Setelah kurang lebih dua tahun
menghuni kost yang lama, saya akhirnya memutuskan pindah pada Jumat malam
kemarin. Betapa tidak biasa meninggalkan segala rutinitas yang selama dua tahun
itu tidak pernah berubah, untuk menjalani rutinitas baru dengan lingkungan yang
baru pula. Maklum, saya adalah tipe yang tidak menyukai jenis adaptasi apapun.
Jika boleh memilih, maka saya ingin pindah ke tempat yang tidak usah
mengharuskan seseorang beradaptasi. Tapi, jelas itu tidak mungkin. Sebab saya
tercipta sebagai makhluk sosial, bekerja di lingkungan sosial, meskipun
nyatanya saya mengidap gejala antisosial.
Akan saya ceritakan sedikit.
Image from Weheartit |
Tidak ada alasan apapun yang
membuat saya nekat pindah, kecuali hal kenyamanan. Sebenarnya, tidak ada yang
salah dengan tempat yang lama saya huni itu. Tempat itu cukup fleksibel. Kost
terdiri dari delapan kamar yang masing-masing memiliki pintu yang disusun
berjajar, mirip seperti rumah susun. Selama kurang lebih dua tahun menghuni
kost yang lama, hubungan saya dengan tetangga kost lumayan buruk. Hanya ada
satu tetangga yang saya kenal baik, itu pun karena dia satu kerjaan dengan
saya. Selebihnya? Nihil! Dengan tetangga
kost yang lain, saya tidak pernah bertegur sapa. Ataupun mengobrol. Kami
seperti kumpulan antisosial yang dipertemukan dalam satu ruangan. Bisa
dibayangkan! Tetangga yang dekat dengan kamar saya lebih jarang di rumah, kalau
pun ada di rumah, pintunya selalu terkunci. Saya hanya mengetahui namanya tanpa
pernah mengenalnya. Saya tidak tahu dia berasal dari mana atau kerja di mana.
Dan selama dua tahun hidup berdampingan, saya dan dia hanya sekali menyapa. Itu
pun hanya sekedar mengucap “permisi”. Hubungan yang benar-benar terjalin
barangkali hanya satu : saya berbagi rak sepatu dengan dia. Selama dua tahun
menjadi ‘tetangga’nya, saya tidak pernah cekcok atau mempunyai masalah
dengannya. Saya tidak peduli sewaktu dia merokok malam-malam di teras hingga
asapnya sampai ke kamar saya. Dia juga cuek saat saya memutar Coldplay
keras-keras di kamar saya. Dan sewaktu saya pindah, barangkali dia juga tidak
peduli. Sebatas itu.
Ini mungkin terdengar klise
dan kekanak-kanakan, tapi saya berpikir saya perlu menjemput kebebasan. Berderma
pada diri sendiri. Merenung tentang segala hal. Meninggalkan zona nyaman, untuk
berada dalam zona baru yang belum tentu senyaman zona yang saya tinggalkan. Dan
tentu saja beradaptasi, melakukan hal yang saya benci. Oh iya, tentang
kebebasan, di kost yang lama, saya tinggal dengan seorang teman satu kerjaan
yang belakangan memang memiliki komunikasi yang kurang baik dengan saya. Dan
saya rasa, saya memang perlu pindah dan mungkin memang harus. Bukan semata
ingin melarikan diri. Tapi justru ingin mendewasakan diri. Itu yang pertama ada
di kepala saya.
Maka, sekarang. Inilah saya. Memilih
segala konsekuensinya dengan memutuskan untuk menyewa kamar kost baru seorang
diri. Menjadi penghuni baru dan semoga saya mendapat hal yang baru pula. Segala
sesuatu yang baru, selalu saya anggap sebagai titik nol. Dan semoga, dengan
kepindahan ini, saya kembali menjadi diri saya yang benar-benar baru dan
melewati proses baru hingga saya menjadi pribadi yang lebih baik dari
sebelumnya. Selang beberapa waktu sebelum kepindahan, saya mengalami kerisauan
dan takut menghadapi segala kemungkinan yang barangkali akan saya hadapi. Tapi,
hal yang selama ini merisaukan pikiran saya, akhirnya terlewati sudah. Ya, saya
menyebut ini semua proses. Dalam proses, selalu ada bagian tersulitnya bukan?
Sedangkan proses tidak berhenti sampai sini saja, bukan? Akan selalu ada
proses-proses lain di depan saya kelak. Itu berarti, akan ada bagian-bagian
tersulit yang harus saya hadapi. Ya, mau tidak mau saya harus melewatinya.
Alhasil, hari pertama
kepindahan saya disambut dengan hujan semut di kamar. Bapak-bapak tongkrongan
depan kost yang berisik. Jalan raya yang entah kapan sepi dari lalu lalang
kendaraan. Kamar mandi yang kurang nyaman. Kecanggungan dengan tetangga kost
dan ya, ketukan di penghujung sore yang mewajibkan saya menemui pemilik kost.
Pada intinya, si pemilik ingin mengenal saya. Dan inilah, awal adaptasi yang
akan saya jalani. Yang harus saya biasakan mulai sekarang.
Lantas, bagaimana rasanya
memiliki kamar kost sendiri? Bagaimana rasanya pindah?
Lega.
Bebas.
Itu yang saya rasakan. Meski
belum sepenuhnya merasa bebas, tapi setidaknya, saya sudah menggenggam separuh
kebebasan yang saya cari.
Jakarta, September Pertengahan 2013
selamat ya. nanti juga terbiasa dengan bunyi2 dan suasananye . :P
BalasHapuspengalamanku ngekos, aku malah betah banget di kos pertama. karena sama-sama orang 'susah' maka kami sering masak bareng, saling minjem barang dan duit, saling mendukung dalam kesusahan. pas pindah ke kos baru, isinya anak-anak kaya yang dandanannya kayak artis. haha... semoga betah ya nak :D
BalasHapus