Beberapa
bulan yang lalu, saat berada dalam gerbong Gayabaru jurusan Jakarta-Surabaya,
saya mendapat tempat duduk tepat di samping seorang bergaya nyentrik yang akan
melanjutkan perjalanan ke Bali. Dia yang pertama kali membuka percakapan dan
ngoceh panjang lebar tapi kami tidak sempat berkenalan. Mungkin melalui sandal
gunung yang saya kenakan itulah dia mengetahui bahwa saya suka melakukan
perjalanan. Dan dia mulai bertanya pada saya, pertanyaan yang pada akhirnya membuat
perjalanan Jakarta-Surabaya itu terasa semakin akrab.
“Suka
naik gunung?”
Saya terkejut.
Saya jadi ingat niat saya untuk naik gunung saat masih SMA tapi tidak pernah
mendapat izin dari orang tua. “Suka, tapi tidak pernah boleh.” Saya jujur. “Suka
naik gunung juga?”
“Sudah
jadi makanan sehari-hari.”
Dan saya
merasa sebangku dengan orang yang tepat. Dia lalu menceritakan pengalamannya
mendaki beberapa puncak gunung dan dia bercerita tentang obsesinya mendaki
Rinjani. Saya hanya menjadi pendengar yang baik sekaligus membayangkan apa yang
dia ceritakan di benak saya. Saat itu saya sedang membaca Catatan Seorang
Demonstran, dan dia antusias.