selalu sempurna, seperti rancangan-rancangan yang ia buat. Lembut dan penuh rasa.

Arne menatapku sekilas. Kemudian mengulum senyum. "Kau terlihat berbeda, Len. Tidak usah kau pikirkan perihal kata-kataku tempo hari lalu. Jangan sampai itu mengganggu pikiranmu. Karena aku tidak serius mengatakannya."
Ia berkata tiba-tiba saja. Tanpa kuminta. Dan ia memaksaku menghentikan kunyahan steak di mulutku untuk menelanjangi matanya yang selalu membuatku gemetar -entah kenapa.

"Lanjutkan makanmu Arne." Aku tersenyum. Ia menurut. Percakapan kami berganti topik. Dalan sekejap, ia tertawa. Menunjukkan deretan gigi-giginya yang mulai jarang kulihat sejaj semua tak lagi sama. Mata coklatnya. Sejujurnya, aku suka menatap mata coklat itu tanpa ia tahu. Namun, ada satu hal yang mengusikku. Dan aku takut, takut jika saja aku bisa kehilangan senyum dan tawa itu sewaktu-waktu.


Jakarta, Agustus 2012

Published with Blogger-droid v2.0.6