Sudah tiga bulan berselang.

Lelaki tua itu menatap mata malaikat yang ada di depannya. Mata itu redup, berwarna coklat keemasan yang sama dengan milik istrinya. Segelas kopi hitam tinggal separuh gelas dan mulai mendingin. Sementara teh manis dengan tutup warna biru laut di depan gadis itu masih belum berkurang sedikit pun. Lelaki tua itu diam. Ruangan dapur dengan alas tanah yang mulai kering dan berdebu itu hening. Hanya terdengar suara cicak di tembok batu bata yang nampak sibuk mengejar nyamuk.
Gadis itu menatap arakan awan putih yang memantul dari jendela dapur yang berukuran sedang dan berbercak kotoran serangga. Sementara lelaki tua itu belum mengalihkan tatapannya di mata gadis itu, mata anak semata wayangnya.

"Jadi ini prosedurnya gimana?" Lelaki itu memecah keheningan. Melumerkan beku yang sedari tadi menyelimuti mereka berdua.

Gadis itu mendongak ke arah lelaki tua itu. Matanya sibuk menatap selembar brosur berlabel kampus yang sudah memiliki nama. Ia tidak berani menatap mata bapaknya yang kelabu.

"Kalau lolos akan dapat beasiswa," kata gadis itu dengan intonasi tenang. Seolah tidak mau memicu kemelut yang berkepanjangan.

"Lalu untuk biaya hidupnya?"
Hening. Gadis itu tidak tahu harus menjawab apa.

"Bapak tahu kamu ingin sekali melanjutkan kuliah. Tapi bisakah kamu lihat keadaan kita? Ibumu baru saja meninggal."

Ada ngilu. Tiga bulan lalu, peristiwa pahit menimpa keluarga mereka. Istri sekaligus ibu yang mereka cintai telah berpulang. Gadis itu ingat, masih terpatri di ingatannya wajah terakhir wanita yang berbalut infus juga selimut bergaris hitam yang menutupi seluruh tubuhnya. Wanita itu sempat koma beberapa minggu dan gadis itu sempat merekam air mata wanita itu ketika ia melafalkan lafadz Tuhan di dekat telinganya. Lelaki itu kembali membuka nostalgia yang berwarna abu-abu, seperti membuka kembali album-album usang yang tertumpuk di dalam koper di atas almari.
"Kalau misal tidak diizinkan, aku bisa membatalkan mengirim berkasnya besok, Pak." Gadis itu masih menunduk. Menahan sesuatu yang akan mengalir di pelupuk matanya.

Lelaki itu mengelus rambutnya dengan kasih sayang. Lelaki itu selalu melakukannya.

Katanya, "Bapak itu sedih."
Ia tatap wajah lelaki itu, dengan keberanian yang susah payah ia dapat.

"Bapak sering menangis dalam hati. Saat kamu ingin sesuatu, Bapak tidak bisa mewujudkannya. Bapak sedih." Mata lelaki itu merah, tapi tidak ada air mata di sana. Hanya bening yang menggenang di pelupuk matanya. Seperti saat lelaki itu mendapati istrinya yang tiada. Tidak ada air mata. Dan ia mengelus rambut gadis itu seperti apa yang ia lakukan sekarang. Seolah dengan cara itulah ia bisa menguatkan gadis itu dan dirinya sendiri. Dua orang sebatang kara yang hidup terpisah.

"Bapak itu pengen lihat kamu kuliah. Pengen lihat kamu seneng. Tapi Bapak tidak mampu mewujudkan keinginan kamu."

Gadis itu tahu perasaan lelaki itu. Sesak. Seperti dirinya.

"Kalau Bapak punya uang banyak, mau sekolah dimanapun akan Bapak turuti."

Hening.

Gadis itu tidak bersuara. Ia sibuk merapikan slide nostalgia di kepalanya. Perihal perjuangan orang tuanya hingga membuatnya seperti sekarang. Membuatnya selalu menjadi rangking terbaik yang mendapatkan beasiswa, yang kemudian mengantarkannya lulus SMA. Almarhum ibunya bekerja sebagai guru Taman Kanak-Kanak honorer, sedangkan bapaknya, terpaksa harus berhenti bekerja karena rematik. Sejak ibunya meninggal, perekonomian mereka seolah terputus. Terlantung. Sementara hidup terus berlanjut.

"Aku mengerti, Pak." Akhirnya ia bersuara. Lalu, dengan tergesa-gesa, ia berlari dengan alasan perutnya yang sakit. Padahal ia menumpahkan tangisnya. Seorang diri. Mata lelaki itu terus terngiang di ingatannya. Mata yang menyiratkan kesedihan dan perasaan menyesal. Sorot mata yang sepi. Yang kosong. Yang gamang.

Air mata tumpah begitu saja. Seperti air yang terus mengguyur wajah gadis itu. Ia selalu melakukannya seorang diri, menangis seorang diri dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa setelahnya. Dan ia melakukannya terus-menerus, sejak ia kehilangan wanita yang ia cintai. Sejak ia kehilangan secercah harapan yang susah payah ia bangun. Sejak ia kehilangan semangat hidup. Barangkali saja, hal yang sama juga dilakukan lelaki itu. Tanpa gadis itu tahu. Luka itu menganga lebar. Dan mereka berdua bersikap seolah semua baik-baik saja.

Jakarta, Agustus 2012

Published with Blogger-droid v2.0.6