“Sita!
Sini! Ngapain kau di situ?” Anak laki-laki itu melambaikan tangan kepada anak
perempuan yang masih diam mengamati perahu kertas mengambang di tengah sungai
kecil sebuah pematang sawah.
Di
tangan anak laki-laki itu sebuah layang-layang lengkap dengan gulungan benang
menunggu untuk diterbangkan. Tapi, niat menerbangkan layang-layang di sebuah
lapangan di dekat sawah diurungkannya. Anak laki-laki itu memilih duduk di
sebuah gubug reot, menunggu kereta api pukul lima sore melintas di sana.
“Tapi
perahuku sebentar lagi sampai finish,” seru anak perempuan itu. Rambutnya
tergerai sebatas bahu dengan japit berbentuk boneka yang tersemat menyamping di
atas telinga.
“Ah,
itu tidak penting! Sini dulu! Keretanya sebentar lagi lewat. Bukankah kau ingin
sekali naik kereta?”
Anak
perempuan itu tidak peduli lagi dengan perahu kertasnya. Dia berlari ke arah
anak laki-laki yang mulai tersenyum lebar itu. Ini musim padi menguning. Anak
laki-laki itu suka menunggu padi jika
musim panen hampir tiba, mengusir burung pemakan padi dengan orang-orangan
sawah yang digerakkan dengan benang dan kaleng bekas sehingga menimbulkan suara
gesekan kaleng yang merdu. Dan ritual itu selalu dilakukannya sepulang sekolah dengan
anak perempuan itu.
“Kapan-kapan
aku mau mengajak Ibu naik kereta, ah.” Anak perempuan itu menyelutuk. Dia duduk
di samping anak laki-laki itu. Seharian bermain di sawah membuat wajah mereka
kumus dan terbakar matahari. Peluh melumer di kening mereka, namun tidak begitu
terasa saat angin senja diam-diam datang menyejukkan.
“Kalau
kita sudah dewasa, kita naik berdua saja, gimana? Kau mau kemana saja aku akan
antar. Janji deh.” Anak laki-laki itu
tertawa. Menunjukkan deretan gigi-giginya yang ompong. Lalu dia menautkan jari
kelingkingnya pada jari kelingking anak perempuan itu. Tangan anak laki-laki
itu kasar.
“Awas
kalau sampai kau lupa janjimu.” Ancam anak perempuan itu, tapi dia justru
mendapati senyum polos itu terlukis indah di wajahnya yang berminyak. Mereka tertawa
bersama, membarkan suara serangga dan burung-burnng sawah masuk ke dalam
telinga mereka, membiarkan angin sesuka hati memainkan riak rambut mereka.
“Oh
ya, Ta, aku punya sesuatu untukmu.” Anak laki-laki itu mengambil sebuah rumput
liar yang masih segar, membentuk rumput itu menjadi sebuah lingkaran kecil
kemudian menautkannya pada jari manis anak perempuan itu.
Sinar
senja mengenai wajahnya, rambutnya dan juga matanya.
“Apa
ini?”
Tanpa
memedulikan anak perempuan itu, dia berlalu. Sebuah rona merah samar tersembul
di permukaan pipinya yang legam. Membentuk ranum yang sengaja dia sembunyikan
dalam-dalam.
“Nanti
kalau sudah dewasa, aku akan mengajakmu naik kereta yang kau inginkan,”
katanya. “Sudah ah, anginnya sedang bagus.
Layang-layangku ini sudah rindu untuk diterbangan. Kau mau ikut tidak? Tapi,
jangan bilang Ibuku kalau aku tidak menunggu padi.”
Anak
laki-aki itu berlalu. Semakin menjauh. Senyumnya semakin mengabur, tenggelam
dalam cahaya senja yang selalu hangat. Sirine kereta perlahan terdengar samar-samar.
“Radit,
tunggu! Kau tidak boleh pergi begitu saja. Ibumu berpesan agar kita selalu
bersama!”
Barangkali
saja, senja tidak selalu bercerita tentang kenangan. Padanya, sebuah kemurungan
mengendap-endap dalam kesunyian yang syahdu. Anak perempuan itu paham. Dia
ingat, angka lima itu. Kereta itu. Ah, senyum anak laki-laki itu terus saja membekas.
Jakarta, Juni 2012
0 comments:
Posting Komentar
Thank you so much for leaving a comment on my blog. Hope you enjoy this site. :)