Ia melukis di sebuah ruangan dengan cahaya remang yang berasal dari bohlam tua. Di depannya, selalu ada segelas air putih. Aku tahu sejak awal bahwa ia bukan pecandu kafein seperti apa yang tampak padaku. Selama melukis, ia selalu mengunci pintu seolah ruangan sempit bercat putih itu adalah sebuaj singgasana yang begitu istimewa. Singgasana khusus yang hanya bisa dimasuki oleh ia sendiri. Yang aku ingat, selama melukis ia selalu memutar lagu-lagu lama Beatles dari sebuah piringan tua. Ia menyukai segala hal yang klasik. Karena menurutnya, suasana klasik menyimpan banyak rasa. Seperti cinta, kelembutan dan misteri. Tiga sosok yang aku temukan dalam dirinya.

Semasa umurku belasan tahun. Aku pernah mengintipnya dari balik lubang kunci. Di mana saat itu ia lupa mengunci pintu. Sungguh, seumur-umur ia tidak pernah mengizinkanku memasuki ruangan itu. Hingga pada suatu ketika aku tidak sengaja menyentuh porselin di dekat ruangannya. Porselin itu pecah. Seperti dugaanku, suara berisik itu telah mengacaukan konsentrasinya. Ia dengan sigap langsung menuju pintu. Aku tidak sempat melarikan diri saat ia sudah berdiri di depanku.

Ini mimpi buruk. Tidak ada yang lebih mengerikan saat kau tertangkap basah sedang menguntit diam-diam. Tapi aku bukan penguntit. Aku hanya merasa penasaran dengan kehidupan di balik pintu kayu yang selalu terkunci itu.

Di dalam bayanganku, ia akan marah dan memukulku seperti apa yang biasa ayah lakukan ketika naik pitam. Namun, aku mendapati hal yang sebaliknya. Ia justru membantuku bangkit. Tersenyum dan sepasang matanya teduh. Selama ini aku memang jarang sekali berinteraksi dengannya, mulai saat ia pertama kali menyentuh rumah ini dan menggantikan posisi ibu.

Di dalam mataku, ia adalah seorang wanita yang dingin. Wanita yang sedikit sekali mengeluarkan kata dan lebih banyak mengurung diri di ruangan itu. Aku sama sekali tidak pernah bertemu dengannya selama kami tinggal satu atap. Ia tidak pernah memeriksa pekerjaan rumahku sepulang sekolah seperti apa yang selalu ibuku lakukan -meski nyatanya aku tidak mengharapkan wanita itu melakukannya, ia tidak pernah mengajakku sarapan bersama, kami tidak pernah menghabiskan hari libur bersama di taman bermain, ia tidak pernah mengecup keningku sebelum aku terlelap, kami juga tidak pernah mengobrol di samping perapian ketika salju pertama di bulan Desember turun.

Ia hanya sesekali mengobrol dan menonton dvd bersama ayah di ruang keluarga.

Sejak awal kedatangannya, aku sudah membencinya. Pertama, karena ia merebut posisi ibu. Kedua, karena ia merebut ayah dariku.

"Apa yang kau lakukan di sini? Masuklah," katanya. Pergelangan tangannya hangat. Ini di luar dugaan. Wanita itu sama sekali tidak memarahiku.

Aku diam. Masih enggan menuruti ajakannya. Aku berlari ke belakang pilar seperti seorang anak ketakutan lalu diam-diam mengintip ke arahnya. Ia belum pergi. Wanita itu masih berdiri di tempatku terjatuh tadi. Ia merapikan pecahan-pecahan porselin akibat ulahku.

Aku masih mengintip dari balik pilar. Merasakan sendiri kecamuk yang menjalar hebat. Aku takut jika ia akan memarahiku seperti apa yang selalu ayah lakukan jika aku bersalah. Aku takut ia akan memukulku atau melakukan apapun yang akan menyakitiku.

Wanita itu berjalan ke arahku. Menemukanku yang tengah ketakutan dari balik pilar dengan wajah pias.

"Aku punya sesuatu untukmu, ikutlah denganku." Suaranya berat dan sedikit serak. Ia berjalan di depanku. Rambutnya yang bergelombang terurai sempurna sebatas pinggang. Ia memakai tunique berwarna tosca dan tidak bisa kupungkiri, ia tampak anggun malam ini.

Akhirnya aku berjalan di belakangnya. Ia mengajakku masuk ke ruangan temaram itu. Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di tempat itu setelah belasan tahun mendiami rumah ini.

Aku tercenung. Di dalam ruangan itu banyak lukisan yang memaksaku membelalakkan mata. Ruangan itu lebih mirip galeri daripada sebuah ruangan biasa.

"Aku dan ayahmu bekerja keras membuat ini."

Ia menunjukkan sebuah sketsa bangunan yang teramat besar. Bangunan yang di dalamnya terdapat air mancur dan taman -taman bermain. Seperti istana yang biasa aku lihat di film-film dongeng.

"Seperti janjiku tadi, aku punya sesuatu untukmu." Ia menyerahkan sebuah muffin dengan taburan kismis. "Makanlah.." Ia menyesap air di depannya.

Aku mencium aroma muffin itu, kemudian memakannya.

"Apa kau suka?"

Aku mengangguk dan ia tersenyum. Sebuah senyum yang jarang sekali kulihat. Senyum yang entah kenapa membuat hatiku terasa lega.
Selanjutnya, ia menanyakan banyak hal. Perihal sekolahku, perihal liburan, perihal Natal..

Sejak saat itu ia sering memberiku beberapa potong muffin. Meski aku belum sepenuhnya bisa menerima kehadirannya. Meski aku masih belum bisa menganggapnya ada.
*
Sudah tengah malam dan aku belum bisa terlelap. Aku membiarkan televisi menyala tanpa suara sementara lampu padam. Aku menyesap secangkir kopi dan menikmati muffin yang mendarat di meja kerjaku pagi tadi. Muffin itu bertabur kismis seperti yang biasa ia berikan padaku. Muffin itu masih memiliki rasa yang sama. Dulu, aku begitu tergila-gila pada muffin sejak kali pertama ia memberiku sepotong. Namun, seiring waktu, aku mulai melupakan rasa muffin dan ekspektasiku terhadap muffin berubah sedemikian derajat.

Tatapanku kosong mengarah ke layar televisi. Ini ulang tahunku, setelah sekian lama kuhabiskan bersama teman-teman tanpa bayangan masa lalu. Kini wanita itu membuka kembali luka lama yang sengaja aku kubur. Memunculkan kembali gurat sketsa yang pelan-pelan terhapus di otakku. Membentuk kembali susunan gambar yang jelas meski buram. Mengembalikan rasa muffin setelah sekian lama hilang dari otakku.

"Len, sudah tidur?"
Pada akhirnya pelarianku jatuh pada Lentera. Suaranya sayup  dan hening. Beberapa kali uapnya terdengar di telingaku.
"Aku tidak bisa tidur. Bisakah kau menemaniku ngobrol?"

Lelaki itu tidak pernah menolak permintaanku. Semula aku bisa bercerita apa saja kepada Len seolah ia adalah malaikat pendengar yang baik. Namun, aku belum berani bercerita perihal wanita itu. Juga masa lalu.
Terkadang memang tidak semua hal bisa diceritakan pada seseorang yang dekat sekalipun. Dan aku melakukannya meski aku terkesan membohongi Len dengan cerita-cerita rekaan saat ia bertanya apa yang membuatku terjaga hingga sepagi ini.

Aku merapatkan sweater. Meletakkan muffin yang mulai terasa hambar. Mengucap kata "hallo" entah sudah berapa kali dan tidak mendapati jawaban Len dari seberang sana.
Rupanya Len tertidur. Aku mematikan percakapan. Hening. Dingin. Sendiri. Entah sudah berapa kali aku melarikan diri dari perasaan-perasaan itu. Dan aku mulai sadar. Kali ini aku tidak bisa melarikan diri lagi.

Jakarta, Agustus 2012

Published with Blogger-droid v2.0.6