Setelah sekian lama, hujan itu datang lagi. Tiba-tiba saja. Tanpa peringatan dan tanda-tanda. Sebuah lagu berbahasa Inggris mengalun pelan melalui winamp di laptopku dan di layarnya kursorku berhenti pada tampilan facebook. Di berandamu.
"Jatuh cinta di dunia maya itu apa mungkin bisa terjadi?"
Aku tersenyum membaca statusmu pagi itu. Status terpagi yang katamu pernah kamu buat. Tentu saja aku tahu untuk siapa kamu menulis kalimat itu.
Aku masih mengingatnya dengan jelas. Akhir bulan, tiga tahun lalu kamu datang. Dan perkenalan itu terjadi begitu saja. Aku juga masih ingat kata-kata apa yang mempertemukan kita. Sebuah candaan berbahasa Sunda di sebuah status penulis ternama. Lalu kuberanikan diri untuk mencatat nomormu dan mengirimkan sebuah pesan singkat yang berakhiran namaku. Aku baru tahu jika kamu suka bercanda rupanya. Bahkan candaan-candaan itu masih mewarnai sms-sms yang masuk ke dalam ponselku. Candaan yang sama. Candaan milikmu yang sudah entah berapa tahun mewarnai malam-malam di atas jam tujuh, malam kepulanganmu.
Kita bersahabat sejak itu. Dan tiba-tiba saja senyum yang jarang tampak itu mulai tergambar lagi di wajahku saat namamu kembali singgah di ponselku. Meski percakapan kita hanya sebatas maya, kamu mulai ada saat itu. Kita mulai membahas apa saja. Mulai dari cerita tidak penting, bertanya kabar hingga bertukar lirik lagu melalui pesan-pesan yang terkirim itu. Hahaha, konyol tapi aku menyukainya.
"Aku harus memanggilmu apa?" tanyamu suatu malam, di sela canda seperti biasa.
"Bukankah namaku sudah jelas? Silahkan panggil apa saja sesukamu."
"Tapi aku biasa memberi nama pada teman-temanku," katamu. Lalu beberapa waktu kemudian kamu memanggilku dengan nama yang itu. Nama yang sampai sekarang masih sering kamu ucapkan saat kebetulan tengah memanggil namaku. Nama milikmu sebab hanya kamulah yang memanggilnya pada saat itu. Apa kau ingat apa nama yang kuberikan padamu? Dulu, kita sering menggunakan nama-nama itu, bukan?
Percakapan kita tidak hanya sebatas itu saja. Kamu mulai memperkenalkan blog padaku, yang selanjutnya menjadi tempat kita bertukar cerita. Setelah beberapa lama aku mengenalmu, barulah aku tahu jika kamu pun ternyata suka menulis. Hobi yang sama denganku.
Aku mulai senang membaca catatan-catatanmu di layar hitam yang dipenuhi ikan-ikan lucu. Kamu pernah bilang jika kamu menyukai warna merah, hitam dan putih. Warna yang mendominasi blogmu saat itu. Dan lagi-lagi aku tersenyum membaca kekonyolanmu.
Apa kamu masih ingat jika aku pernah bilang tulisan blogmu setipe Raditya Dika?
Ah, hujan itu kian deras saja, sayang. Teh tanpa gula kesukaanku berangsur dingin. Aku mengarahkan kursor dan mulai mengetik alamat blogmu. Getatan itu masih sama dengan tiga tahun lalu, saat setiap sore aku selalu menyempatkan diri meninggalkan jejak di 'rumah'mu.
Hatiku dingin. Kenangan itu berseliweran tanpa bisa dicegah. Lalu, di suatu malam. Di tengah canda-canda yang biasa, semua berubah begitu saja. Dalam sekejap saja. Dan aku tidak pernah tahu itu.
"Mau jadi pacarku?"
"Ah, andai saja yang ditanya itu aku," katamu menjawab candaku.
"Haha, mana mungkin? Bukankah kita sahabat? Dan selamanya akan begitu kan?"
Hening. Kamu tidak membalas pesanku selama beberapa menit, sebelum kembali namamu menghiasi ponselku.
"Kamu benar. Kita sahabat dan aku tidak mau persahabatan kita hancur gara-gara perasaan yang tidak semestinya ada." Ada emoticon senyum di akhir kalimat itu, seperti memberi penegasan dan... jawaban.
"Karena aku tahu. Jika perasaan itu ada, persahabatan kita tak akan lagi sama. Aku tidak mau itu terjadi."
Ah, tanganku gemetar. Keringat dingin perlahan menjalar. Membanjir, kemudian bermuara membentuk gemuruh yang tiba-tiba.
Kamu benar. Ada canggung yang tiba-tiba menghuni sekat antara kita. Pesan-pesan singkat dan candamu mulai jarang nampak. Aku memutuskan berganti provider telepon dan mulai menemukan duniaku. Aku bertemu teman-teman baru di dunia maya. Teman-teman yang mempunyai hobi yang serupa denganku. Tanpa sadar, dunia itu membuatku mengabaikanmu. Aku mulai jarang mengunjungi berandamu. Aku mulai jarang meninggalkan jejak di rumahmu dan mulai jarang menyapamu lewat media-media tempat kita bertukar cerita.
Dunia kita seperti terhalang sekat yang entah bernama apa.
Ah, rindu itu masih ada, sayang.
Rindu ketika kita sering bertukar sapa. Rindu ketika diam-diam aku mencuri waktu di sela sela kerjamu hanya untuk sekedar mencuri suaramu yang dulu tidak pernah terdengar sebab katamu kamu malu dengan suaramu yang itu. Aku rindu ketika kamu mengatakan suaraku lebih menyerupai bapak-bapak, sementara aku suka menyebut suaramu mirip ibu-ibu kompleks yang suka bergosip.
Ah, aku rindu ketika kamu tiba-tiba saja menelfonku malam-malam sambil menyantap mie ayam yang kamu beli sepulang kerja dan kamu bilang aku hanya tertawa saja sepanjang percakapan satu jam lebih itu. Padahal kamu tahu aku berusaha keras memelankan suaraku, takut nenekku akan marah mendengarku bercanda malam-malam. Padahal kamu juga tahu, aku berusaha keras menahan panas yang tiba-tiba saja menyerang wajahku. Panas yang bisa membuat mukaku berubah sangat merah.
Aku rindu ketika sepotong pagiku diwarnai pantun yang kamu kirimkan untukku sebagai pengawal hariku saat itu.
Kenangan itu....
Cerita-cerita itu....
Apa kamu masih memerangkap kenangan itu sebagaimana aku selalu memerangkapnya di mataku?
Hujan itu semakin deras saja, sayang. Ada bening yang tertahan di mataku. Kusesap teh yang mendingin itu sebagaimana aku menghapus bening di pelupuk mataku. Aku menghela nafas sejenak. Berusaha menenangkan gemetar yang tiba-tiba menjalar.
Mendung semakin pekat dan mataku belum beralih membaca postingan-postinganmu terdahulu.
Ngilu.
Jakarta, 10 Februari 2012
Di sebuah kost yang pengap. Di sela-sela menunggu kabar.
Yakin deh, 90% curcol terselubung!!!! xD
BalasHapusbangeeettt~
Hapus