Kita barusaja terlempar ke masa silam.
Bermenit menit dan berjam jam waktu berputar semacam deruderu roda pedati tua.
Engkau hendak menengadah luka pada sejumput senja yang muram dan merah warnanya.
Di sana letak kesunyian yang perlahan mengendap dan memberuncah pada dadamu. Dada kosong itu.
Kita barusaja terlempar ke masa silam.
Masa yang bahkan kau sendiri tak mampu lagi merekamnya dengan jelas.
Masa saat masih banyak capung berkeliaran di udara dan laron-laron muncul dari balik lubang lembab selepas hujan di pagi buta.
Engkau tertawa melihat jerit anak kecil yang berkepang dua.
Dari balik jendela yang sebagian termakan rayap, diamdiam engkau merekam tawanya. Mengabadikannya melalui lensa yang kini sudah buram.
Barusaja kita terlempar ke masa silam. Lewat sebuah kata yang seolah telah menghentikan semua. Memutar kembali slide yang sudah terlewat bahkan nyaris terkubur bersama bunga tujuh rupa. Hening.
Saat itu engkau hendak menadah luka.
Dengan anyaman dari kertas warna yang kau gantungkan satusatu di balik jendela.
Aku menggigil oleh hujan yang turun tanpa peringatan.
Ah, kita rupanya barusaja terlempar ke masa silam.
Perihal luka yang masih menganga. Perihal cinta.
Juga perihal dunia yang tak lagi sama.
Jakarta, Juli 2012