Sesuatu yang menggembirakan sekaligus mengherankan adalah aku bertemu dengan Len, di makam Ayahku.
Musim hujan di Jakarta tidak sedingin musim hujan di Oslo. Tapi entah kenapa, gerimis tipis yang saat itu mengguyur gundukan tanah pemakaman Ayah yang masih merah, mampu membuatku menggigil sendiri.
Tidak kupungkiri, meski aku mempunyai masa lalu yang suram bersama Ayah, aku merasa kehilangan atas kepergiannya. Tangisku tumpah sedari tadi. Seperti butiran hujan yang membuat mataku sembab.
Len membeku di sebelah pohon kamboja yang belum terlalu tinggi. Kami sama-sama terkejut, tentu saja. Namun ia memiliki reaksi normal sebagaimana manusia pada umumnya. Seperti patung, ia menatapku tanpa suara. Wajahnya pucat dan berkabung. Suasana suram lain nampak jelas terlihat dari pakaian serba hitam yang ia kenakan.
Aku tidak mengerti kenapa waktu mempertemukanku dengannya di sini, di makam Ayahku.
"Arne.. Kau? Apa ini kebetulan?" katanya dengan suara tercekat di tenggorokan. Len menginjak daun-daun kamboja yang mengering saat menghampiriku, menimbulkan suara nyaring di telingaku. Ia bersimpuh. Mengelus pundakku dengan tangannya yang hangat, tangan yang biasa ia gunakan untuk mengelus kepalaku. "Aku sama sekali tidak mengerti," katanya kemudian, setelah memastikan bahwa wanita yang ia temui benar-benar aku.
Len menatapku dengan sorot penuh tanda tanya, mencoba menusuri kebetulan apa yang sebenarnya menghantui kami berdua lewat mataku yang tertutup kacamata hitam. "Apa kau baik-baik saja?"
"Aku tidak mengerti." Hanya itu jawaban yang bisa aku berikan. Len memaklumi. Aku cukup terguncang dengan peristiwa mendadak ini. Pulang ke Indonesia, Ayah meninggal, dan bertemu teman baik di pemakaman yang sama. Ini semua di luar batas dugaanku. Dan mungkin juga di luar batas dugaan Len.
"Sepertinya ini bukan tempat yang tepat untuk kita bicara."
Gerimis belum reda ketika Len akhirnya mengajakku ke sebuah kedai kopi di kawasan padat penduduk di daerah Kemang.
Len tampak sibuk menyesap kopi yang ia pesan, sementara aku masih diam mematung. "Kapan kau berniat kembali ke Oslo?"
"Aku belum memikirkannya. Jika bisa secepatnya, tapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi di sini."
Pembicaraan ini terkesan kaku. Len seperti orang asing yang barusaja kukenal. Yang tiba-tiba mengetahui masa laluku dalam hitungan detik.
"Kau kenal Ayah?" tanyaku. Ekspresi Len langsung berubah ciut. Ia menatapku dengan dahi berkerut.
"Ayah?" Len justru kembali melempar pertanyaan itu kembali padaku. Aku mengangguk, mencipta hening. Hujan mulai membruncah.
"Sepertinya suhu ruangan ini terlalu dingin," kata Len, seperti mengalihkan pembicaraan. Dan memang benar, aku menangkap gelagat tak nyaman yang tiba-tiba membuatnya salah tingkah. Len tampak kedinginan, entah oleh sebab hujan, suhu ruangan, ataupun tatapanku.
Jakarta, September 2012