Kebahagiaan itu begitu sederhana.
Ya, kebahagiaan itu begitu sederhana. Hanya saja saya sering tidak menyadarinya.
*
Malam itu seorang teman tiba-tiba menyodorkan kata 'kebahagiaan' kepada saya lewat sebuah pesan singkat yang berujung pada sebuah diskusi hangat tentang kebahagiaan. Lalu, saya ingat ada seorang teman yang pernah bertanya pada saya, 'apa kamu bahagia?'
Saya menjawab 'tidak', karena saya belum mengerti makna kebahagiaan itu sendiri. Atau barangkali saya belum menemukan makna kebahagiaan itu. Kata 'kebahagiaan' kemudian membuat saya menundukkan kepala sejenak, merenung dan kembali bertanya pada diri saya sendiri, 'apa saya bahagia?'
Dan mungkin sekarang saya harus menjawabnya, 'kebahagiaan itu begitu sederhana. Tapi saya sering tidak menyadarinya bahwa saya bahagia.'
*
Saya sering merasa tidak bahagia karena hal-hal yang saya cintai berangsur hilang dari diri saya dan mencipta kenangan yang terlalu pahit untuk dikenang. Yang kemudian membuat saya mengurung diri dan mengantarkan saya dalam dimensi yang bernama sepi.
Saya sering merasa tidak bahagia karena saya tidak bisa seperti teman-teman saya yang bisa mendapatkan apapun dan berkecukupan. Saya merasa tidak bahagia ketika saya lebih mirip seorang autis pesakitan yang lebih memilih 'kabur' dari keramaian daripada berbaur. Saya sering merasa tidak bahagia karena memiliki nasib yang tidak lebih baik dari orang-orang di sekitar saya. Saya sering merasa tidak bahagia ketika timbul perasaan minder yang berlebihan saat saya berbaur dengan banyak orang.
Saya sering merasa tidak bahagia oleh hal-hal kecil di sekitar saya. Lalu muncullah perasaan tertekan yang kemudian menyeret saya ke dalam lingkup asing yang entah bernama apa. Saya sering merasa depresi secara tiba-tiba, bahkan saya sering menjadi orang asing di dalam diri saya sendiri. Orang asing yang terkadang bersikap baik-baik saja, namun tidak jarang menuntut sesuatu di luar jangkauan saya. Dan jika itu sudah terjadi, saya tidak bisa berbuat apa-apa selain diam dan meringkuk di dalam kesepian. Membiarkan mereka beradu dengan diri saya dan menunggu siapa yang akan menang. Perasaan itu muncul karena hal-hal kecil yang seringkali membuat saya tidak bahagia.
Sejauh ini saya mengindikasikan kata 'bahagia' adalah untuk hal-hal dan benda-benda yang tampak, yang ada di depan mata saya, tapi tidak bisa saya raih. Namun saya lupa mengindikasikan kata 'bahagia' untuk hal absurd yang tidak terlihat, yang tidak saya sadari, seperti cinta dan perasaan bersyukur yang mengantarkan saya ke dalam kebahagiaan. Ke dalam kemurnian.
Belakangan ini saya sering berair mata karena hal-hal sederhana. Berair mata karena saya menyadari bahwa saya telah bahagia. Berair mata karena bahagia itu ternyata begitu sederhana. Saya merasa.bahagia ketika tiba-tiba mendapat sms dari keluarga yang sering saya lupakan, sms sederhana yang menanyakan keadaan saya. Saya bahagia ketika ternyata begitu banyak teman tiba-tiba menyemangati saya di tengah keterpurukan yang tidak mereka tahu. Saya bahagia ketika teman-teman ternyata mengharapkan saya menulis lagi. Saya bahagia ketika bercanda dengan teman-teman di sela-sela waktu kerja. Saya bahagia ketika ada seseorang yang menyakiti hati saya, yang membuat saya berusaha ikhlas menerima. Saya bahagia.
Bahagia dalam konsep saya adalah tidak harus mendapatkan apa yang diinginkan. Tapi kebahagiaan sejati adalah ketika saya menundukkan kepala. Merenung. Dan menyadari bahwa di luar sana masih banyak sekali orang yang tidak merasa bahagia. Bahagia tercipta jika kita mengharapkannya. Saya belajar banyak dari kesakitan-kesakitan yang saya alami. Kesakitan yang membuat saya merenung, menata hati untuk menerima. Berusaha ikhlas, meluaskan hati. Memulai lagi dari nol. Menuju kepada kemurnian.
Saya bersyukur dengan apa yang telah diberikan pada saya dan saya bahagia menjadi diri saya. Itu saja.
Jakarta, April 2012
Di kamar kost tanpa jendela.