Masih ada beberapa waktu untuk bertemu Arne sebelum aku bertolak ke Indonesia. Pertemuan itu berlangsung di apartemennya. Spagetti dan sup kacang merah buatan Arne sama sekali belum tersentuh. Wanita itu diam membeku di depanku, membiarkan irama Yesterday mengalun sayup lewat dvd yang dibiarkan menyala di pojok ruangan. Gambar-gambar di televisi berubah-ubah. Arne tidak memedulikannya.

Di tengah cuaca yang mulai dingin itu, Arne hanya mengenakan kaus tipis berleher lebar yang memperlihatkan sedikit belahan dadanya, juga sebuah hotpant berwarna hitam. Wajahnya muram, seperti memikirkan sesuatu yang tidak kuketahui. Rambutnya tergerai, sedikit lebih panjang dari yang terakhir kalinya kulihat. Sudah lebih dari seminggu ia tidak menghubungiku, juga menceritakan apapun yang biasa ia lakukan sepanjang malam. Arne berubah menjadi pendiam.

"Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, Arn? Kau tampak berantakan. Apa kau sakit?" Aku memecah keheningan. Namun Arne tidak bergeming. Ia menyesap air putih dan menyuapkan beberapa sendok sup kacang merah ke mulutnya dengan ekspresi datar.

"Aku baik saja, Len. Maaf aku jarang menghubungimu sekarang... Aku..." suara Arne menggantung. Ia seperti orang depresi. Matanya cekung dan wajahnya pucat.

"Saat aku berkunjung ke kantormu, mereka bilang kau sudah dua hari tidak hadir di kantor. Lantas bagaimana dengan proyekmu?"

Arne diam. Aku meralat ucapanku, tidak seharusnya aku membahas pekerjaan di suasana seperti ini. "Maaf Arne, maksudku..."

"Ya, aku memutuskan cuti selama beberapa hari. Mendadak ada beberapa urusan yang harus kuselesaikan." Korden yang bersibak karena angin musim dingin menjadi satu-satunya irama yang menyelimuti kami. Salju masih turun seperti biasa. Aku berharap penerbanganku ke Indonesia tidak terganggu karena salju.

Aku membangkitkan tubuh, mengambil mantel yang terselampir di gantungan kemudian menyelimutkannya di tubuh Arne.
"Kurasa penghangat ruanganmu tidak berfungsi baik malam ini. Kau pasti kedinginan. Dan kurasa kau memerlukannya."

Arne masih tak bergeming. Tahu-tahu, air putihnya sudah habis dan ia menuangnya kembali. "Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa." Ia berkata. Suaranya serak.

"Ada apa?" Mendadak aku tidak bisa meninggalkan wanita itu sendirian. Ia tidak punya siapa-siapa di Norwegia, dan satu-satunya temannya bercerita adalah aku. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Arne jika aku meninggalkannya sendiri di negeri asing ini. Oke, aku berlebihan dan terlalu menganggap Arne selalu butuh kedatanganku.

"Kemarin Bibi Marie mengirim surat. Ayah sakit keras."

Aku tercekat. Sejauh aku mengenal Arne, baru sekali ini aku mendengar ia berbicara masalah keluarga. Selama ini, aku merasa Arne seorang gadis yang tertutup, ia tidak pernah suka jika aku membicarakan perihal keluarga.

"Banyak hal terjadi selama seminggu ini, Len. Tiba-tiba saja aku mendapat proyek yang sangat kuinginkan. Dan dalam waktu bersamaan, aku bertemu dengan seseorang yang tidak ingin aku temui, lalu surat Bibi Marie yang mengabarkan bahwa Ayah sakit keras." suaranya mulai bergetar. Bahunya berguncang, kemudian ia menangis.

***

Ia gadis yang menyukai krisan. Yang kerap memunguti serpih kelopak krisan secara diam-diam di halaman rumahku. Dulu, aku kerap melihatnya menyapukan kuas yang diam-diam dicurinya di sebuah alas buku gambar yang masih bersih. "Aku meminjam kuas ayah," katanya. Dan setiap menyapukan kuas itu, wajahnya selalu berbinar. "Aku ingin menjadi pelukis."

Aku tak pernah tahu siapa namanya. Ia gadis yang manis. Yang diam-diam selalu menunggu pria berkumis tipis itu melukis di halaman belakang rumah mereka. Dan waktu berputar, semakin sering gadis itu melukis sendiri. Menghabiskan hari dengan kesenangan yang ia ciptakan lalu suatu ketika aku melihat air matanya. Ia membiarkan bening itu luber memenuhi pipinya yang merah. Dan sejak saat itu, aku tak pernah lagi melihatnya melukis. Pun memunguti serpihan kelopak krisan di halaman rumahku.

Tiba-tiba aku teringat kembali dengan kenangan itu, sekian lama. Karena Arne.

Wanita itu begitu rapuh. Aku membiarkan tangisnya tumpah di kemejaku. Membiarkan tubuhnya yang mungil meringkuk di pelukanku. Membiarkan segala sesuatu tumpah ruah saat itu juga. 

"Arn..." suaraku beku. Seperti hawa dingin yang mulai berangsur membatu. Aku menepuk pundaknya, dan tangis itu semakin menjadi.

Arne mengendurkan pelukannya, menatapku dengan mata sembab yang berusaha ia sembunyikan.

"Maaf... Tidak seharusnya aku bersikap senaif ini."

"Aku ada di sini bersamamu, Arn... Kau bisa bercerita apapun."

"Terimakasih Len, bahkan aku belum sempat mengenalkan Will padamu sesuai janjiku."

Hanya itu yang ia katakan. Selebihnya ia diam. Membiarkan segalanya membisu.

Hatiku ngilu.

Yesterday masih mengalun sesamar biasanya. Entah sudah berapa kali lagu itu terputar secara berulang-ulang, seperti itu.

Aku membangkitkan tubuh menuju ke arah lemari pendingin. Dan mataku tertumbuk pada vas bunga di atas meja kerja Arne. Vas itu berisi bunga krisan yang sudah kering.

Jakarta, Agustus 2012

Published with Blogger-droid v2.0.6