Anyelir. Awal pertemuanku dengannya, ia memperkenalkan diri sebagai Anyelir. Tanpa embel-embel apapun. Kupikir, ia gadis yang jutek. Semula, pertemuan itu adalah pertemuan tak terduga. Belanjaanku dan belanjaannya tertukar di sebuah minimarket di dekat apartemen saat kami barusaja diterima di perusahaan tempat kami bekerja sekarang. Anyelir. Aku memanggilnya Arne sebab menurutku kosakata Anyelir terlalu susah diucapkan. Anye. An. Eli. Menurutku tidak ada yang lebih cocok selain Arne. Dan ia tidak marah dengan sapaan itu.
Arne berasal dari Bogor. Sedangkan aku dari Jakarta. Semenjak insiden belanjaan yang tertukar itu, aku lebih sering bertemu Arne di tempat kerja. Kami menjadi teman baik. Mengejar karir bersama. Bercerita apapun bersama. Makan siang bersama. Semua seolah berjalan begitu saja.
Arne ternyata gadis yang baik. Ada sedikit perasaan tak rela saat banyak lelaki yang menyakitinya. Namun aku tidak bisa berbuat apa-apa selain tetap menyediakan bahu untuknya jika ia menangis.
Dan semakin sering ia menangis. Semakin sering ia berhubungan dengan laki-laki.
"Ada lelaki yang mendekatiku, Len."
Selepas makan steak bersama, aku meminta Arne membantu mengubah interior apartemenku agar tidak membosankan. Dan ia tidak keberatan.
Ia duduk sejenak. Mengikat rambut lurusnya yang sebatas bahu dengan japit buaya berwarna ungu. Ia menyincingkan kemejanya.
Aku meletakkan vas bunga di meja. Ikut duduk di dekatnya.
"Bukan Nick, kan?"
Arne tertawa skeptis.
"Lalu apa reaksimu?"
"Kupikir ia lelaki yang baik."
Dengan Joe. Dengan Danur dan dengan Nick, ia juga berkata demikian. Aku diam. Mendengar ceritanya tanpa bereaksi apa-apa. Aku menepuk bahunya. Arne justru menangis.
"Sekali lagi ada yang menyakitimu, aku akan membunuhnya, Arn."
Air matanya jatuh di dadaku. Ia terisak semakin dalam. Hingga suaranya tenggelam bersama isakan dan air matanya. Bahunya berguncang. Aku mengelusnya. Merasakan nyeri di dadanya yang ikut menjalar di dadaku.
Ia telah menghapus air matanya saat kakinya yang jenjang berjalan ke arah lemari es.
"Bahkan kau tak memiliki persediaan jus jeruk, Len?" Ia komplain.
Semenjak pindah cabang, aku semakin tidak memedulikan isi lemari es.
"Aku terlalu sibuk, Arne."
"Kau hanya berdalih."
"Aku ke minimarket sebentar. Jus jeruk dan beberapa potong biskuit." Aku menekan kalimatku. Arne tertawa. Dan aku menutup pintu apartemen.
Sepi. Tidak ada suara apa-apa selain debar jantungku sendiri dan suara dering telepon yang semakin melonjak.
"Hallo?"
"Len.. kau ada waktu? Bisa kita bertemu? Aku ada di Norwegia."
Aku sudah melupakannya. Tapi suara yang tidak asing itu kembali mengisi separuh pikiranku.
Suara yang berasal dari masa lalu.
Jakarta, Agustus 2012
Kurang gimanaaaa gituu :P
BalasHapushati-hati dengan suara dari masa lalu, jangan2 dia hanya ingin menarikmu ke belakang :D
BalasHapus