"Hei!! Sebentar lagi hujan turun. Apa yang kau lakukan di situ? Ayo kita berteduh!"
Gemuruh langit terdengar antusias bersama dengan kilatan-kilatan indah yang menyerupai blitz kamera.
Laki-laki itu berlari menghampiri seorang gadis berkepang yang masih duduk di sebuah bangku, di bawah pohon flamboyan yang belum berbunga.
"Aku mau di sini dulu, sebentar saja. Sampai hujan turun," kata gadis itu.
"Apa yang mengacaukan pikiranmu? Aku melihat kemurungan mengendap di matamu."
"Kata orang, menatap langit bisa mengurangi sedikit air mata." Gadis itu menjawab dengan intonasi datar. Jawaban yang berbeda, yang melenceng jauh dari apa yang ditanyakan lelaki itu.
Gadis itu masih sibuk menatap langit. Menunggu hujan turun membasahi wajahnya yang muram. Hujan yang akan melarungkan air matanya. Air mata yang terasa susah ia tahan.
Lelaki itu berdiri mematung, menunggu gadis yang menatap langit dengan bibir terkatup. Matanya sibuk menyelam kedalam mata gadis itu. Mata berwarna abu-abu seperti mendung.
"Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan. Tapi aku bersamamu."
Gadis itu diam. Sementara gerimis mulai turun satu-satu.
"Aku terkenang." Air matanya meleleh, sebagaimana gerimis yang mulai menjelma menjadi hujan yang ringkih. Yang merdu.
Lelaki itu memeluk gadis yang masih menatap langit. Hingga butiran hujan jatuh menerpa wajahnya. Membasahi. Membuatnya menggigil. Kemudian terisak dalam diam yang dia ciptakan sendiri.
"Kau tampak menyedihkan," kata lelaki itu. "Tidur dan terjagalah dalam kesunyianmu. Aku ada di situ."
Hujan larung, membawa serta guguran daun flamboyan yang kering. Hujan yang bisu. Andai kenangan bisa dilarungkan bersama hujan, seperti air matanya. Tentu gadis itu akan sibuk menatap langit, menunggu hujan turun untuk melarungkan semua, termasuk perihal kenangan.
Jakarta, Juli 2012
Published with Blogger-droid v2.0.6