Rasanya
sudah lama sekali sejak aku dan dia melihat pelangi di langit utara Pogung.
Namun, kembali ke kota ini, seperti menyeruakkan semua ingatan tentangnya;
tentang janji yang terucap seiring jemari kami bertautan.
Segera setelah semua berakhir, aku pasti akan menghubungimu lagi.
Itulah
yang dikatakannya sebelum dia pergi. Dan aku mendekap erat-erat kata-kata itu,
menanti dalam harap. Namun, yang datang padaku hanyalah surat-surat tanpa
alamat darinya. Kini di tempat yang sama, aku mengurai kembali
kenangan-kenangan itu...
Judul : Notasi
Penulis : Morra Quatro
Penerbit : Gagas Media, 2013
Harga : Rp. 43.000
Tebal : 294 hlm, 13 x 19 cm
Genre : Fiksi, Romance, Historical
|
Era
tahun 90-an tidak ada yang saya ingat selain banyaknya bendera berwarna kuning
yang berkibar di sepanjang sudut jalan menjelang pemilu. Meskipun ada tiga
partai yang ikut dalam pemilu lima tahunan itu tapi sudah bisa bisa ditebak
bahwa presiden yang memenangkan pemilu adalah presiden yang sama, dari partai
yang sama pula. Membaca Notasi karya Mbak Morra ini seperti menyegarkan kembali
ingatan saya tentang salah satu pelajaran sejarah semasa sekolah dulu. Tentang
Tragedi Semanggi pada Mei 1998 silam. Meskipun saat peristiwa tersebut berlangsung,
saya masih duduk di tahun ketiga bangku sekolah dasar dan belum begitu
memperhatikan isu-isu politik pada masa itu.
Adalah
Nino, seorang mahasiswa Teknik Elektro yang kharismatik dan berkacamata dan Nalia,
mahasiswi Kedokteran Gigi yang menurut saya agak nekat itulah yang mengantarkan
saya hingga ending cerita.
Cerita
dimulai dari Nalia yang nekat mendatangi kampus Teknik Elektro hanya demi
meminta bantuan publikasi dari radio milik mahasiswa Teknik Elektro untuk
urusan BEM kampusnya―yang notabene memiliki hubungan kurang baik dengan kampus
Teknik. Di fakultas Teknik Elektro itu untuk pertama kalinya Nalia bertemu
dengan Nino, salah satu mahasiswa yang ternyata memiliki peran penting di dalam
radio. Mengingat hubungan dua fakultas itu tidak berjalan baik, kedatangan Nalia
dan temannya Zee pun mendapat sambutan dingin dari anak-anak Teknik Elektro,
tapi tidak untuk Nino. Sebaliknya, semangat Nalia yang tidak henti meminta
bantuan publikasi itu justru membuat hubungan Nalia dan Nino menjadi dekat, hal
ini sedikit menimbulkan kecemburuan pada Ve, mahasiswi Teknik Elektro yang
diam-diam menyimpan perasaan pada Nino.
Dengan
alasan perseteruan di kedua fakultas itu serta rezim Orde Baru yang
mengharamkan segala macam publikasi tak berizin membuat usaha Nalia untuk
meminta bantuan publikasi pada mahasiswa Teknik Elektro tidak berjalan mulus. Nalia
mengurungkan niatnya. Hari-hari berlalu dan semua tidak terasa telah berubah. Saat
akan menyerahkan undangan festival BEM
Kedokteran Gigi kepada anak-anak Teknik Elektro, Nalia tidak sengaja bertemu
dengan Nino yang saat itu tengah ‘bermasalah’ dengan teman-temannya di radio. Dalam
pertemuan itulah, Nino memulai ceritanya. Tentang masalahnya di radio, tentang sisi
lain Nino dibalik ketenangannya, tentang bobroknya birokrasi saat rezim Orde
Baru. Dan sejak saat itulah, Nalia dan Nino sering bertemu. Pertemuan-pertemuan
kecil secara ‘rahasia’ itu tanpa sadar membuat Nalia seolah menjadi bagian dari
Teknik Elektro, membuat mereka kian dekat, hingga peristiwa 1998 itu terjadi. Peristiwa
yang membuat mahasiswa tumpah ruah ke jalan untuk berdemonstrasi menolak
pemerintah. Peristiwa yang menimbulkan kerusuhan serta korban jiwa, mahasiswa-mahasiswa
hilang hingga kepergian Nino yang membuat Nalia menunggu cukup lama tanpa
kepastian.
---
Saya baru pertama kali membaca tulisan Mbak Morra
dan langsung jatuh cinta dengan pilihan diksi yang beliau gunakan mengingat
saya tipe yang agak susah beradaptasi dengan novel ber-POV 1. Saya sempat
merasa bosan di awal-awal cerita dan itulah yang membuat saya sengaja menyisakan
setengah halaman terakhir untuk saya baca nanti kalau mood sudah membaik lagi. Dan
beberapa hari yang lalu, seperti tidak mau kehilangan sosok Nino yang sudah terlanjur
melekat di kepala saya, rasanya sayang jika membiarkan buku ini mengambang di
rak tanpa terbaca. Saya akhirnya melahap sebagian sisa itu dengan senyum
mengembang.
Mbak
Morra menggunakan setting Yogyakarta, tepatnya Kampus UGM era 1998-an sebagai latar
utama dalam novel ini. Yogyakarta adalah kota impian saya. Deskripsi yang detil
dan tidak berlebihan membuat saya bisa merasakan feel yang dibangun di novel ini, membuat saya semakin ingin
mengunjungi kota itu dalam waktu yang lama. Ini terbukti jika riset yang beliau
lakukan tidak main-main. :)
Seorang
pernah berkata pada saya bahwa kekuatan utama sebuah buku adalah terletak pada
pilihan diksinya, keahliannya bercerita, maka plot atau unsur-unsur lain akan
mengikuti dengan sendirinya. Saya sependapat dengan itu. Bagi saya, kunci utama
sebuah buku itu menarik atau tidak bagi pembaca terletak dalam pilihan katanya.
Bagaimana si penulis bisa menyampaikan apa yang ada di kepalanya kepada pembaca
sehingga pembaca akan dengan mudah menangkap apa yang sebenarnya ingin
disampaikan oleh si penulis tersebut. Dalam hal ini penulis bertindak sebagai
seorang story teller, dan saya rasa Mbak Morra sudah melakukannya dengan baik. Di
dalam novel ini juga terdapat sejumlah nama-nama yang memang nyata menjadi
korban tragedi Semanggi 1998. Peristiwa demonstrasi yang ditulis sedemikian
detil membuat saya seolah menonton film dokumenter.
Selain
itu, tokoh Nino, Nalia dan Ve dituturkan dengan real. Baik Nino, Nalia atau Ve
yang sangat tertutup dan ‘tidak bersahabat dalam perspektif Nalia’ itu sangat
kuat. Saya tidak kesulitan membayangkan wujud mereka dan membaca perasaan
mereka. Omong-omong, selain Nino, saya juga suka Ve. Tapi bukan berarti saya
tidak suka Nalia. Bagi saya, Ve ini misterius, karakter dingin, karakter yang
selalu tampak kuat meski sebenarnya rapuh. Dan entah kenapa, seorang cewek tapi
belajar teknik atau sesuatu yang biasa dilakukan cowok itu... keren di mata
saya. Dan yang paling penting, di balik sikap cuek Ve itu ternyata diam-diam dia
menyimpan perasaan begitu dalam kepada Nino :D (Barangkali kalau saya cowok,
saya akan mengejarnya :P).
Tapi,
setelah selesai membaca buku ini, saya sempat terlibat diskusi dengan teman
baik saya. Ada beberapa kejanggalan yang bisa ditemukan di dalam buku ini. Yaitu
terkait Nino yang seorang Mahasiswa Teknik dan Nalia yang seorang mahasiswi
Kedokteran tapi benar-benar terlibat secara intens dalam konflik 1998. Kenapa
Mbak Morra memilih kedokteran sebagai latar belakang Nalia? Kenapa tidak
memilih hukum atau salah satu jurusan di Fisipol? Agak tidak nyambung memang mengaitkan
isu politik dengan kedokteran. Tapi barangkali kondisi politik zaman sekarang yang
beda jauh dengan zaman dulu yang membuat semua golongan mahasiswa bersatu dan
bersama-sama menolak pemerintah. Lalu kenapa
Mbak Morra memilih teknik sebagai latar belakang Nino? Mungkin karena penulis
ingin mengangkat isu propaganda publikasi dan dokumentasi di masa Orde Baru
yang belum bisa sebebas sekarang. Hal ini semakin dikuatkan oleh latar belakang
Nino yang orang tuanya dicurigai sebagai salah satu ‘boneka’ Orde Baru.
Selain
itu, isu yang kental di buku ini justru memburamkan kisah romantis antartokoh
di dalamnya. Tapi bagi saya itu tidak masalah. Hanya saja, hubungan antara Nino
dan Naila serta Ve, kurang terasa greget. Barangkali karena novelnya memakai
sudut pandang Nalia, jadi agak aneh juga kalau Mbak Morra bercerita melebihi
ketahuan Nalia.
Beberapa
adegan di buku ini membuat saya menarik napas, beberapa membuat saya tersenyum.
Saya paling suka adegan di pos satpam tengah malam itu. Saat Nino dan Nalia
berdiri di pos satpam, menunggu hujan reda. Saling mengenggam tanpa bicara. Seolah
mereka bisa saling membagi kegelisahan masing-masing. Satu-satunya adegan yang membuat
saya mengangkat alis yaitu sewaktu Nalia dan Nino tidak sengaja melihat kuda. Aneh.
Tapi saat menuju ending, novel ini mulai galau. Surat-surat Nino sempat membuat
nyesek, hahaha. Kebanyakan pembaca di goodreads
menyayangkan endingnya, tapi saya pribadi sangat suka endingnya. Meski ada
sesuatu yang mengganjal, tapi novel ini manis pada tempatnya. Terkenang, nagih
dan seolah tidak ingin menutup kisah ini begitu saja.
Jalur hidup
kami pernah bersimpangan, dahulu, tapi tidak lagi. Kini masing-masing jalur itu
tampak melaju dalam kecepatan yang lebih stabil, meski menuju ke arah yang
berbeda. Masa lalu sempat terlihat indah, namun kami tahu kami tidak lagi hidup
di sana. (hlm. 288)
Cinta
memang tidak akan pernah habis untuk dituliskan, ya. Terlepas dari banyaknya typo, novel ini recomended untuk pembaca yang menginginkan tema tidak biasa. Membaca
novel ini, saya belajar tentang apa itu cinta, kesetiaan, dan juga
persahabatan. Siapapun juga, pasti memiliki seseorang untuk kembali suatu hari
nanti. Sebab cinta, suatu saat pasti akan menemukan muaranya sendiri. []
Jakarta, November 2013
Jadi dari 1-5 bintang, Notasi dapat berapa?
BalasHapusAku suka sekali adegan ketika pas lagi panas-panasnya konflik. Mulai dari saat mereka hendak demo dan semua warga memberi dukungan; ada yang kasih air, dikasih tumpangan becak gratis *merinding*. Sampe demonya itu.
Dan, yang paling aku suka juga: bagian ketika Ve, Nalia, dan kawan2nya berada dalam becak yang sama itu. Kalau nggak salah setelah demo. Itu bagus banget. Jadi pengin baca novel ini lagi.
Aku pilih 3,5 :P
BalasHapustapi aku suka banget sama gaya berceritanya Mbak Morra :D
btw, thanks Alvi sudah mampir :D