14 Agustus tinggal beberapa minggu lagi.

Itu artinya lomba tahunan yang biasa digelar dalam rangka memperingati hari Pramuka sudah dipersiapkan jauh-jauh hari. Mulai dari persiapan lomba baris berbaris hingga latihan paskibraka untuk persiapan menjelang upacara dirgahayu kenegaraan tiga hari setelahnya.

Saya selalu suka menyebutnya gadis kecil yang diam-diam melihat keluar jendela.

Semarak menyambut hari ulang tahun Pramuka dan hari ulang tahun negara tidak sedikit pun membuat gadis itu melengkungkan seulas senyum. Gurat kebahagiaan yang terpancar dari wajah anak-anak SMP itu tidak singgah di wajahnya yang langsat. Di wajahnya justru tergambar gurat kemurungan. Seperti sebuah sketsa samar yang biasa saya lukis di atas meja kerja.

Gadis itu tidak memperhatikan pelajaran yang diterangkan guru di depan kelas. Pandangan dan lamunannya justru berkeliaran di lapangan sekolah. Saya tahu, ia tampak mencuri-curi pandang hanya untuk sekedar melihat aktifitas di lapangan agar tidak ketahuan guru.

Sejak dulu, ia ingin sekali berbaur dengan teman-temannya. Mengikuti ekstrakurikuler pramuka setiap sepulang sekolah. Berkemah setiap sabtu minggu. Menyalakan api unggun. Berjelajah ke tempat-tempat yag belum pernah ia kunjungi. Melihat hutan, sawah, sungai dan langit. Bakti sosial di perkampungan-perkampungan. Menyanyi. Semua itu terlihat menyenangkan, bukan?
Namun keinginan itu harus ia kubur dalam-dalam. Dan semua itu harus berubah menjadi rasa yang menyakitkan.

Ibunya tidak pernah mengizinkannya keluar rumah atau melakukan aktifitas yang terlihat ekstrim. Apalagi bagi ia yang seorang gadis kecil. Gadis semata wayang di dalam rumah kecil itu.
Baginya, hidup hanyalah sekolah dan belajar. Bermain pun ia lakukan seorang diri di kamarnya. Ibunya telah membelikan banyak mainan. Dan ia bisa bermain apapun yang ia sukai tanpa merasa ada yang merebut mainannya seperti apa yang biasa terjadi di sekolah. Sebab ia bermain seorang diri. Ialah pemilik utuh mainan-mainan itu sekarang.
Tapi sesungguhnya ia kesepian.

Saya sering mendapati ia menangis diam-diam di sudut malam. Bermonolog dengan boneka-boneka sebagai satu-satunya teman bermain yang ia punya. Dan jika ia sudah merasa bosan, ia akan melukis atau menulis beberapa coretan di buku sketsa hingga ia kelelahan dan tertidur.
Setiap hari, seperti itu. Dan berlangsung bertahun-tahun hingga usianya mulai menginjak belasan tahun. Hingga sekarang keadaan telah berputar balik dan ia mulai begitu dekat dengan sepi yang selama ini memeluknya.

Dulu, ia begitu ingin mengenakan seragam coklat itu. Berbaris dengan rapi di depan orang-orang setiap tanggal 14 Agustus karena menurutnya, itu hal yang keren. Dan ibu pasti bangga melihatnya bisa berbaris.

Ah.. waktu semakin berputar..melesat seperti anak panah.

Aba-aba yang terdengar dari luar lapangan mengacaukan lamunannya. Ia tersadar, sudah sekian menit rupanya gadis itu menatap keluar jendela dan bercengkerama dengan lamunan-lamunan yang melintas di benaknya. Saya tidak tahu apa yang ia pikirkan..pun rasakan.
Raut kemurungan yang sedari tadi menyelimuti wajahnya berubah menjadi seulas senyum samar yang tersembunyi. Ia tampak mendesah. Tidak berkata apapun. Ia lantas memalingkan tatapannya kembali pada papan tulis. Mengejar kembali catatannya yang tertunda.

Sementara itu, dari luar lapangan, segala macam aba-aba memekik di bawah terik.

Jakarta, 14 Agustus 2012
Selamat Hari Pramuka :)

Published with Blogger-droid v2.0.6