Saulina dan Senja yang Bisu

Oleh : Eros Rosita

Barangkali saja senja tidak selalu bercerita tentang kenangan. Padanya, sebuah kemurungan mengendap-endap dalam kesunyian yang syahdu.

Dia bernama Saulina. Si gadis senja. Kekasih Sukma yang telah tiada. Namun, pada matanya tersimpan bermacam kenangan yang kini terabadikan dalam mata Sukma yang itu. Lelaki itu kerap mengutuk senja yang tidak tahu apa-apa. Di dalam darahnya mengalir merah yang Saulina bilang itu adalah wujud cintanya. Cintanya yang jauh lebih menyakitkan dari semua perih yang ada.

“Cinta terkadang bisa menjadi bumerang. Jangan mencintai seseorang jauh melampaui kemampuanmu,” entah suara dari mana, Sukma tidak paham itu.

Lelaki itu duduk melamun di sebuah dermaga. Di sana, senja diam-diam larung bersama kebisuan. Ombak pantai berarak dan menerjang bebatuan. Kapal-kapal dan kail-kail ikan tampak seperti pemandangan yang sudah sewajarnya ada. Sukma tidak bergeming. Pada matanya, selintas Saulina menari sebagai bayangan yang tidak dia harapkan ada namun dia merindukan kehadirannya.

“Aku mencintaimu sebagaimana aku harus mencintaimu,” itu kata-kata Sukma. Beberapa tahun lalu. Di tengah kerumunan orang, di sebuah pantai yang sebelumnya belum pernah mereka kunjungi.

Mereka berdua. Saulina duduk menatap senja hingga cahaya merah itu sudah berpindah ke matanya yang sayu. Bibir wanita itu ranum, mengatup tanpa sepatah huruf.

“Ini adalah cinta yang utuh, sebagaimana Tuhan mencipta segalanya dari kemurnian yang paling sederhana.” Sukma terus bergumam. Dia memainkan pasir-pasir pantai. Menggenggam pasir-pasir itu kemudian melepaskan genggamannya. Pasir pantai di tangannya jatuh berhamburan.
Bahkan sekalipun, Saulina tidak menolehkan tatapannya pada lelaki itu. Angin dingin berhembus dan mengenai riak rambutnya yang tergerai, jatuh menjuntai sepanjang bahu.

“Saulina, Tuhan menciptamu sebagai sosok yang tak tersentuh. Sekalipun dengan hatiku. ” Sukma meremas dadanya. Ada ngilu yang tiba-tiba menyeruak tanpa bisa dia cegah. Baginya, cinta itu menyakitkan. Seperti menghujamkan belati tepat pada ulu hati. Tapi dia menyukai rasa sakit itu.

Senja merah. Bulan pucat mengintip dari balik gulungan awan yang ungu.
Sukma enggan beranjak dari dermaga. Bening yang menetes dari sudut matanya, larut bersama air laut yang asin. Dia terisak dalam diam, dengan caranya sendiri, membasahi ulu hatinya yang terasa perih. Semakin perih hingga dia terbiasa dengan sakit itu. Dengan perih itu.

*

“Apa cinta pernah salah memilih?” Angin bersibak membelah riak-riak rambut Saulina yang bersembunyi di balik telinganya yang langsat. Rambut itu berderai. Jatuh teratur di bahunya yang ringkih dan kurus.

Wanita itu tidak berani menatap mata Sukma. Ada getaran samar di setiap kata-kata yang keluar dari bibirnya.

“Lantas siapakah yang salah?”

Saulina tidak lantas menjawab. Dia diam sejenak, membiarkan udara yang dihempaskan ombak itu menelanjangi hidungnya yang mancung. Wanita itu menunduk, memainkan pasir yang menelanjangi kakinya.
Ombak sertamerta membuat kaki itu semakin terlihat pucat dan kuyu, seperti wajahnya.

“Dia dekat denganku, bahkan aku mengetahui masa lalunya. Tetang ibunya dan tentang gadisnya yang masih membekas dalam ingatannya.” Saulina melanjutkan, “Kurasa aku jatuh cinta padanya. Tapi sekali lagi aku ingin bertanya padamu, apakah cinta pernah salah memilih?”

Sukma diam. Menelanjangi wajah Saulina dengan caranya sendiri.

“Kalau boleh memilih, aku sama sekali tidak ingin mencintainya.”

“Kenapa?”

Saulina tidak menjawab, wanita itu justru terisak. Bahunya berguncang. Sukma tahu, wanita itu merasa gelisah.

“Menyakitkan,” kata Sukma. “Tapi kau hanya perlu menikmatinya, dan menemukan hakikatnya.”

“Apa maksudmu?”

“Cinta tak pernah salah memilih.

” Sukma tidak berani menatap mata Sulina yang berair. Baginya, mata itu terlmpau indah, seperti bening kristal yang berkilau. Dan air mata itu membuat jiwa Sukma serasa ditikam sembilu yang teramat. Dia ingin menghapus air mata Saulina dan melarungkannya bersama ombak yang telah sudi membawa serta semua mimpinya untuk bisa memiiki wanita itu seutuhnya. Sukma merasa takut, bahkan untuk sekedar mengusap kepala wanita itu dan menenangkannya. Dia diam, hanya bisa menatap Saulina menyesap air matanya dalam-dalam.

*

Sore itu senja berdarah-darah. Saulina sedang mengiris bawang merah ketika melihat orang-orang berlarian menuju rumah Sukma. Teriakan-teriakan kepanikan mengacaukan gendang telinganya sehingga tidak dipeduikannya darah mengucur di jarinya yang lentik itu.  Saulina menyincing selembar jarik yang membebat tubuhnya. Jari-jarinya telanjang, langkahnya jauh lebih cepat dari biasanya. Dadanya berguncang hebat. Sungguh, dia tidak mengetahui apa yang sebenarya terjadi.

“Apa yang terjadi? Apa yang terjadi?” Hening. Tidak seorang pun memedulikan Saulina. Mata wanita itu berkilat-kilat. Rasa penasaran dan kekhawatiran mengendap-endap di sana.

“Sukma mati. Gantung diri.” Kata seorang tua yang nampak ringkih.

Saulina jatuh pingsan. Tangannya telah terbebat warna merah.

*

Senja murung. Hanya terdengar decit pilu burung-burung yang terbang sunyi. Ombak menggulung pasir-pasir, memecah bebatuan. Tidak ada sipapun, kecuali wanita yang membebat seluruh tubuhnya dengan kain berwarna hitam itu. Mata Saulina bengkak. Wanita itu duduk seorang diri di bibir pantai. Itu adalah pantai yang sama yang sering dikunjunginya bersama Sukma. Pantai tak bernama. Tangannya dengan jari telunjuk yang hilang tengah menggenggam selembar kertas. Itu kertas yang diberikan seorang tua kepadaya. Kertas Sukma yang terselip dalam seutas jarik, jarik yang mengikat lehernya sore itu.

'Semalam aku melihatmu tidur begitu nyenyak. Kesunyian menemanimu sepanjang petang hingga pagi mencipta hari lagi, mencipta senja. Entah kenapa, senja selalu mengingatkanku padamu, Saulina. Tentang sepimu, tentang kenangan kita yang tak pernah habis untuk kutulis. Barangkali cinta selalu berakhir seperti ini. Aku cukup lama merasakan kesakitan oleh sebab cinta yang dalam. Kau gadis yang baik, Saulina. Hapus air matamu sebab aku tidak sanggup menghapusnya dengan jari-jariku. Kau tidak perlu menangis, karena matamu terlampau indah untuk membentuk sebutir air mata. Kau tercipta atas dasar cinta  yang sesungguhnya, Saulina. Yang tidak bisa kusentuh bahkan dengan hatiku sekali pun. Lantas, biarkan aku mencintaimu dengan sederhana. Dengan caraku sendiri, dengan diamku, dan dengan senja yang serta merta kukirimkan lewat kesunyian-kesunyian yang senantiasa memelukmu.'

Wanita itu terisak sejadi-jadinya.

“Kau lelaki dungu, Sukma!” Akhirnya dia berucap. Nada bicaranya serak. “Apakah cinta pernah salah memlih? Kau bodoh dan tolol, Sukma!”

Saulina meremas kertas itu dan membuangnya ke pantai.

Ombak menggulung, melarungkan segala bentuk air mata dalam kertas usang itu.

Sukma tersenyum dalam diam. Pelan-pelan mengusap mata Saulina dan menadah air mata wanita itu dengan kedua tangannya.

Hampa. Sunyi menikam dalam-dalam tanpa bisa dicegah. Ada perih yang tiba-tiba membuat dada Saulina sesak. Wanita itu meremas dadanya, membasahi hatinya yang ngilu.

“Jika aku boleh memilih, maka aku tidak ingin mencintaimu, Sukma.” Bening itu menganak sungai di pelupuk matanya yang sayu. “Kau lelaki dungu, kenapa kau tak pernah jujur padaku? Kau bodoh!” Wanita  itu terus saja mengumpat, entah pada siapa dia tidak tahu. Suaranya serak tertelan debur ombak.
Saulina menutup wajahnya dengan telapak tangan yang basah. Dengan nyeri yang dia rasakan sendiri.

“Cinta tak pernah salah memilih, sebab dia tercipta dari kemurian yang agung. Seperti air matamu.” Sukma tahu, Saulina tidak penah bisa mendengar suaranya. Lelaki itu tersenyum. Matanya menyipit meski segurat sepi menghiasi wajahnya yang pucat.
“Aku tidak menyesalinya Saulina, sebab dengan cara inilah aku bisa menyimpan cintaku. Biarkan cinta itu kekal di sana, di dalam hatiku. Sebab, iniah caraku mencintaimu.”

Senja barangkali tidak selalu bercerita tentang kenangan. Padanya sebuah kemurungan mengendap-endap dalam kesunyian yang syahdu. Sukma memeluk Saulina dengan perasaan bahagia. Senja larung bersama air mata Saulina yang masih terus menitik.

Senja memantulkan merah, membentuk segurat siluet yang sempurna. Itu adalah senja yang bisu, dan segurat siluet Saulina yang Sukma abadikan dalam air matanya.

Jakarta, 15 Juni 2012

Published with Blogger-droid v2.0.6