Suatu hari, kau mengajakku menggembala sapi di suatu padang rumput yang luas. Angin beriak. Dan embun masih malu-malu, mengintip sinar matahari dari balik reranting trembesi.

Di sana kau duduk di bawah pohon, meniup seruling dan membaca beberapa bait puisi. Sementara aku berlarian mengejar kupu kupu musim panas yang beraneka warna.

Kita tertawa, merasakan hangat pagi dengan perasaan gembira.

"Hari ini cerah sekali," kataku. Peluh sudah menganak sungai di setiap ceruk wajahku. Nafasku naik turun. Lalu dengan senyum yang masih mengembang di bibir, aku merentangkan tanganku. Menatap langit dengan beralaskan rumput. Aku memejamkan mata sejenak. Sayup-sayup serulingmu menjadi melodi paling merdu pagi itu.

"Aku ingin kau mengajakku terus kesini."

Kau menghentikan permainan.serulingmu, menatapku meski aku tahu itu.

Kemudian kau pun ikut merebahkan tubuhmu. Sama-sama menatap arakan awan yang bergerak pelan. Angin sertamerta menyibakkan dedaunan trembesi dan menjadikannya irama alam yang merdu. Lembut dia menyentuh riak rambut kita, menyejukkan peluh tetes di sepanjang lekukan wajah.

Kau menatap langit tanpa bersuara. Seulas senyum samar menghiasi wajahmu yang ranum. Kau pejamkan matamu sejenak, seperti aku. Dan kita merasakan pagj yang hening. Pagi yang syahdu.

"Menyenangkan sekali tidur dengan cara seperti ini. Beratapkan langit, merasa angin dan sinar matahari langsung menerpa tubuh," katamu.

"Aku merasa bebas."

"Aku juga."

"Alam memiliki segala hal yang kita punya," katamu. "Tapi kita tidak menyadarinya."

"Itulah sebabnya kau sering membaca puisi di sini?" aku bertanya. Memalingkan wajah ke arahmu. Kau masih menatap langit. Aku melihat jelas lekukan wajahmu, matamu, bulu matamu, alismu, hidungmu, bibirmu.

"Puisi adalah caraku menghargai alam. Merasakan keindahannya dengan menuliskannya dalam setiap sajak."

Aku membangkitkan tubuhku. Merentangkan tangan dan tersenyum lebar.

"Lain kali kau harus mengajariku bagaimana caranya membuat puisi. Aku juga ingin berdamai dengan alam dengan cara yang sama seperti caramu," kataku. Kau menyambutnya dengan tawa renyah yang membuat matamu kian menyipit.

"Sini, pinjamkan serulingnya. Aku mau membaca puisi."

Kau masih tertawa melihatku tampak berantakan memainkan seruling dan membaca puisi dengan gaya seperti yang biasa kita lihat di tivi-tivi.


Jakarta, 16 Juni 2012


Published with Blogger-droid v2.0.4