Hal yang saya sukai ketika berkunjung ke rumah bapak adalah melihat-lihat kembali album foto yang tersimpan di kopor besar di atas almari.

Album foto yang sebagian telah berwarna abu-abu dan sebagian telah buram karena bercak air saat dulu tidak sengaja terkena tetes hujan akibat genteng yang sering sekali bocor.

Saat melihat kembali foto-foto itu, banyak kenangan yang seketika berkelebat, menyeruak keluar dan satu persatu peristiwa mulai terekam jelas di dalam otak saya.

Saya suka menatap foto masa kecil saya, umur balita, yang waktu itu mengenakan baju putri berwarna merah. Baju berenda yang saya sebut sebagai baju peri. Karena setiap kali mengenakan baju berenda itu, saya teringat film-film kartun masa lalu yang saya sukai. Film tentang seorang putri cantik di dunia dongeng.

Di dalam foto itu, saya berada di gendongan bapak. Sebelah bapak, ada ibu yang mengenakan rok berwarna biru. Saat usia saya menginjak belasan tahun, saya pernah mencuri foto itu dan menyimpannya dalam dompet. Lalu, membukanya jika saya begitu merindukan kehadiran mereka berdua. Sebab, foto itulah satu-satunya foto yang merekam kami bertiga. Foto yang menurut saya paling berkesan.

Saya suka menatap foto-foto masa kecil saya. Dan setiap saat melakukan itu, seketika lamunan saya kembali ke masa itu. Banyak hal yang ternyata telah terjadi di kehidupan saya. Jatuh bangun yang saya alami. Susah, sedih, menangis, tertawa. Hampir semua sudah saya alami. Dan seketika itu saya sadar bahwa waktu berputar lebih cepat dari yang saya duga ketika kita kembali ke masa lalu. Dan frasa kehidupan tak terasa tinggal separuh jalan lagi.

Di foto itu, terekam jelas sosok saya yang masih bayi, balita, remaja hingga saya yang sekarang. Tak sedikit pula, foto- foto lama tersebut yang membangkitkan kembali kenangan bersama orang-orang yang telah tiada. Dan air mata menetes di pipi saya.
Saya memang bukan Nobita yang bisa kembali ke masa lalu dengan mesin waktu yang tersimpan di laci meja belajarnya. Saya hanya manusia biasa sebagaimana umumnya. Yang hanya bisa mengenang sesuatu yang tidak mungkin terulang kembali.

Menilik kembali foto lama yang tersimpan rapi di dalam kopor bapak, telah memberikan pemahaman tersendiri dalam hidup saya. Bahwasanya hidup adalah serangkaian perjalanan. Barangkali sekarang saya masih menjadi subyek yang mengenang semua peristiwa itu. Menjadi pelaku peristiwa sebagaimana skenario yang telah Dia gariskan. Mengenang kembali orang-orang yang telah tiada melalui sebuah obyek bernama foto. Memutar slide kenangan yang terkadang saya lalaikan. Maka hidup pun akan berperan sebagaimana seharusnya. Dan, suatu saat pun, saya pun akan menjadi obyek dari kenangan itu ketika saya telah tiada. Entah siapa yang akan mengenang saya nantinya, saya tidak tahu.
Bukankah hidup memang seperti itu?
Seperti apa yang selalu bapak saya katakan. Tentang hidup yang selalu berganti fase. Tentang hidup yang sama dengan orang-orang yang tak lagi sama. Tentang hidup dan segala yang datang dan pergi. Tentang hidup dan segala yang tumbuh dan mati. Tentang hidup dan pertemuan serta perpisahan. Juga tentang hidup dan kenangan yang tidak mungkin bisa terulang kembali.

Jakarta, Agustus  2012

Published with Blogger-droid v2.0.6