Bumi berputar sebagaimana seharusnya. Menggulung waktu hingga sampai pada dimensi ruang yang tak lagi sama.
Pohon maple yang terletak di seberang kuil Jisho tampak beranting beku. Sisa-sisa salju di penghabisan musim dingin telah leleh mencair. Membentuk segumpal embun dingin yang menetes di bangku kayu tempat wanita itu duduk menghitung hari. Sudah lebih dari dua pekan aku melihatnya duduk di sana. Namun kali ini aku tahu ia baru saja selesai berdoa. Wajah wanita itu telah senja, dengan garis-garis halus yang mulai nampak kering dan mengisut. Beberapa helai rambutnya berwarna putih. Namun, wanita itu masih terlihat ayu. Sisa-sisa pesonanya semasa muda yang belum memudar.

Musim berganti selam bertahun-tahun. Wanita itu menutup buku sakunya dan memasukkannya ke dalam saku mantel berwarna coklat tua yang membalut kimono berwarna hitam. Ia bersandar pada bangku tua dengan perasaan ringkih. Ia menghembuskan nafasnya sehingga nampak uap samar tersembul dari bibirnya yang biru. Segalanya seolah membeku. Ia benarkan letak kacamata yang melorot sampai ke hidung. Kali ini tatapannya terlihat lebih bernyawa. Ada sesuatu yang menyelinap masuk ke dalam benaknya. Sesuatu tentang masa lalu. Sesuatu tentang Kenichi yang ia cintai.
"Kami akhirnya memutuskan menikah secara diam-diam dan menyewa rumah kecil di pinggiran Kyoto. Selepas menikah, saya memutuskan mengundurkan diri dari tempat saya bekerja dulu. Sebagai gantinya, saya selalu mendampingi Ken yang sibuk menulis. Tahun kelima pernikahan kami, nama Ken mencuat sebagai pengarang di masa itu." suaranya jelas meski bergetar. Ia dengan tekun bercerita padaku. Setiap kali mengulang kenangan itu, aku melihat pergelangan tangannya bergetar. Entah sudah berapa tahun ia memendam kesedihannya seorang diri. Selama itu ia bertahan dalam kesedihan yang dalam. Aku merasa iba.
"Namun sayang, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Mimpi-mimpi yang dulu kami rencanakan harus pupus satu-satu." Kali ini suaranya benar-benar bergetar. Matanya berkaca namun wanita itu cepat-cepat menyusutnya.

*

"Kau baik-baik saja?" Kenichi menatap Sayuri lewat cermin besar yang ada di depannya.
Wanita itu menunduk. Sedari tadi ia enggan menatap mata lelaki itu sebab itu bisa membuat air matanya lumer tanpa bisa dicegah.

"Kau tahu saya tidak baik-baik saja kan?" suara Sayuri serak. Ada sesuatu yang tertahan di tenggorokannya.

Kenichi membalikkan tubuhnya sehingga tampak jelas bayangan Sayuri di matanya. Bahu Sayuri berguncang.

Wanita itu terisak dalam diam, dengan caranya sendiri. Ia menggenggam erat ujung baju Kenichi sehingga membentuk lipatan-lipatan kusut yang seolah enggan ia lepaskan.

Kenichi tahu, keputusan untuk ikut berperang bukanlah pilihannya. Tapi itu adalah kewajiban. Kewajiban demi mempertahankan negara sekalipun ia harus mengorbankan nyawa dan perasaannya sendiri.

Kenichi memeluk Sayuri tanpa suara. Dan tangis Sayuri semakin menjadi.

"Kau tak perlu merasa cemas. Aku tidak akan kenapa-kenapa."
Sayuri tahu, Kenichi hanya menenangkan hatinya. Berusaha menghiburnya. Lelaki itu membelai rambut Sayuri yang hitam dan tergerai jatuh satu-satu sebatas bahu. Ia menyentuh pipi Sayuri yang hangat dengan tangannya yang menggigil. Wajah wanita itu merah. Matanya terpejam dengan riak-riak air mata yang melumerkan bedak tipisnya.

"Maafkan saya. Tak seharusnya saya bersikap seperti anak kecil."
Kata-kata Sayuri membuat Kenichi tersenyum. Ia mendaratkan kecupan hangat di dahi Sayuri. Kecupan yang membuat hati Sayuri tenang, sekaligus bergejolak dalam waktu bersamaan.

Wanita itu menatap lekat pada mata Kenichi yang kelabu. Mata yang ia rasakan begitu teduh melampaui apa yang selama ini meneduhkan hatinya dalam gelisah-gelisah tak terperi. Entah bagaimana caranya, Kenichi selalu bisa membuatnya tenang, hanya dengan sebuah pelukan hangat pada tubuhnya yang ringkih. Seolah hanya berada di dekat lelaki itulah kebahagiaan sejati yang sesungguhnya Sayuri rasakan.

Kenichi menyesap air mata Sayuri dengan jari-jarinya yang panjang. Sayuri tersenyum meski hatinya tak berhenti bergetar.

*

"Apa kau mau menambah nasinya?" tanya Sayuri. Sup miso yang ia masak terasa hambar, namun Kenichi tetap memakannya dengan lahap. Ada bening yang ditahan Sayuri dalam sudut matanya. Ia genggam tangan Kenichi dengan rasa takut.

"Kenapa kau tidak makan? Apa kau merasa kurang sehat?"

Sayuri hanya menggeleng. Ia membangkitkan tubuhnya tanpa melihat ke arah Kenichi. "Biar saya ambilkan nasi lagi," katanya sambil berlalu. Bening itu menetes di futon yang nyaris beku.

*

Pada akhirnya hari yang selama ini mengacaukan benak Sayuri datang tanpa diduga. Ia telah mempersiapkan kedatangan hari itu. Seolah ia telah merelakan suaminya terjun ke medan perang. Di stasiun, kereta telah sesak oleh pemuda pemuda yang akan ditugaskan untuk mengikuti wajib militer, terjun ke medan perang.
Sayuri memeluk tubuh Kenichi yang bidang dengan kecamuk yang ia sembunyikan rapat-rapat. Ia sadar, menangis di depan Kenichi justru akan membuat lelaki itu merasa bersalah. Sayuri pun memutuskan untuk diam sampai gejolak di dadanya bisa mereda.

Sayuri merasakan kehangatan yang mungkin terakhir kalinya Kenichi berikan untuknya.
Lelaki itu kembali mengecup keningnya yang berponi rata. Membelai wajah istrinya dan menatap matanya dalam-dalam. Dalam tatapan itu Kenichi seolah mengikrarkan janji untuk mereka berdua.
"Kita akan bertemu lagi. Aku berjanji."
Itu adalah kata-kata perpisahan yang sesungguhnya tidak ingin didengarkan Sayuri.

Wanita itu tidak bergeming, meski akhirnya ia mengangguk sebagai pilihan jawaban.

Menjelang keberangkatan, hawa panas mulai menyelimuti stasiun. Berbagai macam gejolak tumpah ruah di sana. Membeku.
Kenichi melepas tangan Sayuri untuk terakhir kali sebelum tenggelam dalam lautan manusia yang memadati stasiun Kyoto saat itu. Lantas, setelah terdengar aba-aba bahwa kereta akan berangkat beberapa menit lagi, Kenichi mulai masuk ke dalam kereta. Berjejal dengan pemuda-pemuda lain yang tidak dikenal Sayuri. Yang mempunyai tujuan sama demi kemerdekaan negara yang mereka cintai. Dalam sekejap saja, stasiun Kyoto berubah menjadi lautan manusia. Dipadati dengan pengantar-pengantar yang menaruh harapan- harapan serta kecemasan. Isak tangis dan kata-kata penyemangat membuat dada Sayuri bergetat. Ia kemudian berlari ke arah kereta. Berjejal dengan orang-orang yang mungkin merasakan gundah yang sama dengannya. Bendera-bendera matahari terbit bertebaran dimana-mana. Tangis air mata membasahi langit stasiun Kyoto yang kelabu, bersama dengan sirine-sirine yang memekakkan telinga. Asap-asap mesiu yang mengepul di udara.

Sayuri melihat Kenichi lewat sebuah sapu tangan berwarna biru laut. Itu adalah sapu tangan kenangan mereka saat belum ada perang yang merenggut semua kebahagiaan mereka. Sayuri menggulung air matanya. Di sana, semua kecemasan dan kebanggaan bercampur menjadi satu.
Pelan, saat semua riuh berteriak "banzai!!", kereta melaju menembus kerumunan manusia. Dan di sana, sapu tangan berwarna biru laut itu perlahan tenggelam bersama ratusan kain bersimbol matahari terbit.


Jakarta, Agustus 2012

inspired by : Mawar Jepang - Rei Kimura dan sepenggal lagu Amayadori.

Published with Blogger-droid v2.0.6