Dari
Barcelona, niat saya berkunjung ke Paris harus tertunda. Dan akhirnya saya
memutuskan untuk mengunjungi London terlebih dulu bersama Gilang. Next destination menyusul ya :D
Setelah
mengetahui bahwa Mbak Windry terlibat dalam proyek STPC yang digagas oleh
Bukune dan Gagas Media, tidak butuh waktu lama bagi saya untuk membeli buku
ini. Dan hasilnya, saya selesai membacanya dalam waktu yang relatif singkat.
Buku
ini bercerita tentang Gilang, seorang editor yang merangkap sebagai penulis
susah fokus, yang lebih dari enam tahun memendam perasaan pada sahabatnya
sendiri, Ning, yang memutuskan melanjutkan pendidikan di Royal College of Art
London. Ide gila itu bermula saat acara malam minggu di Bureau, secara spontan
Gilang memutuskan untuk mengejar Ning ke London. Dan niat itu disambut baik
oleh teman-temannya. Alhasil, setelah mengambil cuti selama delapan hari, dan
mengurus semua perlengkapan, jadilah Gilang pergi ke kota itu.
Sesampainya
di London, bukan bertemu Ning, Gilang justru bertemu dengan Goldilocks di
London Eye, gadis berpayung merah yang berambut keemasan, yang misterius karena
muncul saat hujan turun dan pergi di saat hujan reda. Sejak peristiwa di London
Eye bersama Goldilocks dan sejak Goldilocks meninggalkan payung merah itu untuk
Gilang, Gilang seolah selalu terhubung dengan gadis kaukasoid itu. Payung
merahnya seolah memiliki daya magis yang luar biasa. Dimulai dari kisah V,
lelaki berdagu mirip topeng Guy Fawkes yang memiliki masalah dengan mantan istrinya,
Madam Ellis dan Mr. Lowesly yang memiliki kisah masa lalu rumit, hingga
menyangkut Ning dan semua harapan juga perjuangan yang selama ini Gilang
taruhkan.
Tidak
seperti Memori yang menurut saya suram dan tenang, tidak juga seperti Montase
yang menurut saya lincah dan ringan. London sama sekali berbeda. London justru
lebih ‘nakal’ dan menggelitik. Di dalam novel London, saya menemukan banyak
frame cerita yang memiliki penyelesaian sendiri-sendiri dan kembali pada muara
yang sama, cinta. Saya jadi ingat salah satu pepatah Kafka yang berbunyi, ‘cinta
itu ibarat mobil, ia tidaklah rumit. Yang menjadi persoalan hanyalah sopir,
penumpang dan jalannya.’ Saya sepakat dengan itu. Ya, jauh sebelum kita lahir, Tuhan
sudah menciptakan cinta menurut porsinya masing-masing. Yang menjadikannya
rumit adalah jalan kita akan melabuhkan cinta itu, mengingat setiap orang tentu
memiliki jalan cinta yang berbeda satu sama lain. Tidak semuanya menemukan kesedihan,
tidak pula kebahagiaan. Dan di Novel ini saya merangkumnya menjadi sebuah kisah
cinta yang utuh. Cinta yang meluaskan, cinta yang membebaskan, dalam lingkup
yang sebenarnya.
Kau tidak belajar mencintai. Kau mencintai
dengan sendirinya. (hlm. 297)
Barangkali
klise, tapi manusia tidak lebih hanyalah lakon dalam sebuah pementasan. Manusia
hanya bisa menerima. Termasuk pada cinta yang terkadang muncul secara tak
terduga, cinta yang bersifat mutlak. Tidak seorang pun bisa menolaknya, bukan? Lantas
pada akhirnya, manusia pun menerima meski terkadang cinta itu kerapkali menyisakan
luka.
Siapa yang tahu berapa lama waktu yang
dibutuhkan untuk mengobati luka hati? (hlm. 310)
Hal
inilah yang mungkin sedang dialami Gilang. Jika dia bisa memilih, barangkali
dia akan memilih untuk tidak mencintai Ning. Jika dia tahu bahwa dia akan
terluka, barangkali dia akan memilih untuk tidak mencintai Ning.
Kalau saja kita jadi anak-anak selamanya,
situasi rumit ini tidak akan pernah ada. (hlm. 295)
Barangkali,
inilah yang dimaksud Kafka sebagai persoalan rumit.
Perihal
cinta yang memiliki jalan sendiri-sendiri itulah awal saya mengalami sedikit
kesulitan menemukan fokus dari cerita di novel ini. Tapi setelah mendekati
ending, barulah saya mengerti. Dan barangkali saja, itu sebabnya novel ini
mengambil tagline Angel. Sebab
sebenarnya, itulah benang merah ceritanya. Cinta dan malaikat, sesuatu yang
menarik untuk diperbincangkan.
“Tahukah kau apa yang turun bersama hujan?”
Aku menggeleng.
“Malaikat,” kata lelaki itu. Suaranya
berubah pelan, seolah-olah dia sedang membisikkan rahasia kepadaku. (hlm. 126)
Bersama
malaikat hujan lah, London akhirnya membuat saya jatuh cinta pada Gilang. Seperti
biasa, dengan kekuatan detil cerita, mbak Windry selalu bisa menciptakan plot
yang enak dibaca. Konflik yang pas, informasi yang tidak menggurui. Dibumbui setting
London dan hujan di bulan September, bau daun kering dan sebagainya, novel ini
romantis tanpa harus menggunakan banyak kata picisan yang terkesan
mendayu-dayu, ataupun kontak fisik antartokoh ala harlequin yang menjadi
prioritas.
Well,
di dalam novel ini saya belajar banyak hal. Terlebih tentang sesuatu yang
memang harus diperjuangkan, apapun itu. Dan sepahit apapun itu, perjuangan pasti
tidak akan pernah berakhir sia-sia. J
Menunggu cinta bukan sesuatu yang sia-sia,
menunggu seseorang yang tidak mungkin kembali, itu baru sia-sia (hlm. 247)
Judul : London : Angel
Penulis : Windry Ramadhina
Penerbit : Gagas Media
Cetakan Pertama : Juli 2013
Ukuran : 13 x 19 cm
Tebal : 340 hlm
ISBN : 979-780-653-7
Price : Rp. 52. 000,-
Jakarta, Juli 2013