Arne


Makan siang kali ini Will mengajakku kencan di sebuah kedai sushi tak jauh dari kantor tempatku bekerja. Oh iya, Will adalah sepupu Nick. Seorang wartawan lepas di sebuah media lokal. Will seorang pribadi yang menyenangkan. Seperti kebanyakan wartawan, ia tak terlalu senang mengenakan baju formal. Dan sebagai gantinya, ia hanya mengenakan setelan jins, converse, kaus tanpa kerah dan sweater warna abu-abu. Ia berkacamata dan wajahnya memiliki bintik-bintik merah yang samar.
Aku berkenalan dengan Will sejak menjalin hubungan dengan Nick. Dan kami mulai akrab setelah kebetulan kami bertemu di peluncuran proyekku. Saat hari libur, dulu Will kerap mengajakku mengunjungi tempat-tempat menyenangkan di Norwegia. Bermain ski, melihat matahari terbenam atau mengunjungi taman-taman di Norwegia. Meski ini bukan pertemuan pertamaku, tapi makan siang kali ini adalah ajakan Will pertama kalinya setelah ia tahu aku tak lagi menjalin hubungan dengan Nick.

"Sebentar lagi Nick akan menikah," Will memulai percakapan. Ia melepas ranselnya dan meletakkan kamera di meja. "Mau pesan apa?" Ia melihat-lihat daftar menu sementara aku masih sibuk memilih dan akhirnya harus pasrah dengan keputusannya.
"Pesananmu dikalikan dua," kataku disambut senyum simpulnya.

Beberapa menit berlalu dan pelayan datang dengan pesanan kami.
"Sushi di sini enak sekali," katanya berbinar.

Aku mengangguk sebagai pertanda setuju dengan argumen itu. Sepotong sushi sudah memenuhi mulutku.

"Kau sibuk apa, An?"

"Masih sibuk dengan pekerjaan."

"Ada rencana untuk pulang ke Indonesia?"

Pertanyaan Will mengambang di udara. Aku diam, sibuk mengunyah sushiku. Entah kenapa pertanyaan itu membuatku gemetar.

"Dalam waktu dekat ini belum ada."

Itu adalah jawaban terbaik yang kumiliki. Pulang ke Indonesia? Membayangkannya saja aku tidak pernah.

Will maklum. Kembali menikmati sisa sushi di piringnya.

"Dalam waktu dekat aku akan ke Indonesia," ia bekata pada akhirnya.
Aku hampir tersedak mendengar pengakuannya.

"Ada hal yang harus diliput." Will sepertinya bisa membaca isi pikiranku.
"Dalam waktu dekat ini aku
berangkat."

***

Len


Pujia menelfon dan mengajakku bertemu di sebuah restoran pilihannya. Sudah bertahun-tahun aku tidak melihat wanita itu, mungkin sejak ayah meninggal dan ia memutuskan untuk melabuhkan hatinya pada pria lain.

Aku datang lebih awal dari jam yang telah kami sepakati dan Pujia menyusul beberapa menit setelahnya.
Wanita itu mulai tampak memasuki pintu restoran. Setelah aku menyadari kedatangannya, aku melambaikan tangan dan ia buru-buru mendekat.
Senyumnya mengembang. Dengan sigap ia menyalami tanganku kemudian memelukku. Aku mempersilahkan ia duduk dan kami mulai memesan menu.

"Kau tampak berbeda sekali, Len. Rasanya sudah berapa lama aki tidak melihatmu?" itu kalimat sapaan yang menurutku terlalu basa-basi.

"Aku baik saja. Bagaimana kabarmu?" nada bicaraku dingin. Seperti sebongkah es batu yang menghiasi meja makan kami.

Pujia justu tertawa. Apanya yang lucu? Aku membatin.

Ia melepas kacamata hitam besar yang menghiasi matanya. Wanita paruh baya itu mengenakan tunique ungu muda. Dipadankan dengan celana pendek berwarna tulang. Rambutnya disanggul sekenanya, membuat riak-riak rambut terlihat berantakan menutup tengkuk dan telinganya. Penampilannya terlihat santai hari ini.

"Omong-omong, apa yang membuatmu datang kesini?" itu pertanyaan sarkastik yang tiba-tiba saja kulontarkan.

Pujia tidak menjawab. Ia hanya tersenyum. Di wajahnya terdapat kerutan yang membuatnya tampak jelas jika ia mengulumkan senyum.
"Menjemputmu," katanya.

"Apa maksudmu?"

"Aku ingin kau pulang ke Indonesia bersamaku."

Aku menatap matanya kemudian berkata, "Kau bercanda." Lalu, sebuah tawa menggema di udara. Bagaimana bisa ia datang hanya untuk menjemputku? Itu sama sekali tidak masuk akal.

Raut Pujia tampak serius. "Kau tahu kan aku tidak pernah main-main?" itu pertanyaan retoris yang ia lontarkan.

Aku menghentikan tawaku. "Kau tidak bisa melakukannya seenakmu sendiri. Pulang ke Indonesia sama saja dengan menghancurkan semua mimpiku yang mulai mendekati kenyataan!" aku sedikit naik pitam.

"Kau masih keras kepala seperti dulu, Len!"

"Seperti dulu?" Aku tertawa skeptis. "Sejak kapan kau mengenalku?"

Wanita itu tidak menjawab. Tapi aku tahu matanya yang menyala-nyala seperti api. Aku ingat ekspresi itu. Kemarahan itu. Seperti beberapa tahun yang lalu. Lantas dengan kemarahan yang masih ia tahan, ia berlalu meninggalkanku.

***

Arne


Aku meninggalkan Will sejenak di meja makan. Nick menelfon. Mengabarkan bahwa kami harus menemui seorang klien untuk membahas masalah desain sebuah hunian baru.
Perasaanku mendadak campur aduk, maka kuputuskan ke toilet untuk menghindar sejenak.
Di meja makan itu, Will tampak setia menunggu. Beberapa kali ia memainkan smartphone yang ada di tangannya. Dan meninggalkannya sendiri seperti itu sama sekali bukan maksudku.

"Oke Nick, aku akan kembali secepatnya." percakapan diakhiri. Aku memasukkan ponsel ke dalam saku celana kemudian mencuci tangan sebelum pandanganku tertumbuk pada sesosok bayangan di cermin.

Aku terkesiap menyadari pemandangan itu. Wanita itu barusaja keluar dari kubikel. Dan ekspresinya tak jauh berbeda dengan ekspresiku.
Kami sama-sama terkejut. Berpandangan sejenak melalui cermin. Baru aku menyadari, bahwa aku seperti terjebak dalam situasi rumit yang membuat kakiku beku. Aku tidak bisa melarikan diri.

"An..?" suara wanita itu menggantung. Ia melihatku dengan wajah kaku, mematung, seperti tidak percaya dengan kehadiranku di situ.

Aku membalikkan badan. Sungguh, ini bukan pertemuan yang aku harapkan. Pelan, sekelebat kenangan mulai terputar ulang di kepalaku. Dan mendadak aku ingat bagaimana ia menyerahkan sebuah muffin yang kemudian menyita perhatianku. Aku ingat semuanya, tanpa terkecuali.

"Hai? Kapan kau datang?" aku menyadari kebekuan dari suaraku sendiri.

Tanpa memedulikan ucapanku, wanita itu langsung mengambur. Memelukku.

"Apa kabarmu, An? Kau sudah nampak dewasa sekarang."

Ada sesuatu yang menyentak dadaku. Dengan susah payah, aku nelepaskan pelukan wanita itu.

"Senang bertemu denganmu lagi, Jia. Tapi maaf, aku buru-buru. Ada sesuatu yang harus kukerjakan. Sampai jumpa."

Dengan langkah cepat, aku segera menuju ke tempat dimana Will duduk menungguku.
"Will, maaf.. aku harus segera kembali ke kantor. Nick bilang, ada proyek yang harus segera kami rapatkan. Nanti aku akan menghubungimu lagi. I'm so sorry, Will." Aku yakin Will terheran-heran melihat sikapku. Tanpa memedulikan reaksi apa yang selanjutnya akan ia keluarkan, aku cepat-cepat menghambur dari ruangan itu.
Sungguh, semua mendadak kacau. Bahkan aku belum sempat meredakan degup jantungku sendiri ketika tanpa sadar melihat Len menghiasi kaca restoran yang sama dengan tempatku makan siang dengan Will.
Sedang apa Len di situ?
Pertanyaan itu berhamburan. Namun tidak ada waktu untuk memikirkan semua yang serba tiba-tiba terjadi. Seolah kedatangan wanita itulah yang telah mengacaukan semuanya. Dan hal paling penting yang harus kulakukan sekarang adalah keluar dari tempat itu secepatnya. Melarikan diri.

Jakarta, Agustus 2012

Published with Blogger-droid v2.0.6