Bulan November. Musim gugur di Leiden tahun ini terasa sangat dingin meski cuaca cerah dan matahari bersinar seterang biasanya. Suhu udara di musim gugur bisa mencapai dibawah 15° pada siang hari. Aku mengenakan mantel tebal berbahan katun yang hangat dan sebuah hoodie berbulu di kepalaku. Hujan turun lebat di awal pekan, membuat jalanan di sepanjang Oud Rijn berubah licin.

Aku mengetukkan jari-jariku seirama jarum jam, menunggu Anne datang. Hari ini kami ada janji bertemu, sekedar membicarakan hal-hal ringan sambil menikmati udara musim gugur dengan secangkir kopi hangat. Pagi ini adalah pagi yang tepat untuk menikmati beberapa helai maple jatuh mengikuti aliran arus Oud Rijn yang tenang, kecipak itik, angsa, serta seagull lewat kaca Annie’s café yang menyisakan butiran gerimis, tempat aku memainkan telinga cangkir latte dengan malas sementara mataku masih belum beralih dari draft di laptopku. 

Masih, artikel itulah yang membayangiku.

Tahun 1896. Susianne Van der Kraaft, balerina yang terbunuh saat pementasan Opera Swan Lake di Stadsschouwburg.

Entah keberapa kalinya aku menyesap latte hingga cairan di cangkir itu sudah terlampau jauh berkurang dari kapasitas sebelumnya. Jarum jam merangkak ke angka 4 ketika kesekian kalinya tidak terlihat bayangan Anne menghiasi pintu masuk itu. Ada hal lain yang mengusikku. Bukan latte yang mendingin, bukan keterlambatan Anne, juga bukan karena Moonlight sonata yang mengalun samar-samar di ruangan ini, melainkan karena wanita bertopi itu.

Ia duduk bersilang di pojok ruangan. Sesekali menghirup rokok melalui gouda yang terbuat dari keramik berwarna susu. Ia mengenakan gaun beludru hitam mengembang dengan lipitan brokat berwarna senada yang dipadukan dengan bordir bulu putih di lengan, lengkap dengan topi lebar dengan beberapa mahkota bunga mawar hitam di salah satu sisinya.

Diam-diam aku menelisik ke dalam matanya, kosong. Bibirnya biru, tapi kurasa ia tidak sedang kedinginan. Dari sekian banyak orang di dalam café, penampilannyalah yang paling menonjol. Dan itu cukup membuatku penasaran.

“Hai Susi, het spijt me dat ik zo laat ben.”

Pandanganku masih belum terlepas dari wanita itu. Aku tertarik mengungkap apa yang ia sembunyikan dari balik mata blue marine miliknya. Bintik-bintik merah di pipinya tersembul samar dari balik topi hitam yang menutupi sebagian wajahnya. Asap rokoknya menguar ke udara. Wanita itu menggoyang-goyangkan gelas champagne dengan malas, kemudian menyesapnya pelan-pelan hingga cairan itu menelusuri lehernya. Gerakan lehernya yang naik turun. Leher jenjang dan berwarna merah jambu khas bangsawan Belanda. Dan ia terus mengulangi ritualnya, berkali-kali.

“Susi, hari ini aku sangat bahagia. Aku mendapatkannya. Kau tahu? Aku mendapatkan peran Oddete yang selama ini sangat aku impikan. Ini seperti mimpi yang tiba-tiba menjadi kenyataan. Kita harus merayakannya.”
Aku diam.

“Susi, maafkan keterlambatanku! Tapi bukan berarti kau lantas mendiamkanku seperti itu saat aku datang!” Anne menekan kalimatnya, membuatku terkesiap. Ia mengerutkan alisnya. Aku gelagapan.

“Oh Ann, neem me niet kwalijk, sejak kapan kau datang?” Aku benar-benar tidak menyadari kehadirannya. Anne menyeret kursi di depanku lalu duduk di atasnya. Posisinya sedikit menghalagi pandanganku pada wanita bertopi itu.

“Apa yang sedang kau pikirkan?” Ia bertanya penuh selidik, seakan-akan ia tak memberi ruang kepadaku untuk sekedar menghirup nafas dan kembali menetralkan suasana. “Aku mendapatkan peran Oddete, Susi.” Anne mengulang lagi ucapannya.
Bibirnya melengkung karena sebuah senyum simpul yang manis.

“Oh ya? Aku senang mendengarnya, Ann. Kau pantas mendapatkannya.” Aku tersenyum. Tanpa menghiraukan perkataan Anne yang akan terlontar, aku segera menggeser laptopku, menghadapkan layarnya pada gadis bermata coklat itu. “Bacalah.”

Anne memutar bola matanya, menyamping kemudian kembali lagi.

“Siapa Susianne Van der Kraaft?”

Kening Anne basah oleh bulir bening yang perlahan mendingin. Padahal matahari tidak sedang pucat, justru kepucatan itulah yang terpancar pada bola matanya yang memantulkan sinar coklat keemasan. Matanya bergetar, bahkan bulu matanya ikut bergetar, seperti menggigil karena tiupan angin malam di musim dingin.

Aku melihat jelas kebingungan di wajahnya yang seranum tomat. Dan ia tampak lucu dengan ekspresi seperti itu.

“Dia sangat cantik, Ann. Dia menari-nari seperti Swan Lake,” gumamku, “Tapi sayang, dia sudah mati. Seseorang telah membunuhnya!” Aku meronta, terisak lalu mengguncang bahu Anne dengan kecamuk luar biasa.

“Susi!” Anne menjauhkan tubuhnya, melepaskan cengkraman tanganku di bahunya. Alisnya berkerut.

“Kita harus mengungkap misteri kematian itu, Ann.” Aku kembali mendaratkan tanganku ke bahunya, mengguncangnya tidak terlalu keras seperti hendak mengalirkan energi hangat yang mungkin bisa sedikit menenangkan kepanikannya.

Anne mengibaskan syal yang melilit lehernya, juga tanganku, “Ini konyol, Susi!” Alisnya kembali bertatut, “Apa yang sebenarnya kau cari?” Matanya melebar. Aku memberi isyarat agar ia mengecilkan volume suaranya dan ia mengikuti saranku, “Kau gila! Sudah kubilang, aku tidak tahu siapa itu Susianne Van der Kraaft!” Ia menghela nafas sejenak kemudian membuangnya. Mengendorkan posisi duduknya agak menjauh dariku.

“Dengarkan aku dulu, Ann.”

Anne diam, namun aku tahu, matanya menatap jauh ke dalam mataku.

“Aku hanya butuh kunci ruangan kepala sekolah untuk mengungkap semuanya.”

“Kau gila!” Seluruh orang di café mendelik ke arah kami dan Anne menunduk sebagai ucapan maaf karena mengeluarkan suara yang terlalu keras. “Kepala sekolah akan membunuh kita.” Ia berbisik, “Apa kau tak pernah mendengar perkataannya bahwa kita tidak boleh memasuki ruangannya?” Ia berkata seolah-olah perkataan kepala sekolah adalah mutlak dan kami harus selalu menuruti apa yang ia ucapkan. Sebuah teori yang bodoh dan sedikit ortoriter, dan aku tak pernah suka jenis paham seperti itu.

“Untuk itulah kita perlu menyelinap, diam-diam.” Aku melukiskan senyum yang membuat Anne menelengkan kepalanya berkali-kali. “Aku hanya butuh arsip video balet yang disimpan kepala sekolah. Juga beberapa artikel.”

“Sepenting itukah hingga kau mempertaruhkan nyawamu?”

Aku mengangguk, “Tidak ada cara lain.”

“Apa yang membuatmu begitu penasaran, Susi? Bukankah kematian Susianne Van der Kraaft sama sekali tak ada hubungannya denganmu?”

Anne masih tetap menyorot mataku dengan tatapan yang menyerupai belati.

“Kau akan tahu nanti.” Aku berusaha menghindari tatapan matanya dengan mengalihkan mataku pada kursi di sudut ruangan. Dan aku baru menyadarinya, wanita bertopi itu sudah menghilang.

*

Ruangan kamar sengaja aku biarkan tanpa penerangan saat aku memutar video Opera Swan Lake lewat dvd di samping jendela. Jus jeruk masih menghiasi sebagian pemandangan di meja dengan artikel-artikel tentang Susianne yang aku buat, juga kaset-kaset yang sengaja aku biarkan tercecer. Di layar tampak balerina-balerina dengan gerakan-gerakan yang indah itu. Posisi berdiri yang sempurna dengan point shoe, juga menari dengan bermacam-macam gerakan yang menggambarkan keluwesan, kehalusan dan emosi. Aku selalu menyukai seni balet, tak terkecuali simfoni Tchaikovsky yang sering membuat tubuhku meremang.

Swan Lake Ballet who will be performing at the De Nederlandse Opera
Saturday evening
November 23, 1996
07.30 p.m
Special performing by Anne Hazeu

Aku menatap lembaran itu lalu membuangnya dengan asal. Yang aku sukai saat menikmati opera balet adalah membiarkan kesepian menyelimutiku. Merasakan irama musik itu hanyut, merasakan perbincangan-perbincangan hangat juga keriuhan-keriuhan penonton di dalam gedung yang selalu saja mengusik telingaku. Aku seperti berada di dalam video itu, di ruangan megah yang menyenangkan. Jiwaku, bahkan seluruh tubuhku seperti berada di tengah-tengah mereka. Bahkan aku pernah merasakan berada di panggung itu, menari dengan lincah mengenakan tutu berwarna putih dengan hiasan bulu-bulu. Juga menerima karangan bunga, tersenyum gembira saat semua penonton memberikan standing applause untukku. Luar biasa, seolah akulah ratu angsa itu.

Dalam kesepian kamar yang gelap, aku merasakan sebuah keriuhan yang benar-benar menyedot seluruh pikiranku dan energiku. Suara-suara dan kecamuk luar biasa mulai menguasaiku. Berdengung seperti lebah. Aku meronta, merasakan rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuh.

Aku seperti dikuasai oleh makhluk lain, ia menjeratku dan ia terikat di sana. Setelahnya, aku akan menggigil, merasakan kepala yang terlampau sakit lalu aku limbung dengan kegugupan yang memberontak.

Keringat dingin melumer, kepalaku sakit. Dan dalam keadaan seperti itu, aku kembali melihatnya : wanita bertopi hitam itu.

*

“Kita hanya butuh artikel dan video itu untuk mengungkap semuanya.” Bulan masih sembab ketika aku dan Anne mengendap-endap masuk ke ruangan kepala sekolah, membuka pintunya dengan sebuah kawat.

“Kepala sekolah akan membunuh kita, Susi!” Anne menyorotkan cahaya ke lubang kunci lewat senter di tangannya. Sungguh, aku tidak pernah suka cuaca dingin di musim gugur yang harus memaksaku mengenakan sarung tangan bulu yang tebal. Kami masih berbisik-bisik seperti penguntit.

“Aku akan bertanggung jawab untuk itu, Ann. Kau tak perlu panik.” Aku menghembuskan nafas, “Setelah kita mendapat artikel itu, kita akan pergi dari ruangan ini. Segera!” Pintu berhasil kubuka tanpa kendala apapun. Kawat itu bekerja baik malam ini,

“Matikan sentermu, ayo kita masuk.”

Ruangan kepala sekolah gelap, dipenuhi rak-rak buku yang menjulang ke langit-langit. “Gila! Buku sebanyak ini, mana yang harus kita cari?” Aku mengikuti pendar cahaya yang berasal dari senter Anne. Ia tampak menelengkan kepalanya, “Ini misi konyol!”

“Aku selalu dihantui wanita itu, Ann. Aku harus mengungkap apa yang membuatnya mati di pementasan.”

Aku tahu Anne terkejut dengan pernyataanku, “Tidak ada waktu lagi, bantu aku mencari artikel tentang wanita itu.” Mata Anne tampak gelap.

Aku masih menelisik, mengobrak-abrik seluruh rak buku kepala sekolah.

“Sekolah seperti menyembunyikan skandal pembunuhan Susianne. Dan wanita itu akan selamanya menjadi teror jika kita tidak mengungkap kematiannya.”

Anne menghentikan sejenak aktivitasnya. Dalam keremangan itu, ia menatapku tajam.

“Ini terkait peranmu sebagai Oddete, Ann,” kataku, “Aku tidak bisa membiarkanmu mati seperti apa yang dialami Susianne Van der Kraaft tahun 1896 itu. Aku juga tidak bisa membiarkan ada perang darah dalam balet.”

“Kau berkata seolah kau menyimpan sesuatu yang tidak aku tahu, Susi.”

“Aku mencintai balet sepenuh hatiku, Ann. Bahkan aku rela melakukan apapun demi cintaku pada balet.” Aku menghindari tatapan mata Anne yang seperti itu. Selalu, aku tidak bisa membalas tatapan menyelidiknya.

Kualihakan tubuhku menjauh darinya, menuju sebuah lukisan yang tergantung rapi di sudut ruangan. Aku mengenal wanita dalam lukisan itu. Wanita yang sama dengan apa yang aku lihat dalam Annie’s café beberapa waktu lalu. Wanita yang setiap malam menerorku dengan  kehadirannya yang tiba-tiba. Wanita bertopi itu. Susianne Van der Kraaft.

Aku mengelus lukisan itu, seperti aku telah benar-benar menyentuh wajahnya dengan tanganku.

“Susi, kenapa kau meraba dinding-dinging kosong itu?” Suara Anne menyadarkanku. Ia menyorotkan cahaya pada buku yang ada di tangannya. “Susianne tidak dibunuh. Karena memang tak ada nama itu,” katanya.

Dan saat itu juga aku melihat wanita bertopi itu. Ia mendekatiku, masih membawa gouda yang mengepulkan asap putih rokoknya. Ia tertawa. Kepulan asap dari rokoknya terlihat jelas. Dan perlahan dadaku menjadi sangat sesak.

“Peran itu harusnya jadi milikmu.” Bibirnya membentuk sebuah lengkungan. Aku melihat jelas matanya yang selama ini tertutup topi lebar berwarna hitam itu. Ia menghembuskan asap rokoknya tepat mengenai wajahku. Aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri, bahkan pikiranku. Wanita itu menguasaiku lagi, benar-benar menguasaiku.

“Bunuh dia! Jangan biarkan dia mendapatkan peran itu, bunuh dia sekarang juga.” Terus seperti itu. Suara-suara itu. Bayangan masa lalu itu semakin jelas. Menjadi balerina adalah impianku sejak kecil. Aku rela melakukan apa saja demi balet, merelakan kakiku yang lecet akibat tidak biasa mengenakan point shoe, mengalami cidera tulang karena aku tidak bisa melenturkan tubuhku. Aku bersusah payah belajar fouttes en tournant, pointe work, voete. Berusaha mendapatkan peran Oddete, sang Ratu Angsa. Dan ketika aku berhasil mendapatkannya, mereka mengambilnya. Aku adalah satu-satunya orang yang tersungkur dalam kemegahan Stadsschouwburg malam itu. Aku menangis, dalam sebuah ruang gelap yang pengap, sendiri saja.

Lagi, mimpi itu kembali menerorku. Silih berganti seperti sebuah scene-scene yang gelap. Kemudian menerobos ke dalam pembuluh darahku, menuju otakku dan berputar-putar di sana. Aku meringkuk dalam sebuah ruangan tanpa cahaya, masih dengan alunan simfoni Swan Lake yang membuat sakit di kepalaku nyaris bertambah.

Aku seperti orang kesetanan. Entah siapa yang mengacaukan pikiranku hingga aku mampu mengobrak-abrik seluruh laci meja kepala sekolah, menemukan sebuah pistol yang kemudian aku arahkan tepat ke matanya. Aku membenci mata biru itu, suara-suara itu, wanita bertopi itu. Aku tidak ingin karangan bohongku soal Susianne dan skandal berkedok kepala sekolah yang aku buat terkuak begitu saja. Selamanya, peran itu akan tetap jadi milikku.

Aku menarik pelatuk, tapi kemudian muncul bayangan Anne yang menatapku dengan mata membulat. Mulutnya menganga.

“Susi, what are you doing?” Ia terpekik, senter yang ia bawa jatuh ke lantai bersamaan dengan suara letupan pistol.

Lalu dalam sekejap, simfoni Swan Lake menggema memenuhi pikiranku, tanpa suara Anne.

Madiun, April 2011

Published with Blogger-droid v2.0.6