Langit yang sedari tadi mendung, akhirnya berubah menjadi hujan yang sangat lebat. Rencana awal memang hanya membeli jus jeruk dan beberapa bungkus biskuit untuk Arne, tapi kemudian aku terpaksa berlama-lama di minimarket, minimal sampai hujan mulai menurunkan intensitas airnya sebab aku lupa membawa payung.

Arne menawarkan akan menjemput setelah kukirim pesan singkat yang mengabarkan bahwa aku akan datang terlambat lantaran terjebak hujan. Tapi aku menolaknya dengan halus. Gadis itu pasti sangat lelah seharian ini dan aku menyuruhnya beristirahat di apartemen.

Pujia rupanya telah mengirim pesan singkat sebelum menelfon dan mengabarkan bahwa ia telah sampai di Norwegia. Sudah lima tahun sejak hubungan kami tak lagi membaik, dan lima tahun sejak aku memutuskan bersekolah di Norwegia, aku hampir tak pernah bertemu dengannya. Mendengar suaranya lagi, mendengar tawanya, seolah ia telah lupa pada luka masa lalu. Pada apa yang disebut kesalahan yang membuatku tidak cukup berani menjalin kembali hubungan serius dengan wanita setelahnya.

Aku kemudian diam. Tercenung cukup lama sementara hujan belum menunjukkan tanda-tanda reda. Ada sebersit perasaan enggan yang mulai menyusup ke hampir semua aliran darahku. Enggan bertemu wanita itu lagi. Enggan mengorek kembali luka yang susah payah kukubur.

Arne menelfon. Suaranya tertelan suara hujan yang bergemericik.

"Len, hujannya pasti akan lama. Tidak usah menolak. Aku jemput sekarang. Lagipula, aku sudah kehausan."

Telepon dimatikan sebelum aku sempat mengucap sepatah kata pun. Arne memang seperti itu. Sedikit keras kepala. Dan justru itu yang membuatnya nampak hebat.

*

"Sebenarnya aku bisa pulang dengan hujan-hujan," kataku.

"Kau tidak berniat merepotkanku dua kali kan?"

"Merepotkan bagaimana maksudmu?"

"Pertama, aku sudah mendesain ulang interior apartemenmu. Dan kedua, aku harus menjengukmu dan menelfon setiap waktu hanya untuk mengingatkan kau minum obat." Arne cerewet seperti biasa. "Kau tahu apa kelemahanmu, Len?"

"Aku bahkan tak tahu apa kelemahanku."

"Kau sangat pelupa dan kau selali tak cocok dengan air hujan."

Aku terkekeh mendengar celotehnya.
"Ada satu lagi kelemahanmu yang tidak kau sadari."

Aku mengerutkan kening, "Apa itu?"

"Kau bahkan sama sekali tidak memahami dirimu sendiri. Terkadang, cuekmu itu bisa sangat keterlaluan."
Aku tertawa terbahak. Dengan spontan, tanganku mendarat di rambut wanita itu. Mengacaknya dengan gemas.
Hujan masih deras. Suara kecipak air yang berasal dari langkah kaki kami terdengar begitu jelas.

"Bisa kubayangkan jika kau benar-benar menunggu sampai hujan reda." Arne terlihat frustasi.

"Lain kali aku akan membawa payung."

"Semoga kau tidak lupa. Ngomong-ngomong bagaimana suasana di tempat kerja yang baru? Pasti sepi sekali tanpa aku ya?"

Arne mengerling nakal. Pipinya telah basah oleh gerimis tipis yang diterpa angin kemudian mengenai wajahnya. Arne tidak menemukan satu payung yang aku letakkan di dalam lemari karena jarang dipakai sehingga kami harus berada di satu payung yang sama. Aku merangkulnya agar ia tidak kebasahan meski nyatanya hujanlah yang menjadi pemenang.

"Apa ada yang mengirimkan krisan setiap pagi di mejamu selain aku?" aku justru balik bertanya.

"Oh iya, ngomong-ngomong soal krisan, aku baru menyadarinya di mejamu tadi. Kau memilih warna yang bagus. Aku suka."

"Itu kebetulan. Dan ingat, itu kuletakkan bukan karena kau akan datang."

"Apapun itu yang penting aku suka," kata Arne. Aku diam. Tidak menyela ucapannya karena aku tahu, aku selalu kalah jika berhadapan dengannya.

"Len, aku menerima ajakannya untuk makan malam bersama. Besok ia akan menjemputku. Apa pendapatmu?"

Aku tidak terkejut. Arne sudah sering menerima ajakan lelaki yang tengah dekat dengannya. Lalu aku sudah bisa menebak ending dari jalinan cintanya. Air mata yang tumpah di bahuku. Selalu begitu.

"Siapa namanya?"

"Lain waktu kukenalkan padamu."

Tidak biasanya Arne menyembunyikan nama lelaki yang tengah dekat padanya. Ada sesuatu yang ganjil. Yang menyeruak masuk tanpa dicegah. Entah menjelma berupa rasa apa, aku sama sekali tidak mengerti.

"Kuharap dia lelaki yang baik."

Mata di balik kacamata berframe hitam tebal itu menyipit. Senyum Arne mengembang. Selanjutnya ia tidak berkata apa-apa lagi selain membiarkan kecipak air menghiasi separuh perjalanan menuju apartemen.

Rasanya sulit membiarkan Arne pergi lagi. Hanya itu.

Jakarta, Agustus 2012

Published with Blogger-droid v2.0.6