Minggu, November 24, 2013



Tidak banyak referensi novel thriller yang saya punya karena sejujurnya saya kurang akrab dengan novel sejenis ini (yang belakangan justru membuat candu). Tapi novel ini merupakan pengecualian. Ada tiga elemen yang membuat saya tertarik membeli buku ini. Adalah :


  1.   Judulnya yang membuat saya penasaran dan bertanya-tanya, ‘Seperti apa wujud sunyi yang ingin dibahas penulis dalam buku ini? Dan rahasia apa yang menyelimuti sunyi itu sendiri?' Mengingat saya adalah salah sau penggemar sesuatu yang berhubungan dengan ‘sunyi’. 
  2. Cover novel ini yang adem dan penuh rahasia. Mengingatkan saya pada laut dan langit, dua simbol yang sering saya gunakan untuk mengibaratkan makna ‘sunyi’ dan ‘keluasan tak terhingga’ di dalam kehidupan ini. Yang ternyata juga, dua simbol itu pulalah yang digunakan penulis untuk menamai tokoh dalam novel ini, Lautan Angkasawan.
  3. Ulasan readers yang rata-rata merekomendasikan buku ini.

Dan jadilah novel ini ada di tangan saya sekarang.

--- 
 
Cerita di novel ini berawal dari Lautan Angkasawan, seorang pegawai outsourcing yang tanpa sengaja menabrak mobil Lachlan Fowler, seorang ekspatriat sekaligus pengusaha novelties kaya raya asal Australia yang juga merupakan ayah dari mantan kekasihnya yang telah meninggal dunia, Kirey Fowler.

Menurut analisa polisi, Kirey meninggal akibat kekurangan darah dalam kecelakaan saat berada di Kerinci. Lachlan Fowler tidak puas dengan keterangan versi polisi yang menyebutkan bahwa putrinya meninggal akibat kekurangan darah. Dia merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik kematian Kirey. Untuk itulah, berbekal scrapbook, MP3 Kirey dan laptop Acer Aspire 4741 milik Kirey, Lachlan akhirnya mengutus Lautan menyelidiki kronologi kematian Kirey yang sebenaarnya ke Kerinci.

Jumat, November 22, 2013

Rasanya sudah lama sekali sejak aku dan dia melihat pelangi di langit utara Pogung. Namun, kembali ke kota ini, seperti menyeruakkan semua ingatan tentangnya; tentang janji yang terucap seiring jemari kami bertautan.

Segera setelah semua berakhir, aku pasti akan menghubungimu lagi.
Itulah yang dikatakannya sebelum dia pergi. Dan aku mendekap erat-erat kata-kata itu, menanti dalam harap. Namun, yang datang padaku hanyalah surat-surat tanpa alamat darinya. Kini di tempat yang sama, aku mengurai kembali kenangan-kenangan itu...

 
Judul : Notasi
Penulis : Morra Quatro
Penerbit : Gagas Media, 2013
Harga : Rp. 43.000
Tebal : 294 hlm, 13 x 19 cm
Genre : Fiksi, Romance, Historical

Sabtu, Oktober 26, 2013

Beberapa bulan yang lalu, saat berada dalam gerbong Gayabaru jurusan Jakarta-Surabaya, saya mendapat tempat duduk tepat di samping seorang bergaya nyentrik yang akan melanjutkan perjalanan ke Bali. Dia yang pertama kali membuka percakapan dan ngoceh panjang lebar tapi kami tidak sempat berkenalan. Mungkin melalui sandal gunung yang saya kenakan itulah dia mengetahui bahwa saya suka melakukan perjalanan. Dan dia mulai bertanya pada saya, pertanyaan yang pada akhirnya membuat perjalanan Jakarta-Surabaya itu terasa semakin akrab.

“Suka naik gunung?”

Saya terkejut. Saya jadi ingat niat saya untuk naik gunung saat masih SMA tapi tidak pernah mendapat izin dari orang tua. “Suka, tapi tidak pernah boleh.” Saya jujur. “Suka naik gunung juga?”

“Sudah jadi makanan sehari-hari.”

Dan saya merasa sebangku dengan orang yang tepat. Dia lalu menceritakan pengalamannya mendaki beberapa puncak gunung dan dia bercerita tentang obsesinya mendaki Rinjani. Saya hanya menjadi pendengar yang baik sekaligus membayangkan apa yang dia ceritakan di benak saya. Saat itu saya sedang membaca Catatan Seorang Demonstran, dan dia antusias.

Rabu, Oktober 23, 2013

Belakangan ini saya kehilangan fokus menulis lagi setelah beberapa waktu yang lalu saya berhasil menambah satu halaman lagi dari halaman sebelumnya. Ya, satu halaman yang bagi saya sangat berharga. Satu halaman yang saya tulis dengan mengendapkan draft selama beberapa hari lamanya, bahkan banyak hari hingga saya nyaris lupa akan kemana jalan cerita dari draft yang sedang saya tulis ini.

Saya kehilangan fokus bukan karena pekerjaan saya atau lingkungan saya yang berganti. Saya juga tidak punya alasan untuk menyalahkan kedua situasi rumit itu untuk mencari perlindungan dari waktu yang telah saya tetapkan sendiri dalam menyelesaikan draft yang selama ini telah menyita sebagian isi kepala saya. Tapi saya merasa, saya jauh lebih khawatir daripada sebelumnya. Saya merasa cemas terhadap diri saya sendiri, terhadap tulisan-tulisan saya yang berdampak pada tingkat kepercayaan diri saya yang anjlok secara drastis. Mood saya yang berantakan entah karena apa. Semangat yang menyurut yang membuat saya cepat bosan dengan segala sesuatu. Dan untuk itulah saya lebih suka melamun, mendengarkan lagu atau duduk di depan laptop hanya memandangi beranda yang berisi hal yang sama setiap harinya. Atau jika waktu libur yang berharga itu tiba, saya akan naik kereta. Sekedar naik saja, tidak peduli siapa yang akan saya temui setelah kereta tiba di stasiun tujuan. Saya jenuh luar biasa dan mungkin itulah yang membuat saya terlihat linglung belakangan ini. Saya merasa harus berpindah tapi tidak tahu harus kemana. Saya membutuhkan waktu untuk diri sendiri yang mulai jarang sekali saya dapatkan. Saya seperti terikat oleh sesuatu yang bahkan saya sendiri tidak tahu apa yang tengah mengikat saya. Seperti ada banyak aturan yang membebani kepala saya meski nyatanya tidak seorang pun yang memaksa saya.

Rabu, Oktober 09, 2013

Sepulang kerja, seorang teman (yang sengaja saya sensor namanya dan semoga dia tidak marah :P ) tiba-tiba mengajak saya nonton. Alhasil, setelah molor dari waktu yang telah disepakati karena saya telat, jadilah kita nonton Gravity yang ―menurut teman saya itu―punya treaser keren di Prambors. Dan karena saya jarang nonton dan sudah mulai jadi robot kuper, akhirnya saya ikut saja.

Dibintangi oleh Sandra Bullock dan George Clooney yang sama-sama peraih Oscar, Gravity bercerita tentang Dr. Ryan Stone (Sandra Bullock) dan astronot berpengalaman Matt Kowalski (George Clooney) yang memiliki misi untuk NASA yaitu memasang prototipe (semacam software) pada sebuah satelit luar angkasa Amerika. Namun, saat sedang menjalankan misi tersebut, sebuah satelit milik Rusia meledak dan membuat pesawat Explorer mereka hancur karena terkena gumpalan-gumpalan satelit berkecepatan tinggi. Kecelakaan itu tak pelak membuat Dr. Stone terlempar jauh keluar orbit bumi dengan oksigen yang terbatas. Dan dengan harapan yang nyaris putus saat itu juga, Matt berhasil menemukannya dalam keadaan oksigen yang menipis. Tidak mau  mengundur lagi agenda kepulangan yang sempat tertunda itu, mereka memutuskan untuk pergi mencari kru luar angasa NASA untuk pulang ke bumi, namun nihil. Muncul harapan saat mereka melihat stasiun luar angkasa Cina yang tidak hancur. Di sinilah drama masa lalu itu terjadi. Dalam perjalanan menggunakan jet menuju stasiun transmisi Cina, mereka berdua bercerita perihal masa lalu. Dr. Stone yang mengalami trauma pasca kehilangan putrinya, memutuskan untuk pergi ke luar angkasa demi mencari keheningan. Sementara Matt sangat merindukan keluarganya saat berada di luar angkasa. Percakapan itu tidak berlangsung lama sebab persedian oksigen yang dimiliki Dr. Stone menurun drastis. Saat mulai mendekati stasiun itu lagi-lagi, kecelakaan menimpa mereka dan membuat Dr. Stone dan Matt akhirnya terpisah.  

Lalu, apa mereka bisa kembali lagi ke bumi dalam kondisi selamat?

Let's check the trailer