Beberapa
bulan yang lalu, saat berada dalam gerbong Gayabaru jurusan Jakarta-Surabaya,
saya mendapat tempat duduk tepat di samping seorang bergaya nyentrik yang akan
melanjutkan perjalanan ke Bali. Dia yang pertama kali membuka percakapan dan
ngoceh panjang lebar tapi kami tidak sempat berkenalan. Mungkin melalui sandal
gunung yang saya kenakan itulah dia mengetahui bahwa saya suka melakukan
perjalanan. Dan dia mulai bertanya pada saya, pertanyaan yang pada akhirnya membuat
perjalanan Jakarta-Surabaya itu terasa semakin akrab.
“Suka
naik gunung?”
Saya terkejut.
Saya jadi ingat niat saya untuk naik gunung saat masih SMA tapi tidak pernah
mendapat izin dari orang tua. “Suka, tapi tidak pernah boleh.” Saya jujur. “Suka
naik gunung juga?”
“Sudah
jadi makanan sehari-hari.”
Dan saya
merasa sebangku dengan orang yang tepat. Dia lalu menceritakan pengalamannya
mendaki beberapa puncak gunung dan dia bercerita tentang obsesinya mendaki
Rinjani. Saya hanya menjadi pendengar yang baik sekaligus membayangkan apa yang
dia ceritakan di benak saya. Saat itu saya sedang membaca Catatan Seorang
Demonstran, dan dia antusias.
“Itu
ada plang So Hoek Gie di Semeru. Kapan-kapan kalau ada kesempatan, kesanalah.” Lalu,
beberapa saat kemudian dia memutar lagu Mahameru yang menurutnya memiliki daya
magis yang membuatnya merasa tenang. “Kamu mau? Sini saya kirimkan.” Dan, dia
mengirimkan lagu itu di hape saya. Saya mendengarkan dengan seksama dan
terhipnotis.
“Dari
dulu, saya ingin sekali naik gunung. Melihat langit sedemikian dekat. Selalu
membayangkan bagaimana jika saya melihat langsung matahari yang menyembul atau
tenggelam di balik perbukitan. Matahari yang tidak berjarak, seolah dengan
kedua tangan ini saya dapat mengenggamnya. ”
“Menuju
puncak itu melelahkan, tapi setelah sampai puncak semua akan terbayar.”
Lalu
saya dan dia terdiam satu sama lain, merenungi pikiran masing-masing. Dari dalam
kaca kereta, pemandangan tidak berubah. Hanya menampakan deretan persawahan
yang mulai terlihat mengabur karena malam. Lalu berganti dengan lampu-lampu
kota yang terlihat sunyi dan lelap. Juga klakson-klakson motor atau mobil yang
masih menampakkan aktivitas di penghujung malam yang dingin itu. Perjalanan ke
Timur ini saya tidak sendirian.
“Ke
Surabaya ke tempat siapa?” Dia bertanya, memecah kesunyian untuk kali kedua.
“Ke
tempat saudara. Nanti siang sudah balik lagi ke Jakarta.”
“Serius?
Cuma berapa hari?” Saya melihat kerutan di dahinya.
“Cuma dapat
libur dua hari. Dan saya tidak punya banyak waktu untuk bersantai selama dua
hari itu.”
“Kenapa
cepat sekali? Ada perlu apa?”
“Saya
mau ambil laptop.”
Dia
tertawa. “Ck, kenapa tidak dipaketkan
saja? Jauh lebih efisien kan?"
“Kalau
dipaketkan, saya jadi tidak bisa melakukan perjalanan. Tahu tidak, tadi saya
nyaris ketinggalan kereta.”
“Kok
bisa?”
“Terjebak
macet di Harmoni. Sesampainya di Kota, saya langsung lari. Lima detik saja saya
terlambat, saya akan ketinggalan kereta. Pas saya naik, kereta langsung jalan.”
Dia tertawa.
Sialnya, tawanya itu menular. “Gila! Berarti kamu cocok kalau naik gunung.”
Percakapan-percakapan
selanjutnya mengalir begitu saja, tanpa tendensi meski pun melahirkan rasa
canggung secara sepihak. Lalu, setelah lepas Madiun, menuju Mojokerto dia
tertidur tepat di depan bangku saya yang saat itu telah kosong. Sebelum tidur,
dia berpesan untuk dibangunkan setelah sampai di Gubeng dan dia ingin bertukar
nomor ponsel dengan saya sesampainya di Surabaya. Saya menyanggupi lalu kembali
sibuk dengan pikiran saya. Diam-diam saya mendengarkan lagu Mahameru yang dia
kirimkan melalui sepasang handsfree. Kereta
masih bergerak menerobos malam yang semakin larut, menuju Timur dengan
kebisuan-kebisuan yang entah datang dari mana.
Melewati
dini hari, speaker dari PPKA di stasiun mengabarkan jika kereta telah sampai di
Surabaya. Saya membangunkan dia sesuai instruksi yang dia pesankan. Dia sedikit
terperanjat dan barangkali mimpinya telah menghapus semua memori yang baru saja
mendarat di otaknya. Dia cepat-cepat menuruni gerbong stasiun. Sebelum tertidur
dia sempat bercerita bahwa dia harus cepat-cepat sampai di Bali. Dia butuh ke
Banyuwangi untuk bisa melakukan penyeberangan. Dan menunggu kereta Sri Tanjung jurusan
Banyuwangi terlalu memakan banyak waktu. Dia sempat bertanya pada saya
alternatif apa yang harus dia tempuh untuk bisa sampai di Bali sebelum siang. Saya
menyarankan untuk naik bus dari Bungur Asih. Dan saat dia mengetahui bahwa
jarak Gubeng dan Bungur Asih itu tidak dekat, dia sedikit khawatir. Barangkali
itulah alasan yang membuat dia tergesa menuruni gerbong kereta : dia harus
sampai Bali secepat yang dia bisa. Saya sempat melihat punggungnya bersama
penumpang-penumpang lain memasuki pintu keluar. Dan rencana untuk bertukar
nomor ponsel itu cuma tinggal rencana saja. Saya ingat, tapi tidak mau
mengingat, dan barangkali dia juga lupa. Itu tidak terlalu penting bagi saya. Saya
membiarkannya berlalu, lalu tanpa sadar, kami sudah kembali menjadi orang
asing.
Di
dalam sebuah perjalanan, salah satu hal yang paling menyenangkan adalah membaca
karakter setiap orang yang tanpa sadar mendarat di dalam hidup kita. Membaca setiap
situasi. Menemukan makna hidup, sekecil apapun. Dan orang itu adalah salah satu dari sekian orang yang pernah saya temui saat melakukan perjalanan. Itulah kenapa saya menyukai
perjalanan. Perjalanan membuat saya bisa menyelami dunia orang lain yang belum pernah saya masuki. Dan perjalanan ke Timur itu sudah lama sekali berlalu, tapi
keinginan untuk mendaki gunung masih terpatri dalam hati saya. Dan orang itu
berhasil menguatkan racun di dalam kepala saya.
Selang
beberapa bulan dari pertemuan tak terduga itu, tepatnya awal bulan lalu saya mendapat
kesempatan untuk menginjakkan kaki ke Taman Nasional Pangrango yang berada
dalam satu kawasan dengan Gunung Gede, Bogor. Perjalanan melelahkan tapi
menyenangkan. Modal nekat, dari Stasiun Pasar Minggu, saya dan teman-teman satu
kerjaan berangkat ke Bogor dengan Commuter Line. Sesampainya di stasiun Bogor,
kami naik angkot ke arah Botani Square lalu melanjutkan perjalanan dengan
angkot jurusan Cianjur (kalau nggak salah :P). Dari Bogor ke Cibodas memakan
waktu hampir kurang lebih dua atau tiga jam perjalanan (saya lupa karena sempat
ketiduran). Yang saya ingat, angkot yang saya tumpangi sempat melewati
perbukitan teh yang menawarkan pemandangan dan udara yang tidak akan pernah
saya temui di Jakarta. Dan di tepi jalan, berderet warung-warung kecil yang
sekilas mengingatkan saya pada Sarangan, sebuah objek wisata danau buatan yang
ada di kampung halaman saya, Madiun-Magetan. Udaranya nyaris sama, berkabut dan
sempat gerimis. Di atas perbukitan teh itu, saya melihat beberapa orang yang sedang
melakukan paralayang. Demi apapun, saya iri setengah mati dan semakin tidak
sabar menginjakkan kaki ke Cibodas.
Kami
turun dari angkot dan kembali-harus-naik-angkot-lagi untuk benar-benar sampai
ke Cibodas. Tidak ada satu jam dan semua baik-baik saja. Semula, saya dan
teman-teman hanya ingin mengunjungi Taman Nasional Cibodas. Tapi setelah sampai
di sana, kami justru memutuskan untuk pergi ke Curug Cibereum. Setelah turun
dari angkot, saya hampir melonjak saking semangatnya. Udara segar membaui bumi.
Gerimis sempat meretih sebelum akhirnya hilang dan hanya meninggalkan mendung. Pemandangan
perbukitan sudah di depan mata. Kesejukan dan keheningan mengingatkan saya pada
kampung halaman. Perasaan saya berdebar-debar dan sedikit merasa tidak sabar.
Memasuki
kawasan pendakian, berjejer toko-toko suvenir dan makanan-makanan khas Bogor
yang so Bogor sekali. Ini benar-benar
gunung seperti yang saya harapkan selama ini!
Sampai di pos pertama, teman-teman membeli
tiket masuk. Kami istirahat sejenak untuk menyantap makan siang. Di pos pertama
itulah terpasang sebuah papan yang berisi peraturan-peraturan dan
kesiapan-kesiapan dalam melakukan pendakian. Di sana pulalah, saya melihat
beberapa orang dengan tas carrier
yang besar-besar, celana cargo juga sepatu atau sandal gunung tampak sudah
selesai melakukan pendakian. Mereka memutuskan beristirahat sejenak untuk
mengabadikan momen atau sekedar mengatur napas.
Jalur
yang ditempuh untuk sampai ke curug nyaris sama dengan jalur pendakian ke
Gunung Gede. Medannya terjal berbatu dan menanjak. Di sekeliling jalur,
terdapat pohon-pohon rindang yang menaungi para pejalan dari terpaan sinar
matahari meskipun di sana saya nyaris tidak bertemu matahari karena cuaca
mendung. Jarak dari pos pertama untuk sampai ke pos berikutnya lumayan jauh dan
lumayan memakan waktu beberapa jam. Saya berkali-kali kehilangan napas dan
harus berkali-kali istirahat untuk mengumpulkan tenaga dan menetralkan degup
jantung. Padahal dibanding beberapa pendaki serius yang saya temui di sepanjang
jalan, beban di pundak saya tidak seberapa beratnya. Meskipun melelahkan, tapi
perjalanan ini saya nikmati betul. Saya sempat mendengar beberapa pendaki yang
memberi semangat. “Ayo, semangat, masih jauh.” Saya tersenyum saja dan
mengiyakan. Ketahuilah, mendapat semangat dari sesama pendaki yang nyatanya
tidak saling mengenal itu sungguh menyenangkan. Meskipun ini pendakian tanpa carrier yang besar, tapi saya menikmati
pendakian ini sebagai sebuah pendakian. Dan, tanpa sadar saya mengingat orang
di kereta itu dengan Mahameru-nya.
Proses
masih berjalan sebagaimana mestinya. Butuh usaha keras dan perjuangan untuk
melewati tiga pos sebelum sampai ke Cibereum. Saya sempat gamang ketika sampai di
persilangan jalan―entah di pos berapa saya lupa. Persilangan jalan itu ditandai
dengan sebuah plang penunjuk jalan dan sebuah plang bertulis beberapa himbauan
tentang kesiapan dalam mendaki. Jalan yang kiri mengarah pada jalur pendakian
ke Gunung Gede, sedangkan jalan yang kanan mengarah pada jalur ke Curug
Cibereum. Saya terdiam lama. Harapan di dada saya meletup-letup. Dan keinginan
untuk mendaki semakin tak tertahankan. Namun, akhirnya logika saya masih
bekerja dengan baik. Saya memutuskan menyusul langkah teman-teman saya menuruni
jalanan terjal untuk menuju Cibereum dengan selalu berpikir bahwa kesempatan untuk
menginjak gunung itu pasti datang suatu waktu, entah kapan.
Lalu,
akhirnya, pukul dua lebih entah berapa menit kami tiba di curug. Sekejap, kesejukan
menyeruak. Kami langsung disambut dengan suara derasnya air terjun yang jernih
dan dingin. Suara burung-burung dan angin-angin hutan yang tidak pernah ada di
Jakarta. Saya terpekur sepersekian detik, mengagumi keindahan alam yang Tuhan
ciptakan. Merasakan kedamaian perlahan-lahan menjalari dada saya. Seperti berembun,
hati saya kembali sejuk dan pikiran saya kembali jernih. Maka, setelah melepas
lelah, saya memutuskan untuk mencium bumi. Berucap syukur kepada Pencipta
dengan cara yang saya bisa.
Ini
pengalaman yang luar biasa bagi saya. Setelah melewati jalur yang tidak mudah
itu, akhirnya saya bisa sampai di curug yang menawarkan sejuta pesona. Saya jadi
membayangkan bagaimana jika kelak saya mendaki gunung. Dengan jarak yang tidak
dekat, medan berat dan tentu saja beban yang berat pula. Tapi meski hanya
sampai di curug, saya bisa mengambil pelajaran. Bahwa mendaki tak ubahnya
sebuah kehidupan. Dan kehidupan tidaklah lepas dari apa yang orang sebut
sebagai proses. Semakin tinggi harapan seseorang, semakin tinggi pencapaian
yang ingin digenggam seseorang, maka semakin beratlah proses yang harus dia
lalui. Sama halnya dengan mendaki. Dengan melakukan perjalanan atau mendaki,
berbaur dengan alam, bertemu dengan orang-orang yang memliliki kondisi yang
berbeda dengan saya, saya jadi menemukan esensi dan kebesaran Tuhan. Saya jadi
ingat apa yang pernah dikatakan Felish, presenter favorit saya itu, “Saya juga belajar
bahwa nikmatnya hidup terletak pada prosesnya. Sama halnya ketika saya mendaki
gunung. Ketika saya sudah sampai puncak, mau ngapain? Di atas sana udara sangat
tidak bersahabat. Sudah sampai di puncak, ya turun lagi. Jadi yang harus dijadikan
pelajaran adalah proses naik dan turunnya itu.”
Dan teman saya
pernah bilang, bahwa esensi dan tujuan manusia adalah semata untuk Tuhan. Jika
manusia sudah mencapai puncaknya, dia akan kekal selamanya. Tapi sekali lagi,
proses untuk mencapai itu semua tidaklah mudah. Dan melalui perjalanan,
sedikit demi sedikit saya mulai belajar ‘melihat’ juga ‘merasa’. Bahwa Tuhan
menciptakan segala sesuatunya dengan sangat terstruktur dan dalam porsi
masing-masing yang luar biasa menakjubkan. Air terjun, awan, gunung, pohon, langit,
serangga adalah sekian kecil dari jutaan ciptaan-Nya yang luput kita syukuri. Di
tengah alam raya yang luas ini, saya semakin terlihat kerdil dan tidak ubahnya
sebuah partikel debu yang bisa tertiup angin kapan saja (so Gibran :P). Saya sering mengeluh banyak hal, tentang ini itu,
tapi di sisi lain masih banyak orang yang memiliki kondisi jauh di bawah saya. Saya
sering mengeluh tentang pencapaian-pencapaian orang lain yang membuat saya iri
padahal saya belum melakukan usaha apapun untuk meraih pencapaian yang saya
inginkan. Dan melalui sebuah perjalanan itulah, saya mulai bisa merasakan
semuanya. Tentang proses yang sesungguhnya. Debaran di dada yang kian
meletup-letup yang membuat semangat dan rasa syukur saya naik berlipat-lipat. Dan
melalui perjalanan itulah, pada akhirnya saya bisa melihat dari sudut pandang
yang berbeda-beda yang memiliki satu tujuan sama. Melihat yang pada akhirnya
membuat saya merasa. Merasa yang pada akhirnya membuat saya mengerti. Bahwa Tuhan
itu ada.
Jakarta, akhir Oktober 2013
Saya dalam sebuah lensa seorang teman :) |
P.S : Saat ke Pangrango, kebetulan kamera saya sedang tidak bersahabat, jadi saya tidak leluasa mengabadikan momen yang berharga itu. :(
0 comments:
Posting Komentar
Thank you so much for leaving a comment on my blog. Hope you enjoy this site. :)